Editors Picks

Rabu, 15 Juni 2016

Semua yang Gagal Itu Sama!



“Semua keluarga bahagia itu sama. Akan tetapi, setiap keluarga yang tidak bahagia itu tidak bahagia dengan caranya masing-masing.”


Begitulah kurang lebih kutipan yang amat terkenal dari sastrawan Rusia, Leo Nikolayevich Tolstoy, pada bagian awal dari dalam novel panjangnya Anne Karenina. Novel tersebut pertama kali terbit pada 1877 setelah proses penulisan selama 4 tahun. Semula, Tolstoy memilih judul Two Couples atau Two Marriege untuk kisah tentang perbandingan antara keluarga bahagia dan tidak bahagia itu.

Ungkapan Tolstoy tersebut menggambarkan betapa banyak jalan menuju ketidakbahagiaan dalam sebuah keluarga. Masing-masing keluarga yang tidak bahagia punya masalah dan caranya sendiri. Kalau dalam istilah sekarang, dalam meninjau ketidakbahagiaan sebuah keluarga, perlu dilihat kasus per kasus, tidak bisa digeneralisasi alias di-gebyah uyah.

Tulisan ini tidak membahas mengenai ketidakbahagiaan keluarga, melainkan analogi atas ungkapan sastrawan Rusia itu dalam kasus lain.

Adalah Peter Thiel, salah satu pendiri perusahaan pembayaran berbasis Internet Paypal, yang menggunakan ungkapan Tolstoy itu untuk menjelaskan fenomena yang berkembang dalam dunia bisnis, khususnya di bidang start up digital.
Kita tahu ada sejumlah perusahaan rintisan digital yang berhasil mengguncang dunia karena dalam waktu singkat mampu menghasilkan nilai puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali lipat dibandingkan investasi awal. Akan tetapi, sebenarnya, tidak banyak yang benar-benar sukses seperti itu. Sejatinya, jauh lebih banyak lagi yang gagal dan tidak pernah berhasil meningkatkan nilai investasi awal.

Menurut Peter Thiel dalam bukunya Zero to One, porsi antara perusahaan rintisan digital yang sukses dan tidak sukses tidak mengikuti distribusi normal dari sisi volume maupun nilainya. Mereka mengikuti hukum pangkat atau eksponensial.

Maksudnya kira-kira begini. Kalau mengikuti distribusi normal, maka perusahaan-perusahaan buruk akan gagal, perusahaan sedang akan tetap flat, dan yang baik akan memberikan pengembalian 2 kali atau 4 kali lipat. Sukses dan gagal dalam ini adalah menggunakan kaca mata investor atau pemodal.

Yang sebenarnya terjadi, katanya, adalah segelintir kecil perusahaan secara radikal mengalahkan semua yang lain. Itulah sebabnya, menurut Peter Thiel, pemodal ventura menggunakan strategi spray and pray. Sebar sebanyak-banyaknya investasi dan berdoa saja barangkali ada satu dua atau segelintir di antaranya yang sukses yang menutupi kegagalan investasi puluhan atau ratusan lainnya.

Sebagai gambaran, Andreessen Horowitz berinvestasi US$250.000 di Instagram pada 2010. Facebook kemudian membeli Instagram 2 tahun kemudian senilai US$1 miliar. Andreessen yang memegang sebagian saham, memperoleh hasil bersih US$78 juta. Artinya mereka dapat laba 312 kali lipat dalam waktu kurang dari 2 tahun. Tentu ini keberhasilan yang dahsyat.

Akan tetapi, ternyata, hasil ini belum memadai sama sekali bagi Andreessen. Sebabnya, perusahaan ini telah mengucurkan US$1,5 miliar ke berbagai perusahaan lain. Berarti mereka perlu menemukan 19 Instagram sekadar untuk mencapai titik impas.

Begitulah. Ada banyak sekali kisah tidak sukses di balik segelintir kisah kesuksesan para perintis bisnis digital.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan novel Tolstoy pada awal tulisan di atas.

Menurut Thiel, dalam dunia bisnis, yang terjadi justru sebaliknya dari cerita Anne Karenina. “Semua perusahaan yang gagal itu sama: mereka gagal membebaskan diri dari kompetisi. Sedangkan perusahaan yang sukses itu berbeda: masing-masing memiliki cara yang unik dalam memecahkan masalahnya,” begitu jelas Thiel.

Jadi, menurut dia, kuncinya ada di kompetisi. Masuk dalam persaingan artinya perusahaan itu menyediakan sesuatu yang bisa pula digarap perusahaan lain atau pihak lain. Membebaskan dari kompetisi artinya menciptakan pasar baru, konsumen baru, benua baru. Atau, bisa juga, begitu perkasa di pasar sehingga tidak ada yang layak disandingkan sebagai pesaing.

Pieter Thiel memberikan contoh bagaimana perusahaan raksasa Internet seperti Google berusaha menghindarkan dari dari “jebakan” persaingan. Google memiliki unit bisnis dan bidang garapan yang sangat luas. Dengan demikian, raksasa ini menjadi sulit didefinisikan serta dilihat batas-batas usahanya dalam satu bidang atau satu segmen dan otomatis sulit dicari siapa pesaingnya.

Google selain menggarap mesin pencari juga mengerjakan mobil robotik, sistem operasi Android, wearable device, dan sebagainya. Thiel mengingatkan bahwa sebenarnya 95% pendapatan Google masih berasal dari iklan melalui mesin pencari. Beragam produk lain hanya menghasilkan nilai yang sedikit, dan produk konsumernya lebih kecil lagi kontribusinya.

“Dengan membingkai diri sebagai sebuah perusahaan teknologi yang tidak banyak berbeda dari banyak perusahaan lain, Google berhasil lolos dari perhatian yang tidak diinginkan,” begitu Thiel menyimpulkan.

Yang dimaksud perhatian yang tidak diinginkan, dalam konteks persaingan yang dihadapi Google, adalah semacam UU antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pemegang monopoli, kita tahu, nyaris tidak memiliki pesaing signifikan.

Ada paradoks menarik yang diungkapkan Pieter Thiel dalam buku itu. “Perusahaan pemegang monopoli cenderung suka mengecilkan diri dan tidak mengakui bahwa mereka memiliki penguasaan pasar yang terlalu dominan. Sebaliknya, perusahaan yang lemah justru sering membesar-besarkan diri, mengaku memiliki posisi yang amat dominan, di segmen yang sengaja digambarkan sebagai terlalu kecil.”

Jadi, dalam hal ini, ada setidaknya dua cara menghindari kompetisi. Mendefiniskan diri di wilayah baru yang belum ada persiangan atau meluaskan diri ke wilayah yang batasnya tidak jelas sehingga ketika mendominasi di pasar tertentu tetap tidak dilihat sebagai ancaman terhadap persaingan sehat (meskipun berpraktik monopolistik).

Kalau kita lihat dalam perspektif lebih luas, sebenarnya ada banyak pendekatan yang digunakan untuk menghindarkan kompetisi agar sukses. Misalnya, ada yang menggunakan pendekatan red ocean vs blue ocean, ada pendekatan market based view (memenangkan persaingan) vs resources based view (menghindari persaingan), dan sebagainya. Intinya dari sisi kompetisi sama saja, hindari sebisa mungkin. Namun seperti dirumuskan Peter Thiel, masing-masing perusahaan yang sukses seperti Google ini, punya caranya sendiri dalam membebaskan diri dari kompetisi.

Konon, belajar dari kegagalan itu penting. Bahkan ada nasihat bijak yang menyatakan bahwa belajar dari kegagalan itu lebih penting daripada belajar dari kisah sukses.

Apa yang dijelaskan oleh Peter Thiel bahwa semua yang gagal itu sama agaknya merupakan penyederhanaan yang berlebihan. Namun, setidaknya ada pola yang memang menurutnya sama, terjadi di semua start up yang gagal.

Nah, dalam soal mencari pola di antara perusahaan-perusahaan yang gagal ini, ada baiknya menengok hasil kerja Mark Ingebretsen. Wartawan bidang bisnis itu mengumpulkan puluhan kisah kegagalan perusahaan, mengelompokkan, kemudian menyusunnya secara sistematis dalam buku Why Companies Fail.

Perusahaan yang diteliti Ingebretsen memang bukan perusahaan rintisan atau start up bidang digital, melainkan perusahaan-perusahaan raksasa yang pernah berjaya. Dia kemudian mengidentifikasi ada 10 “dosa besar” yang bisa membuat gagal.

Dari 10 penyebab kegagalan yang dijelaskan Ingebretsen, beberapa hal yang amat menarik disimak di era digital, di antaranya: mengabaikan konsumen; berinovasi terlalu sedikit atau terlalu banyak; mengabaikan kewajiban, ancaman, dan krisis; serta terjun dalam perang gesekan. Bagian terakhir ini memiliki nada yang sama dengan penjelasan Peter Thiel, terjebak dalam persaingan (yang tidak bisa dimenangkan).

Oleh Setyardi Widodo
Disadur dari Bisnis, Selasa, 14 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar