Kebijakan
tax amnesty (TA)
dipandang sebagai salah satu oase dalam pengamanan penerimaan pajak maupun
pendorong likuiditas melalui kegiatan investasi. Salah satu dokumentasi tertua
mengenai praktik TA terdapat pada batu Rosetta (200 SM) di Mesir.
Seiring
dengan perkembangan waktu, popularitas TA menjadi pilihan bagi banyak negara
untuk mengamankan penerimaannya, antara lain Australia, Austria, Belgia,
Finlandia, Italia, New Zealand, Spanyol, Rusia, Argentina, India, Meksiko,
Filipina, dan AS.
Pengalaman
dan sejarah penerapan TA telah terdokumentasi, sehingga layak untuk dijadikan lesson learnt bagi
Indonesia yang saat ini sedang menyiapkan perangkat hukum TA dengan penekanan
pada penerapan offshore
voluntary declaration atas aset yang belum dilaporkan kepada
otoritas pajak.
TA
merupakan isu yang vital, sehingga berbagai analisis terhadap kebijakan ini
bermunculan. Masing-masing memiliki supporting
argument berdasarkan data dan referensi dari berbagai sumber.
Salah
satu pertimbangan implementasi TA antara lain didasarkan pada benefit-nya,
bahwa program ini dapat memberi keuntungan jangka pendek berupa tambahan
penerimaan pajak, sekaligus keuntungan jangka panjang melalui dorongan terhadap
likuiditas dan investasi.
Sebut
saja Italia sebagai contoh, dengan klaim tax
collection sebesar lebih dari US$4,4 miliar dari repatriasi aset yang
tersembunyi mayoritas di Switzerland, Monaco, dan Bahama.
TA
juga dipandang sebagai mekanisme untuk membawa para partisipan masuk ke dalam
sistem yang legal dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Kementerian
Keuangan memprediksi bahwa program repatriasi aset memiliki potensi tambahan
penerimaan pajak sekitar Rp165 triliun (untuk tahun ini), jumlah yang
signifikan untuk memperbaiki postur APBN-P, terlebih untuk menutup shortfall/defisit yang
saat ini berada di posisi 2,5% PDB.
Di
sisi lain, TA yang tidak didesain dengan baik berpotensi memiliki hidden cost, yang jika
diabaikan, dalam jangka panjang dapat memberi efek negatif bagi penerimaan
pajak.
Kepatuhan WP
Penurunan
tingkat kepatuhan pasca-TA dapat terjadi. Beberapa peneliti seperti James Alm,
McKee, Beck, Leonard dan Zeckhauser serta Katherine Baer dan Eric Le Borgne
menyatakan bahwa penurunan compliance
pasca-implementasi TA dapat dipicu beberapa sebab.
Pertama adanya persepsi WP patuh bahwa TA
merupakan kebijakan yang tidak/kurang memberikan rasa keadilan bagi mereka.
Kedua, TA memberi ‘sinyal’ yang secara tidak
langsung membuat WP patuh aware
akan adanya ketidakpatuhan WP lain yang menggambarkan mudahnya melakukan
ketidakpatuhan karena otoritas pajak tidak dapat meng-enforce UU perpajakan pada
tax evader.
Ketiga, adanya aspek intertemporal dan
interdependen yang mengisyaratkan bahwa seiring berjalannya waktu, keputusan
untuk patuh/tidak patuh satu pihak dapat bergantung pada keputusan pihak lain.
Keempat, individu memiki kecenderungan menunda
kepatuhan karena mereka mengantsipasi akan adanya kemungkinan amnesty serupa di masa depan. Untuk poin
ini, beberapa kasus dapat kita jadikan sampel, misalnya kegagalan di Argentina
(karena TA ditetapkan secara repetitive pada periode 1995—2004) dan
Filipina (karena frekuensi TA yang tinggi dari 1972—1987). Hal ini berkontribusi
pada menurunnya compliance dan rasio tax-to GDP.
Pembelajaran & Strategi
Untuk
mengantisipasi penurunan tingkat kepatuhan WP secara jangka panjang, kebijakan
ini harus didesain dan dilengkapi dengan strategi yang komprehensif. Pertama
adalah enforcement
yang tegas dan konkret.
Leonard
dan Zeckhauser dalam Amnesty, Enforcement,
and Tax Policy menyatakan bahwa TA
dengan enforcement effort
yang lebih tegas daripada sebelum pelaksanaan TA, berpotensi meningkatkan compliance di masa yang
akan datang.
Alm,
McKee, Beck, serta Katherine Baer dan Eric Le Borgne, juga menyatakan bahwa TA
dengan penegakan hukum yang lebih tegas dari sebelumnya, tidak akan memberikan
efek negatif terhadap compliance
secara long run.
Untuk
itu, target dan mekanisme penegakan hukum (sanksi, pengawasan, pemeriksaan,
penyidikan, dll.) pasca amnesty
harus dinyatakan secara jelas.
Massachusets
dan Colorado memetik keberhasilan melalui aplikasi penegakan hukum yang tegas
pasca TA. Tentu saja upaya ini harus terintegrasi dengan paket reformasi
perpajakan yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Kedua, guna meredam penundaan kepatuhan
karena ekspektasi adanya program serupa di masa depan, maka harus dinyatakan
secara implisit dalam aturan bahwa TA ini merupakan kesempatan terakhir bagi
WP.
Ketiga, perlunya strategi pendukung berupa
aturan pelaksanaan dan perbaikan sistem untuk mengantisipasi pemanfaatan data
dan informasi hasil Automatic Exchange of
Information (AEOI).
AEOI
merupakan standar global yang dikembangkan OECD dan G-20 dalam pertukaran
informasi finansial entitas non-residen kepada otoritas pajak di jurisdiksinya.
Informasi tersebut akan ditransmisikan ke negara asal entitas yang menjadi
partisipan dalam perjanjian. AEOI diharapkan dapat meminimalisir upaya
penggelapan pajak yang berskala global.
Selain
itu, harus terdapat strategi komplementer untuk mencegah outflow aset ke luar
negeri, berupa aturan locking
period, mekanisme repatriasi dan prosedur manajemen investasinya
(institusi, instrumen, pengawasan, pelaporan, dll).
Desain
strategi yang komprehensif dan sistematis diikuti enforcement effort yang konkret dari seluruh
otoritas terkait merupakan kunci kesuksesan implementasi TA, agar benefit
jangka pendek maupun jangka panjangnya bisa kita petik. Jangan sampai kesalahan
yang dilakukan negara lain terulang, agar kelak publik tidak berasumsi
bahwa TA seperti ‘menawarkan anggur lama dengan botol baru’.
oleh Ira
Febriana Sari
disadur
dari Bisnis, Kamis, 9 Juni i2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar