“Semua
keluarga bahagia itu sama. Akan tetapi, setiap keluarga yang tidak bahagia itu
tidak bahagia dengan caranya masing-masing.”
Begitulah
kurang lebih kutipan yang amat terkenal dari sastrawan Rusia, Leo Nikolayevich
Tolstoy, pada bagian awal dari dalam novel panjangnya Anne Karenina. Novel
tersebut pertama kali terbit pada 1877 setelah proses penulisan selama 4 tahun.
Semula, Tolstoy memilih judul Two
Couples atau Two
Marriege untuk kisah tentang perbandingan antara keluarga bahagia
dan tidak bahagia itu.
Ungkapan
Tolstoy tersebut menggambarkan betapa banyak jalan menuju ketidakbahagiaan
dalam sebuah keluarga. Masing-masing keluarga yang tidak bahagia punya masalah
dan caranya sendiri. Kalau dalam istilah sekarang, dalam meninjau
ketidakbahagiaan sebuah keluarga, perlu dilihat kasus per kasus, tidak bisa
digeneralisasi alias di-gebyah
uyah.
Tulisan
ini tidak membahas mengenai ketidakbahagiaan keluarga, melainkan analogi atas
ungkapan sastrawan Rusia itu dalam kasus lain.
Adalah
Peter Thiel, salah satu pendiri perusahaan pembayaran berbasis Internet Paypal,
yang menggunakan ungkapan Tolstoy itu untuk menjelaskan fenomena yang
berkembang dalam dunia bisnis, khususnya di bidang start up digital.
Kita
tahu ada sejumlah perusahaan rintisan digital yang berhasil mengguncang dunia
karena dalam waktu singkat mampu menghasilkan nilai puluhan, ratusan, bahkan
ribuan kali lipat dibandingkan investasi awal. Akan tetapi, sebenarnya, tidak
banyak yang benar-benar sukses seperti itu. Sejatinya, jauh lebih banyak lagi
yang gagal dan tidak pernah berhasil meningkatkan nilai investasi awal.
Menurut
Peter Thiel dalam bukunya Zero
to One, porsi antara perusahaan rintisan digital yang sukses dan
tidak sukses tidak mengikuti distribusi normal dari sisi volume maupun
nilainya. Mereka mengikuti hukum pangkat atau eksponensial.
Maksudnya
kira-kira begini. Kalau mengikuti distribusi normal, maka perusahaan-perusahaan
buruk akan gagal, perusahaan sedang akan tetap flat, dan yang baik akan memberikan
pengembalian 2 kali atau 4 kali lipat. Sukses dan gagal dalam ini adalah
menggunakan kaca mata investor atau pemodal.
Yang
sebenarnya terjadi, katanya, adalah segelintir kecil perusahaan secara radikal
mengalahkan semua yang lain. Itulah sebabnya, menurut Peter Thiel, pemodal
ventura menggunakan strategi spray
and pray. Sebar sebanyak-banyaknya investasi dan berdoa saja
barangkali ada satu dua atau segelintir di antaranya yang sukses yang menutupi
kegagalan investasi puluhan atau ratusan lainnya.
Sebagai
gambaran, Andreessen Horowitz berinvestasi US$250.000 di Instagram pada 2010.
Facebook kemudian membeli Instagram 2 tahun kemudian senilai US$1 miliar.
Andreessen yang memegang sebagian saham, memperoleh hasil bersih US$78 juta.
Artinya mereka dapat laba 312 kali lipat dalam waktu kurang dari 2 tahun. Tentu
ini keberhasilan yang dahsyat.
Akan
tetapi, ternyata, hasil ini belum memadai sama sekali bagi Andreessen.
Sebabnya, perusahaan ini telah mengucurkan US$1,5 miliar ke berbagai perusahaan
lain. Berarti mereka perlu menemukan 19 Instagram sekadar untuk mencapai titik
impas.
Begitulah.
Ada banyak sekali kisah tidak sukses di balik segelintir kisah kesuksesan para
perintis bisnis digital.
Lalu,
bagaimana kaitannya dengan novel Tolstoy pada awal tulisan di atas.
Menurut
Thiel, dalam dunia bisnis, yang terjadi justru sebaliknya dari cerita Anne Karenina. “Semua
perusahaan yang gagal itu sama: mereka gagal membebaskan diri dari kompetisi.
Sedangkan perusahaan yang sukses itu berbeda: masing-masing memiliki cara yang
unik dalam memecahkan masalahnya,” begitu jelas Thiel.
Jadi,
menurut dia, kuncinya ada di kompetisi. Masuk dalam persaingan artinya
perusahaan itu menyediakan sesuatu yang bisa pula digarap perusahaan lain atau
pihak lain. Membebaskan dari kompetisi artinya menciptakan pasar baru, konsumen
baru, benua baru. Atau, bisa juga, begitu perkasa di pasar sehingga tidak ada
yang layak disandingkan sebagai pesaing.
Pieter
Thiel memberikan contoh bagaimana perusahaan raksasa Internet seperti Google
berusaha menghindarkan dari dari “jebakan” persaingan. Google memiliki unit
bisnis dan bidang garapan yang sangat luas. Dengan demikian, raksasa ini
menjadi sulit didefinisikan serta dilihat batas-batas usahanya dalam satu
bidang atau satu segmen dan otomatis sulit dicari siapa pesaingnya.
Google
selain menggarap mesin pencari juga mengerjakan mobil robotik, sistem operasi
Android, wearable device,
dan sebagainya. Thiel mengingatkan bahwa sebenarnya 95% pendapatan Google masih
berasal dari iklan melalui mesin pencari. Beragam produk lain hanya
menghasilkan nilai yang sedikit, dan produk konsumernya lebih kecil lagi
kontribusinya.
“Dengan
membingkai diri sebagai sebuah perusahaan teknologi yang tidak banyak berbeda
dari banyak perusahaan lain, Google berhasil lolos dari perhatian yang tidak
diinginkan,” begitu Thiel menyimpulkan.
Yang
dimaksud perhatian yang tidak diinginkan, dalam konteks persaingan yang
dihadapi Google, adalah semacam UU antimonopoli dan persaingan usaha tidak
sehat. Pemegang monopoli, kita tahu, nyaris tidak memiliki pesaing signifikan.
Ada
paradoks menarik yang diungkapkan Pieter Thiel dalam buku itu. “Perusahaan
pemegang monopoli cenderung suka mengecilkan diri dan tidak mengakui bahwa
mereka memiliki penguasaan pasar yang terlalu dominan. Sebaliknya, perusahaan
yang lemah justru sering membesar-besarkan diri, mengaku memiliki posisi yang
amat dominan, di segmen yang sengaja digambarkan sebagai terlalu kecil.”
Jadi,
dalam hal ini, ada setidaknya dua cara menghindari kompetisi. Mendefiniskan
diri di wilayah baru yang belum ada persiangan atau meluaskan diri ke wilayah
yang batasnya tidak jelas sehingga ketika mendominasi di pasar tertentu tetap
tidak dilihat sebagai ancaman terhadap persaingan sehat (meskipun berpraktik
monopolistik).
Kalau
kita lihat dalam perspektif lebih luas, sebenarnya ada banyak pendekatan yang
digunakan untuk menghindarkan kompetisi agar sukses. Misalnya, ada yang
menggunakan pendekatan red
ocean vs blue ocean, ada pendekatan market based view (memenangkan persaingan) vs resources based view
(menghindari persaingan), dan sebagainya. Intinya dari sisi kompetisi sama
saja, hindari sebisa mungkin. Namun seperti dirumuskan Peter Thiel,
masing-masing perusahaan yang sukses seperti Google ini, punya caranya sendiri
dalam membebaskan diri dari kompetisi.
Konon,
belajar dari kegagalan itu penting. Bahkan ada nasihat bijak yang menyatakan
bahwa belajar dari kegagalan itu lebih penting daripada belajar dari kisah
sukses.
Apa
yang dijelaskan oleh Peter Thiel bahwa semua yang gagal itu sama agaknya
merupakan penyederhanaan yang berlebihan. Namun, setidaknya ada pola yang
memang menurutnya sama, terjadi di semua start
up yang gagal.
Nah,
dalam soal mencari pola di antara perusahaan-perusahaan yang gagal ini, ada
baiknya menengok hasil kerja Mark Ingebretsen. Wartawan bidang bisnis itu
mengumpulkan puluhan kisah kegagalan perusahaan, mengelompokkan, kemudian
menyusunnya secara sistematis dalam buku Why
Companies Fail.
Perusahaan
yang diteliti Ingebretsen memang bukan perusahaan rintisan atau start up bidang digital,
melainkan perusahaan-perusahaan raksasa yang pernah berjaya. Dia kemudian
mengidentifikasi ada 10 “dosa besar” yang bisa membuat gagal.
Dari
10 penyebab kegagalan yang dijelaskan Ingebretsen, beberapa hal yang amat
menarik disimak di era digital, di antaranya: mengabaikan konsumen; berinovasi
terlalu sedikit atau terlalu banyak; mengabaikan kewajiban, ancaman, dan
krisis; serta terjun dalam perang gesekan. Bagian terakhir ini memiliki nada
yang sama dengan penjelasan Peter Thiel, terjebak dalam persaingan (yang tidak
bisa dimenangkan).
Oleh Setyardi
Widodo
Disadur
dari Bisnis, Selasa, 14 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar