Era keterbukaan keuangan dunia telah
menggetarkan pengemplang pajak. Zaman kegelapan dan remang-remang keuangan
telah berakhir di dunia.
Yurisdiksi yang dikenal sebagai
surga pajak, seperti Singapura, Hongkong, Swiss, dan Mauritius, bahkan akan
membuka informasi rekening warga asing. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) berhasil menekan melalui skema common reporting standard
(CRS) dan pertukaran informasi otomatis yang didukung penuh anggota G-20.
AS memiliki regulasi Foreign Account
Tax Compliance Act (FATCA) yang "mewajibkan" lembaga keuangan di
negara mana pun memberikan data keuangan warga negara Amerika Serikat. Aturan
itu tak lain untuk mencegah pengemplangan pajak. CRS adalah semacam FATCA,
tetapi bersifat global. Ini artinya zaman kegelapan dan remang-remang keuangan
telah berakhir. Di tengah era keterbukaan keuangan ini, secara mengejutkan
inisiatif menerbitkan UU Pengampunan Pajak makin mengemuka. Krisis penerimaan
negara jadi alasan. Diargumentasikan melalui pengampunan pajak, maka aset
keuangan di luar negeri kembali dan penerimaan pajak melambung.
Dana endapan WNI di negara surga
pajak luar biasa besarnya. Dokumen Panama hanyalah secuil dari puncak gunung
es. Pemerintah mengklaim memiliki daftar lebih lengkap. Kementerian Keuangan
menaksir melebihi PDB Indonesia atau sekitar Rp 11.450 triliun. Diharapkan
dengan tarif tebusan superrendah 1-6 persen, dana tersebut akan mudik, pulang
kampung.
Jika logika penerimaan negara
menjadi argumentasi utama, hasil pengampunan pajak sebenarnya bertolak
belakang. Rezim keterbukaan keuangan global akan membuka akses untuk melacak
aset finansial WNI di luar negeri sehingga memudahkan kalkulasi pajak yang
harus dibayar. Pengampunan pajak justru menghapuskan potensi itu. Perkiraan
potensi penerimaan pajak akibat amnesti dan repatriasi dana melalui tarif
"superdiskon" terus berubah, tetapi ekspektasi moderat sekitar Rp 100
triliun. Tahun depan atau tujuh bulan lagi adalah era dimulainya keterbukaan
finansial. Hanya menunggu beberapa bulan, dengan memanfaatkan mekanisme CRS,
potensi penerimaan negara akan jauh lebih besar.
Melalui pemberlakuan pajak
penghasilan sebesar 30 persen dan tanpa menghitung denda 2 persen per bulan
dari nilai Rp 11.450 triliun, maka potensi optimal penerimaan Rp 3.435 triliun.
Artinya, hampir 35 kali lipat dari perkiraan penerimaan melalui pengampunan
pajak.
Seandainya tingkat keberhasilan
hanya 20 persen pun, potensi penerimaan mencapai Rp 687 triliun, jauh lebih
besar daripada mekanisme pengampunan pajak. Lebih dari itu, potensi 80 persen
lainnya masih bisa dikejar karena statusnya tak diputihkan. Pengampunan pajak
ibarat dongeng menyembelih angsa bertelur emas, angsa mati dan telur emas tak
didapat.
Menelaah potensi kerugian penerimaan
sedemikian besar, tidak pelak keheranan mengemuka. Pengampunan pajak ini
dicurigai pemufakatan oknum pengusaha, politisi, serta pejabat yang memiliki
rekening di luar negeri. Mencuri start sebelum era terang dimulai, pengampunan
pajak diberlakukan untuk memutihkan jejak hitam di wilayah yurisdiksi surga
pajak.
"Yendaka",
"rupiahdaka"
Hal yang mengherankan, risiko
moneter terkait repatriasi dana dari luar negeri akibat pengampunan pajak
kurang diperhitungkan. Banjir bandang likuiditas valas ke dalam sistem keuangan
Indonesia jelas berdampak besar. Entah itu dimasukkan dalam berbagai instrumen
pasar uang, pasar modal, atau bahkan sektor riil sekalipun. Cadangan devisa
Indonesia saat ini sekitar 107 miliar dollar AS. Seandainya repatriasi hanya
berhasil memasukkan 20 persen saja dari potensi Rp 11.450 triliun, maka valas
masuk hampir 200 miliar dollar AS. Itu berarti nyaris dua kali lipat cadangan
devisa. Guncangan moneter akan terjadi, belum lagi jika para spekulan valas
jadi penumpang gelap.
Hal paling menakutkan dari spekulan
adalah fasilitas leverage
(pengungkit) yang bisa mencapai 500 kali. Artinya, satu miliar akan bernilai
500 miliar ketika fasilitas leverage itu
digunakan. Kalau RUU Pengampunan Pajak disahkan dan terjadi repatriasi, bagi
spekulan ini bukan spekulasi lagi, tetapi sebuah konfirmasi mengambil posisi
long atau bullishrupiah. Jika satu dua serigala spekulan menerkam dan
"mangsa" terlihat limbung, ribuan serigala besar dan kecil pun akan
mengikuti. Jepang pernah mengalami mimpi buruk yang mirip tahun 1980-an. Saat itu,
kondisi Jepang mirip Tiongkok dewasa ini, di mana produk industrinya membanjiri
dunia. AS mengalami defisit perdagangan besar terhadap Jepang dan menyalahkan
yen karena nilainya terlalu rendah. Jepang ditekan menandatangani perjanjian
Plaza Accord, lalu pasar uang diintervensi 10 miliar dollar AS dan diperparah
ulah spekulan.
Nilai yen meroket dan menguat 50
persen terhadap dollar AS. Akibatnya fatal, Jepang mengalami resesi
berkepanjangan karena industri manufaktur terguncang dan gelembung aset meletus.
Era kelam Jepang ini sering disebut "kehilangan dekade" (lost decade). Suku bunga acuan bank
sentral Jepang kini selalu mendekati nol atau bahkan negatif, tak lain ini
upaya melemahkan nilai yen, di samping mendorong produksi.
Meroketnya yen atau sering disebut yen
daka bisa terjadi di Indonesia. Meroketnya nilai tukar rupiah atau rupiah daka
akibat tsunami valas bisa menghantam industri dan ekspor. Rupiahdaka lebih seketika pengaruhnya dibandingkan "penyakit
Belanda" (Dutch disease).
Terpukulnya sektor industri jelas bertentangan dengan semangat Nawacita yang
memfokuskan produksi, nilai tambah, dan industrialisasi. Target pertumbuhan
industri manufaktur 8,6 persen per tahun tampaknya akan jadi mimpi belaka.
Fenomena sebaliknya terjadi pada Tiongkok yang kini produknya membanjiri dunia.
AS mengalami defisit perdagangan besar sehingga berkolaborasi dengan Eropa
untuk menekan Tiongkok agar menaikkan nilai tukar renminbi. Pengalaman
perjanjian Plaza Accord jelas tak ingin diulang Tiongkok. Ditekan sekuat apa
pun, Tiongkok tetap menjaga nilai renminbi agar tidak overvalue.
Badan
Penerimaan Negara
Bapak pendiri Amerika, Benjamin
Franklin, mengatakan dengan tegas, hanya ada dua hal pasti di dunia, yaitu
kematian dan pajak. Ini berarti, pajak bersifat memaksa. Tak mengherankan jika
AS meluncurkan FATCA yang memaksa warga negaranya patuh bayar pajak, meski di
negara antah berantah. Institusi finansial di Swiss yang terkenal
kerahasiaannya pun menyerah.
Pengampunan pajak di samping
memperlihatkan negara lemah terhadap pengempang pajak, juga tidak adil bagi
pembayar pajak patuh. Era keterbukaan finansial seharusnya dimanfaatkan untuk
mengejar pengemplang pajak, bukan justru sebaliknya memutihkan keculasan. Jika
kewajiban tak dipenuhi, daftar tercela pembayar pajak bila perlu diumumkan dan
tindakan tegas harus dilakukan. Untuk memfokuskan dan memastikan hal ini, Badan
Penerimaan Negara (BPN) perlu segera dibentuk dan ditugaskan. Kementerian
Keuangan terlihat kurang fokus dan bebannya terlalu berat untuk memaksimalkan
penerimaan negara. Beberapa waktu lalu, kementerian ini menyampaikan adanya
2.000 perusahaan asing mengemplang pajak Rp 500 triliun. Nyaris tak terdengar
lagi tindak lanjutnya, kini justru memfokuskan pengampunan pajak yang
potensinya ternyata lebih kecil dan mudaratnya lebih besar.
Tugas BPN, di samping menyusun basis
data pembayar pajak di luar negeri, juga pembayar pajak di dalam negeri. Rasio
cakupan pemungutan pajak (tax coverage
ratio) yang berkisar 50 persen jelas sangat rendah. Rendahnya rasio ini dan
tingkat kepatuhan menyebabkan penerimaan negara terbatas. Target rasio pajak
terhadap PDB sebesar 16 persen jelas tak akan tercapai apabila tanpa ada
terobosan.
BPN harus diberi target menaikkan
rasio pajak dan kepatuhan pembayar pajak setiap tahun. Pengampunan pajak tak
diperlukan. Jika dinilai melanggar aturan pajak, denda hingga kurungan badan
mesti diterapkan. Tak akan lari gunung dikejar, keterbukaan finansial, audit
forensik, dan inspektur pajak tanpa mengenal batas bisa dimanfaatkan. Tak perlu
tergesa, pelan namun pasti semua dikejar, repatriasi terlalu besar justru bisa
mengguncang stabilitas moneter. Pendataan aset WNI di luar negeri bisa
memanfaatkan aturan keterbukaan finansial dunia. Pendataan dalam negeri perlu
bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan agar bisa mengakses rekening di
lembaga keuangan bank maupun nonbank. Melalui basis data yang kuat dan akurat,
bisa dipastikan penerimaan negara akan jauh lebih maksimal dan berkelanjutan.
Jalan untuk meningkatkan pajak
secara permanen tak lain adalah dengan menegakkan aturan. Pengalaman amnesti
pajak di banyak negara juga menemui kegagalan. Pajak bersifat memaksa,
pengampunan pajak hanya memperlihatkan negara lemah terhadap pencoleng.
Membayar pajak tidak akan membuat miskin para pengemplang pajak yang hartanya
melimpah di luar negeri. Apakah kita mengampuni mereka karena superkaya,
pejabat, atau politisi berkuasa? Ini jelas tidak adil. Pemutihan aset keuangan
lebih dari Rp 10.000 triliun akan menjadi skandal terbesar dalam sejarah,
setelah kasus bail out perbankan
tahun 1998. Kita sering mendengar "negara tak boleh kalah dengan
preman". Kini, jika regulasi pengampunan pajak disahkan, negara telah
takluk kepada "preman berdasi".
oleh: Setyo Budiantoro
disadur dari Kompas, Jum’at, 10 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar