Editors Picks

Jumat, 17 Juni 2016

Menakar progresivitas RUU KUP



Pemerintah secara resmi telah mengajukan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) kepada DPR. Pengajuan ini menandai babak baru reformasi pajak yang sejak lama diharapkan cepat bergulir. Pertanyaannya, apakah substansi RUU ini telah sungguh menjamin arah baru sistem perpajakan dan dapat menjadi pandu bagi reformasi yang dicita-citakan?

RUU KUP yang diajukan Pemerintah adalah RUU yang sama sekali baru, menggantikan UU KUP yang selama ini berlaku (UU No 6/1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No 16/2009). Kebaruan tampak pada jumlah bab dan pasal yang mencapai 23 bab dan 129 pasal. Bandingkan dengan UU KUP yang saat ini berlaku, 9 bab dan 44 pasal.

Terdapat beberapa perubahan mendasar dalam RUU KUP. Pertama, sistematika yang lebih baik karena sekuensial, isi undang-undang disesuaikan dengan prosedur adminstrasi perpajakan yang umumnya dilalui wajib pajak. Hal ini membuat UU mudah dipahami, dengan urutan pendaftaran, pembukuan, pembayaran, pelaporan, pemeriksaan, dan sengketa.

Kedua, perubahan istilah baru seperti wajib pajak menjadi pembayar pajak, NPWP menjadi NIPP, Ditjen Pajak menjadi Lembaga, dan lainnya. Nuansa egaliter ingin ditonjolkan dengan penyebutan pembayar pajak. Ketiga, perubahan tentang sanksi administrasi. Jika dulu dibedakan bunga, denda, dan kenaikan, kini hanya disebut sanksi administratif. Besaran sanksi dibedakan antara terlambat dan tidak/kurang bayar, dan diturunkan serta menegaskan fungsi sanksi sebagai pendorong kepatuhan, bukan hukuman.

Keempat, kembali ke UU KUP lama, pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Kelima, penguatan peran penegakan hukum, mencakup perluasan kewenangan penyidik yaitu penangkapan, penyitaan, dan penghentian penyidikan. Sanksi administratif pun dibedakan lebih jelas dari sanksi pidana dan pembedaan rumusan delik formal dan delik material dipertegas. Keenam, penegasan peran data dan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum. Dan ketujuh, transformasi kelembagaan yang memisahkan Ditjen Pajak dari Kemkeu melalui pembentukan lembaga baru.

Beberapa perubahan signifikan dalam RUU KUP ini layak diapresiasi. Artinya tumbuh kesadaran akan pentingnya pajak sebagai nadi kehidupan negara modern disertai kebutuhan membangun sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

Namun, terdapat beberapa catatan kritis terhadap RUU KUP ini. Pertama, jika RUU KUP ini merupakan UU yang sama sekali baru, kebaruan prinsip, azas, maksud, dan tujuan belum cukup jelas dimasukkan dalam Penjelasan Umum. Padahal salah satu ciri dan corak perubahan harus jelas tergambar dalam Penjelasan, berikut prinsip-prinsip perpajakan baru yang sifatnya direksional sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan ruang diskresi.

Ciptakan kerumitan baru
Kedua, visi egaliter belum diikuti penghormatan hak wajib pajak lebih eksplisit, misalnya percepatan penyelesaian pemeriksaan, keberatan, dan permohonan lain, termasuk sanksi bagi Fiskus yang melanggar UU. RUU ini masih bernuansa government-centered.

Ketiga, pembenahan kelembagaan, termasuk restrukturisasi lembaga keberatan dan revitalisasi peran pengawasan yang efektif. Keempat, tantangan keterbukaan informasi dan akses ke data perbankan justru absen dari di RUU ini. Penambahan pengecualian kerahasiaan data perbankan untuk pertukaran data dan penggalian potensi justru tidak muncul.

Kelima, pembentukan badan penerimaan perpajakan yang baru perlu diikuti peta jalan yang jelas sehingga menjamin efektivitas lembaga baru dalam pemungutan pajak. Keenam, pengaturan yang detail di satu sisi lebih menjamin kepastian hukum, namun di sisi lain bisa menciptakan kerumitan dan ketidakpastian baru. Pengalaman hasil uji materi terhadap PP No. 74/2011 harus dicermati agar peraturan pelaksanaan kelak lebih jelas dan tidak melampaui kewenangan.

RUU KUP ini dapat menjadi tonggak pembuka jalan bagi Reformasi Perpajakan menyeluruh. Beberapa perubahan cukup menjanjikan meski masih membutuhkan kejelasan. Meski proses menuju  sistem perpajakan baru yang lebih baik masih panjang dan terjal, kita patut optimistis bahwa arah yang ada sudah benar dan menunggu peran serta kita ikut menyempurnakannya.

oleh Yustinus Prastowo
disadur dari Kontan, Kamis, 16 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar