Pertumbuhan
ekonomi Indonesia kuartal I 2016 masih mengecewakan karena hanya tumbuh 4,92%
di tengah tingginya ekspektasi bahwa pertumbuhan ekonomi dapat melanjutkan tren
penguatannya (pertumbuhan dari kuartal II s.d. kuartal IV 2015 berada pada tren
penguatan yaitu berturut-turut sebesar 4,67%, 4,73% dan 5,04%).
Tidak heran Bank Dunia minggu lalu menurunkan proyeksi pertumbuhan Indonesia
2016 dari 5,3% menjadi 5,1%. Pemerintah dan DPR pun sedang membahas penurunan
asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN-P 2016 menjadi 5,1%—5,2%.Walaupun target pertumbuhan telah diturunkan, risiko tidak tercapainya target tersebut tetap ada. Berapa lead indicator menunjukkan bahwa kinerja perkonomian domestik masih belum solid. Konsumsi semen April 2016 secara year on year hanya tumbuh 2%, begitu pula penjualan mobil dan motor.
Jika dibandingkan dengan periode Januari—April 2015, penjualan mobil dan mobil Januari—April 2016 bahkan terkontraksi masing-masing 3,2% dan 7%.
Indikator lain yang menunjukkan masih lemahnya kinerja ekonomi domestik adalah pelemahan impor yang masih terus berlangsung. Impor sampai dengan April 2016 terkontraksi sebesar 13,44% yang utamanya didorong oleh turunnya impor barang modal dan bahan baku/penolong, komponen pendorong pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi eksternal, kondisi perekonomian global masih belum menggembirakan sehingga tidak dapat diharapkan menciptakan tail wind bagi perekonomian nasional.
Bank Dunia kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan global dari 2,9% menjadi 2,4%. Mitra dagang utama Indonesia, Jepang dan China juga masih mengalami tekanan. Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan Jepang tahun 2016 dari 1,3% menjadi 0,5%. Begitupun China yang terus berada pada tren penurunan pertumbuhan ekonomi (2015 tumbuh 6,9% sedangkan 2016 diproyeksikan tumbuh 6,7%) sehingga permintaan terhadap produk impor, termasuk produk dari Indonesia juga terus menurun.
Stimulus
Untuk mengakselerasi pertumbuhan, ekonomi Indonesia sedang memerlukan stimulus
baik fiskal maupun moneter. Sayangnya stimulus fiskal sulit diberikan di tengah
rendahnya realisasi penerimaan negara yang telah memaksa pemerintah melakukan
penghematan anggaran untuk menekan defisit APBN. Oleh karenanya, satu-satunya
stimulus yang dapat di be rikan adalah stimulus moneter dan saya berpendapat
terdapat ruang untuk memberi kan stimulus moneter tersebut pada Juni ini.
Ruang tersebut dapat dilihat dari masih rendahnya inflasi yang masih jauh di bawah target sebesar 4% +/- 1%. Inflasi Januari—Mei 2016 hanya 0,4% atau secara year on year sebesar 3,3%. Begitupun core inflation Mei 2016 juga masih rendah yaitu hanya 3,41% year on year. Rendahnya inflasi khususnya core inflation mengindikasikan lemahnya permintaan domestik (demand side) sehingga stimulus moneter diharapkan dapat meningkatkan permintaan domestik.
BI diharapkan berani menurunkan BI Rate setidaknya 25 bps dalam Rapat Dewan Gubernur BI minggu ini, 15—16 Juni 2016.
Terdapat momen penurunan suku bunga mengingat the Fed hampir dipastikan membatalkan rencana kenaikan Federal Fund Rate (FFR) pada Juni ini mengingat masih lemahnya data penyerapan tenaga kerja di Mei 2016.
FFR kembali diekspektasikan menaikkan FFR pada FOMC Meeting Juli 2016 dan terdapat peluang kembali akan menaikkan FFR di akhir 2016.
Oleh karenanya, penundaan kenaikan FFR Juni ini memberikan ruang eksklusif bagi bank sentral negara lain untuk meluncurkan stimulus moneter, dimana ruang tersebut belum tentu terbuka lagi di tahun ini.
Memanfaatkan ruang dari momen penundaan kenaikan FFR tersebut, Bank Sentral Korea (BOK) menurunkan suku bunganya sebesar 25 bps menjadi 1,25% pada minggu lalu untuk menstimulus ekonomi yang tumbuh lemah.
Penetapan suku bunga kebijakan di level terendah sepanjang sejarah Korea tersebut juga dilakukan untuk membantu pemerintah untuk dapat mendapatkan dana lebih murah dalam melaksanakan program restrukturisasi industri perkapalan di Korea.
Pemerintah Korea direncanakan menyediakan dana sebesar US$9,5 miliar untuk membantu Bank Exim dan Bank Pembangunan Korea yang banyak terekspose oleh industri perkapalan Korea yang bermasalah.
Sekali lagi, kita patut untuk mendorong BI untuk berani mengambil ruang penurunan BI Rate yang belum tentu akan muncul kembali pada 2016 ini. Penulis pribadi sangat kagum dengan rekam jejak ketegasan dan keberanian Gubernur Bank Indonesia Agus Marto dalam mengambil keputusan.
Keberanian Pak Agus dalam mengurus debitur bermasalah masih menjadi ‘legenda hidup’ di Bank Mandiri, begitupun saat di Kementerian Keuangan yang dengan berani menjaga disiplin fiskal dan membintangi anggaran yang dinilai bermasalah. Dalam memutus kenaikan BI Rate, apakah Pak Agus masih seberani dulu? Walahu a’lam.
Ruang tersebut dapat dilihat dari masih rendahnya inflasi yang masih jauh di bawah target sebesar 4% +/- 1%. Inflasi Januari—Mei 2016 hanya 0,4% atau secara year on year sebesar 3,3%. Begitupun core inflation Mei 2016 juga masih rendah yaitu hanya 3,41% year on year. Rendahnya inflasi khususnya core inflation mengindikasikan lemahnya permintaan domestik (demand side) sehingga stimulus moneter diharapkan dapat meningkatkan permintaan domestik.
BI diharapkan berani menurunkan BI Rate setidaknya 25 bps dalam Rapat Dewan Gubernur BI minggu ini, 15—16 Juni 2016.
Terdapat momen penurunan suku bunga mengingat the Fed hampir dipastikan membatalkan rencana kenaikan Federal Fund Rate (FFR) pada Juni ini mengingat masih lemahnya data penyerapan tenaga kerja di Mei 2016.
FFR kembali diekspektasikan menaikkan FFR pada FOMC Meeting Juli 2016 dan terdapat peluang kembali akan menaikkan FFR di akhir 2016.
Oleh karenanya, penundaan kenaikan FFR Juni ini memberikan ruang eksklusif bagi bank sentral negara lain untuk meluncurkan stimulus moneter, dimana ruang tersebut belum tentu terbuka lagi di tahun ini.
Memanfaatkan ruang dari momen penundaan kenaikan FFR tersebut, Bank Sentral Korea (BOK) menurunkan suku bunganya sebesar 25 bps menjadi 1,25% pada minggu lalu untuk menstimulus ekonomi yang tumbuh lemah.
Penetapan suku bunga kebijakan di level terendah sepanjang sejarah Korea tersebut juga dilakukan untuk membantu pemerintah untuk dapat mendapatkan dana lebih murah dalam melaksanakan program restrukturisasi industri perkapalan di Korea.
Pemerintah Korea direncanakan menyediakan dana sebesar US$9,5 miliar untuk membantu Bank Exim dan Bank Pembangunan Korea yang banyak terekspose oleh industri perkapalan Korea yang bermasalah.
Sekali lagi, kita patut untuk mendorong BI untuk berani mengambil ruang penurunan BI Rate yang belum tentu akan muncul kembali pada 2016 ini. Penulis pribadi sangat kagum dengan rekam jejak ketegasan dan keberanian Gubernur Bank Indonesia Agus Marto dalam mengambil keputusan.
Keberanian Pak Agus dalam mengurus debitur bermasalah masih menjadi ‘legenda hidup’ di Bank Mandiri, begitupun saat di Kementerian Keuangan yang dengan berani menjaga disiplin fiskal dan membintangi anggaran yang dinilai bermasalah. Dalam memutus kenaikan BI Rate, apakah Pak Agus masih seberani dulu? Walahu a’lam.
Oleh Bayu
Kariastanto
Disadur
dari Bisnis, 15 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar