Editors Picks

Rabu, 15 Juni 2016

Hidden Cost dalam Tax Amnesty



Kebijakan tax amnesty (TA) dipandang sebagai salah satu oase dalam pengamanan penerimaan pajak maupun pendorong likuiditas melalui kegiatan investasi. Salah satu dokumentasi tertua mengenai praktik TA terdapat pada batu Rosetta (200 SM) di Mesir.

Seiring dengan perkembangan waktu, popularitas TA menjadi pilihan bagi banyak negara untuk mengamankan penerimaannya, antara lain  Australia, Austria, Belgia, Finlandia, Italia, New Zealand, Spanyol, Rusia, Argentina, India, Meksiko, Filipina, dan AS.

Pengalaman dan sejarah penerapan TA telah terdokumentasi, sehingga layak untuk dijadikan lesson learnt bagi Indonesia yang saat ini sedang menyiapkan perangkat hukum TA dengan penekanan pada penerapan offshore voluntary declaration atas aset yang belum dilaporkan kepada otoritas pajak.

TA merupakan isu yang vital, sehingga berbagai analisis terhadap kebijakan ini bermunculan. Masing-masing memiliki supporting argument berdasarkan data dan referensi dari berbagai sumber.

Salah satu pertimbangan implementasi TA antara lain didasarkan pada benefit-nya, bahwa program ini dapat memberi keuntungan jangka pendek berupa tambahan penerimaan pajak, sekaligus keuntungan jangka panjang melalui dorongan terhadap likuiditas dan investasi.

Sebut saja Italia sebagai contoh, dengan klaim tax collection sebesar lebih dari US$4,4 miliar dari repatriasi aset yang tersembunyi mayoritas di Switzerland, Monaco, dan Bahama.

TA juga dipandang sebagai mekanisme untuk membawa para partisipan masuk ke dalam sistem yang legal dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Kementerian Keuangan memprediksi bahwa program repatriasi aset memiliki potensi tambahan penerimaan pajak sekitar Rp165 triliun (untuk tahun ini), jumlah yang signifikan untuk memperbaiki postur APBN-P, terlebih untuk menutup shortfall/defisit yang saat ini berada di posisi 2,5% PDB.

Di sisi lain, TA yang tidak didesain dengan baik berpotensi memiliki hidden cost, yang jika diabaikan, dalam jangka panjang dapat memberi efek negatif bagi penerimaan pajak.

Kepatuhan WP
Penurunan tingkat kepatuhan pasca-TA dapat terjadi. Beberapa peneliti seperti James Alm, McKee, Beck, Leonard dan Zeckhauser serta Katherine Baer dan Eric Le Borgne menyatakan bahwa penurunan compliance pasca-implementasi TA dapat dipicu beberapa sebab.

Pertama adanya persepsi WP patuh bahwa TA merupakan kebijakan yang tidak/kurang memberikan rasa keadilan bagi mereka.

Kedua, TA memberi ‘sinyal’ yang secara tidak langsung membuat WP patuh aware akan adanya ketidakpatuhan WP lain yang menggambarkan mudahnya melakukan ketidakpatuhan karena otoritas pajak tidak dapat meng-enforce UU perpajakan pada tax evader.

Ketiga, adanya aspek intertemporal dan interdependen yang mengisyaratkan bahwa seiring berjalannya waktu, keputusan untuk patuh/tidak patuh satu pihak dapat bergantung pada keputusan pihak lain.

Keempat, individu memiki kecenderungan menunda kepatuhan karena mereka mengantsipasi akan adanya kemungkinan amnesty serupa di masa depan. Untuk poin ini, beberapa kasus dapat kita jadikan sampel, misalnya kegagalan di Argentina (karena TA ditetapkan secara repetitive pada periode 1995—2004) dan Filipina  (karena frekuensi TA yang tinggi dari 1972—1987). Hal ini berkontribusi pada menurunnya compliance dan rasio tax-to GDP.

Pembelajaran & Strategi
Untuk mengantisipasi penurunan tingkat kepatuhan WP secara jangka panjang, kebijakan ini harus didesain dan dilengkapi dengan strategi yang komprehensif. Pertama adalah enforcement yang tegas dan konkret.

Leonard dan Zeckhauser dalam Amnesty, Enforcement, and Tax Policy menyatakan bahwa TA dengan enforcement effort yang lebih tegas daripada sebelum pelaksanaan TA, berpotensi meningkatkan compliance di masa yang akan datang.

Alm, McKee, Beck, serta Katherine Baer dan Eric Le Borgne, juga menyatakan bahwa TA dengan penegakan hukum yang lebih tegas dari sebelumnya, tidak akan memberikan efek negatif terhadap compliance secara long run.

Untuk itu, target dan mekanisme penegakan hukum (sanksi, pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, dll.) pasca amnesty harus dinyatakan secara jelas.
Massachusets dan Colorado memetik keberhasilan melalui aplikasi penegakan hukum yang tegas pasca TA. Tentu saja upaya ini harus terintegrasi dengan paket reformasi perpajakan yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Kedua, guna meredam penundaan kepatuhan karena ekspektasi adanya program serupa di masa depan, maka harus dinyatakan secara implisit dalam aturan bahwa TA ini merupakan kesempatan terakhir bagi WP.

Ketiga, perlunya strategi pendukung berupa aturan pelaksanaan dan perbaikan sistem untuk mengantisipasi pemanfaatan data dan informasi hasil Automatic Exchange of Information (AEOI).

AEOI merupakan standar global yang dikembangkan OECD dan G-20 dalam pertukaran informasi finansial entitas non-residen kepada otoritas pajak di jurisdiksinya. Informasi tersebut akan ditransmisikan ke negara asal entitas yang menjadi partisipan dalam perjanjian. AEOI diharapkan dapat meminimalisir upaya penggelapan pajak yang berskala global.

Selain itu, harus terdapat strategi komplementer untuk mencegah outflow aset ke luar negeri, berupa aturan locking period, mekanisme repatriasi dan prosedur manajemen investasinya (institusi, instrumen, pengawasan, pelaporan, dll).

Desain strategi yang komprehensif dan sistematis diikuti enforcement effort yang konkret dari seluruh otoritas terkait merupakan kunci kesuksesan implementasi TA, agar benefit jangka pendek maupun jangka panjangnya bisa kita petik. Jangan sampai kesalahan yang dilakukan negara lain terulang, agar kelak publik tidak berasumsi  bahwa TA seperti ‘menawarkan anggur lama dengan botol baru’.

oleh Ira Febriana Sari
disadur dari Bisnis, Kamis, 9 Juni i2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar