Sudah
lebih tiga tahun Rancangan Undang-undang (RUU) Minyak dan Gas Bumi (migas)
bergulir dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Malahan, sudah ada dua
periode pemerintahan (Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi) yang membahas RUU
Migas. Tapi, sampai masa sidang terakhir, tidak ada gelagat RUU ini akan segera
kelar.
Pertanyaan
besar bagi publik, terutama bagi dunia usaha, apa sebenarnya yang terjadi di
dalam pembahasan RUU Migas? RUU ini seharusnya menjadi prioritas di tengah
banyaknya ketidakpastian hukum dalam bisnis industri migas.
Saat
bersamaan, guncangan berat terjadi di bisnis industri migas global. Jatuhnya
harga minyak mentah (crude
oil) dunia yang sempat mencapai US$ 30 per barel dan persaingan
yang semakin sengit dengan ditemuinya sumber energi murah, seperti shale gas, menyebabkan
kelesuan dan menurunnya daya saing investasi di sektor hulu migas.
Hal
ini sangat berdampak terhadap kinerja industri hulu migas di Indonesia. Target
lifting minyak bumi yang ditetapkan pemerintah sebesar 825.000 barel per hari
di tahun 2015 tidak terpenuhi. Diperkirakan tahun 2016, kemelencengan realisasi
terhadap target lifting akan
semakin melebar.
Pemerintah
sebenarnya perlu bertindak cepat mengatasi problema besar di industri hulu
migas saat ini. Salah satunya melalui RUU Migas ini, ketidakpastian hukum yang
terjadi saat ini bisa segera diatasi. Dunia usaha yang pada posisi wait and see bisa segera
merealisasikan investasi. Sebab, arah regulasinya jelas dan pemerintah sudah
punya norma hukum untuk merancang kebijakan tata kelola industri migas.
Proses
legislasi di DPR sudah banyak tahapan yang dilaksanakan, tapi terbentur oleh
satu isu, yaitu kelembagaan hulu migas yang menjadi dasar pengembangan tata
kelola industri migas. Topik ini penuh perdebatan banyak pihak, karena banyak
kepentingan yang bertarung. Jangan lupa, terkait persoalan kelembagaan hulu
migas ini, MK sudah mengeluarkan amar putusan No 36/PUU.X/2012 yang membatalkan
18 ketentuan terkait kedudukan, fungsi dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Migas (BP Migas) yang selama ini ditunjuk oleh pemerintah sebagai lembaga
pengelola hulu migas nasional.
Berpijak
dari putusan MK tadi, sangat jelas butuh payung hukum untuk menindaklanjutinya.
RUU Migas merupakan entry point untuk mengokohkan fungsi regulasi keberadaan
lembaga pengelolaan kegiatan hulu migas. Isu yang berkembang dalam pembahasan
RUU Migas ada dua. Pertama, fungsi penyelenggaraan pengelolaan hulu migas
diserahkan ke Pertamina. Kedua, perlu dibentuk BUMN Khusus Pengelola hulu Migas
yang langsung berada di bawah Presiden.
Jangan tambah beban Pertamina
Dua
opsi ini tentu memiliki plus dan minus masing-masing. Tapi pendapat penulis,
melibatkan Pertamina sebagai lembaga yang berwewenang penuh sebagai kuasa
pertambangan hulu migas dan berada langsung di bawah presiden kurang tepat.
Walaupun
diakui, sampai saat ini, hanya Pertamina yang secara kompetensi memiliki
pengalaman yang baik terhadap pengelolaan hulu migas. Dia juga ditunjuk sebagai
kuasa pertambangan terhadap semua blok migas.
Tapi,
kita sebenarnya menggantungkan harapan yang besar bagi Pertamina untuk
berkembang lebih profesional sebagai badan usaha yang komersial dan mampu
bersaing serta berkompetisi di percaturan global. Untuk itu, Pertamina harus
dihindari dari fungsi pengaturan dan pengendalian kegiatan hulu migas.
Sehingga, Pertamina bisa terhindar dari risiko kontrak kerjasama hulu migas.
Untuk
itu, keberadaan opsi kelembagaan hulu migas melalui BUMN Khusus Pengelola Hulu
Migas lebih relevan dibandingkan menambah beban kerja Pertamina. Keberadaan
BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas sangat penting sebagai instrumen penguasaan
negara terhadap sumber daya Migas di Indonesia. BUMN Khusus Pengelola Hulu
Migas mendapatkan pelimpahan kuasa pertambangan dan memegang hak eksklusif
terhadap semua blok migas.
Fungsi
dan tugas BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas sangat penting untuk menjamin
terpenuhinya amanah Pasal 33 UUD 1945. Untuk itu, ada beberapa tugas dan
wewenang yang melekat di lembaga ini. Pertama,
menjamin kebutuhan nasional atas Migas baik untuk konsumsi maupun mendukung
kegiatan ekonomi nasional. Dalam hal ini, BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas bisa
bertindak langsung sebagai operator pelaksana maupun melakukan kontrak
kerjasama dengan badan usaha hulu migas.
Kedua, berwenang membuat peraturan mengenai
pengelolaan dan penyelenggaran kegiatan usaha hulu migas. Sebagai lembaga yang
ditunjuk sebagai kuasa pertambangan hulu migas, BUMN Khusus Pengelola Hulu
Migas memiliki kewenangan membuat aturan main terkait tata kelola kegiatan hulu
migas.
Tujuannya
untuk meningkatkan daya saing bisnis usaha hulu migas dan menciptakan iklim
persaingan sehat. Termasuk memberikan usulan pada pemerintah terkait arah
kebijakan pengembangan kegiatan hulu migas dan berwenang membuat peraturan
terkait audit kepatuhan dan pengawasan kegiatan usaha hulu migas.
Ketiga, melakukan pengaturan dan
pengendalian dengan melakukan negosiasi dan menandatangani kontrak kerjasama
dengan badan usaha hulu migas. Sebagai lembaga yang mendapatkan pelimpahan
kuasa pertambangan hulu migas, BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas dapat bertindak
melakukan negosiasi sampai melakukan kontrak kerjasama dengan badan usaha hulu
migas dalam pelaksanaan pengelolaan kegiatan hulu migas.
Tiga
tugas dan kewenangan yang berada di BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas ini akan optimal
memenuhi keberadaan negara sebagai penguasa sumber daya migas di Indonesia.
Secara legalitas badan hukum, keberadaan BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas
sebagai entitas bisnis akan optimal melakukan kerjasama bisnis dengan badan
usaha hulu Migas baik dalam negeri maupun luar negeri. Harapan terbesar adalah
terpenuhinya kebutuhan energi secara luas kepada masyarakat dan mampu
memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara melalui pengolahan
kegiatan usaha hulu migas.
oleh
Wiko Saputra
disadur
dari Kontan, Kamis, 16 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar