Editors Picks

Jumat, 17 Juni 2016

Desain kelembagaan hulu migas


Sudah lebih tiga tahun Rancangan Undang-undang (RUU) Minyak dan Gas Bumi (migas) bergulir dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Malahan, sudah ada dua periode pemerintahan (Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi) yang membahas RUU Migas. Tapi, sampai masa sidang terakhir, tidak ada gelagat RUU ini akan segera kelar.

Pertanyaan besar bagi publik, terutama bagi dunia usaha, apa sebenarnya yang terjadi di dalam pembahasan RUU Migas? RUU ini seharusnya menjadi prioritas di tengah banyaknya ketidakpastian hukum dalam bisnis industri migas.


Saat bersamaan, guncangan berat terjadi di bisnis industri migas global. Jatuhnya harga minyak mentah (crude oil) dunia yang sempat mencapai US$ 30 per barel dan persaingan yang semakin sengit dengan ditemuinya sumber energi murah, seperti shale gas, menyebabkan kelesuan dan menurunnya daya saing investasi di sektor hulu migas.


Hal ini sangat berdampak terhadap kinerja industri hulu migas di Indonesia. Target lifting minyak bumi yang ditetapkan pemerintah sebesar 825.000 barel per hari di tahun 2015 tidak terpenuhi. Diperkirakan tahun 2016, kemelencengan realisasi terhadap target lifting akan semakin melebar.


Pemerintah sebenarnya perlu bertindak cepat mengatasi problema besar di industri hulu migas saat ini. Salah satunya melalui RUU Migas ini, ketidakpastian hukum yang terjadi saat ini bisa segera diatasi. Dunia usaha yang pada posisi wait and see bisa segera merealisasikan investasi. Sebab, arah regulasinya jelas dan pemerintah sudah punya norma hukum untuk merancang kebijakan tata kelola industri migas.


Proses legislasi di DPR sudah banyak tahapan yang dilaksanakan, tapi terbentur oleh satu isu, yaitu kelembagaan hulu migas yang menjadi dasar pengembangan tata kelola industri migas. Topik ini penuh perdebatan banyak pihak, karena banyak kepentingan yang bertarung. Jangan lupa, terkait persoalan kelembagaan hulu migas ini, MK sudah mengeluarkan amar putusan No 36/PUU.X/2012 yang membatalkan 18 ketentuan terkait kedudukan, fungsi dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang selama ini ditunjuk oleh pemerintah sebagai lembaga pengelola hulu migas nasional.


Berpijak dari putusan MK tadi, sangat jelas butuh payung hukum untuk menindaklanjutinya. RUU Migas merupakan entry point untuk mengokohkan fungsi regulasi keberadaan lembaga pengelolaan kegiatan hulu migas. Isu yang berkembang dalam pembahasan RUU Migas ada dua. Pertama, fungsi penyelenggaraan pengelolaan hulu migas diserahkan ke Pertamina. Kedua, perlu dibentuk BUMN Khusus Pengelola hulu Migas yang langsung berada di bawah Presiden.


Jangan tambah beban Pertamina

Dua opsi ini tentu memiliki plus dan minus masing-masing. Tapi pendapat penulis, melibatkan Pertamina sebagai lembaga yang berwewenang penuh sebagai kuasa pertambangan hulu migas dan berada langsung di bawah presiden kurang tepat.


Walaupun diakui, sampai saat ini, hanya Pertamina yang secara kompetensi memiliki pengalaman yang baik terhadap pengelolaan hulu migas. Dia juga ditunjuk sebagai kuasa pertambangan terhadap semua blok migas.


Tapi, kita sebenarnya menggantungkan harapan yang besar bagi Pertamina untuk berkembang lebih profesional sebagai badan usaha yang komersial dan mampu bersaing serta berkompetisi di percaturan global. Untuk itu, Pertamina harus dihindari dari fungsi pengaturan dan pengendalian kegiatan hulu migas. Sehingga, Pertamina bisa terhindar dari risiko kontrak kerjasama hulu migas.

Untuk itu, keberadaan opsi kelembagaan hulu migas melalui BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas lebih relevan dibandingkan menambah beban kerja Pertamina. Keberadaan BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas sangat penting sebagai instrumen penguasaan negara terhadap sumber daya Migas di Indonesia. BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas mendapatkan pelimpahan kuasa pertambangan dan memegang hak eksklusif terhadap semua blok migas.


Fungsi dan tugas BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas sangat penting untuk menjamin terpenuhinya amanah Pasal 33 UUD 1945. Untuk itu, ada beberapa tugas dan wewenang yang melekat di lembaga ini. Pertama, menjamin kebutuhan nasional atas Migas baik untuk konsumsi maupun mendukung kegiatan ekonomi nasional. Dalam hal ini, BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas bisa bertindak langsung sebagai operator pelaksana maupun melakukan kontrak kerjasama dengan badan usaha hulu migas.


Kedua, berwenang membuat peraturan mengenai pengelolaan dan penyelenggaran kegiatan usaha hulu migas. Sebagai lembaga yang ditunjuk sebagai kuasa pertambangan hulu migas, BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas memiliki kewenangan membuat aturan main terkait tata kelola kegiatan hulu migas.


Tujuannya untuk meningkatkan daya saing bisnis usaha hulu migas dan menciptakan iklim persaingan sehat. Termasuk memberikan usulan pada pemerintah terkait arah kebijakan pengembangan kegiatan hulu migas dan berwenang membuat peraturan terkait audit kepatuhan dan pengawasan kegiatan usaha hulu migas.


Ketiga, melakukan pengaturan dan pengendalian dengan melakukan negosiasi dan menandatangani kontrak kerjasama dengan badan usaha hulu migas. Sebagai lembaga yang mendapatkan pelimpahan kuasa pertambangan hulu migas, BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas dapat bertindak melakukan negosiasi sampai melakukan kontrak kerjasama dengan badan usaha hulu migas dalam pelaksanaan pengelolaan kegiatan hulu migas.


Tiga tugas dan kewenangan yang berada di BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas ini akan optimal memenuhi keberadaan negara sebagai penguasa sumber daya migas di Indonesia. Secara legalitas badan hukum, keberadaan BUMN Khusus Pengelola Hulu Migas sebagai entitas bisnis akan optimal melakukan kerjasama bisnis dengan badan usaha hulu Migas baik dalam negeri maupun luar negeri. Harapan terbesar adalah terpenuhinya kebutuhan energi secara luas kepada masyarakat dan mampu memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara melalui pengolahan kegiatan usaha hulu migas. 


oleh Wiko Saputra

disadur dari Kontan, Kamis, 16 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar