Editors Picks

Senin, 13 Juni 2016

Menghadapi gejolak ekonomi global


Ekonomi global masih belum menunjukkan perbaikan sejak awal 2016. Januari lalu Bank Dunia dalam Global Economic Prospect, tidak begitu optimistis. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dipatok hanya 2,9 persen. Meningkat tipis dari realisasi 2015 yang 2,4 persen.

Realisasi itu sesungguhnya penurunan dari proyeksi Juni 2015 yang 3,3 persen. Kehati-hatian Bank Dunia ini bisa dipahami mengingat integrasi ekonomi global pasar negara berkembang terbesar seperti Brasil, Rusia, India, China (Tiongkok), dan Afrika Selatan, atau yang disebut BRICS tengah melambat.

Meski begitu, World Bank atau Bank Dunia masih punya harapan salah satu dari mereka bisa memberikan dampak signifikan pada perekonomian global.

Pada 7 Juni lalu , Bank Dunia mengoreksi proyeksi pertumbuhan Januari. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan menjadi 2,4 persen. Penyebab penurunan proyeksi ini sangat kompleks. Hampir semua negara maju mengalami perlambatan pertumbuhan.

Amerika Serikat (AS) misalnya, penurunan investasi sektor energi dan lemahnya ekspor diperkirakan mengerem laju pertumbuhan di negara ini sebesar 0,8 persen.

Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan hanya 1,9 persen. Begitu pula Uni Eropa. Meskipun ada kebijakan keuangan yang luar biasa dan dorongan dari harga energi serta harga komoditas, ekonomi Eropa tetap turun tipis jadi 1,6 persen.

Penyebab yang lain adalah lemahnya perdagangan dan aliran modal. Juga harga komoditas yang terus merosot, akibat turunnya permintaan. Komoditas minyak misalnya, Januari tertekan sampai ke USD32,62 per barel. Ini harga terendah sejak 11 tahun terakhir.

Juni ini memang sempat naik menembus USD50 per barel. Namun kenaikan ini adalah imbas kekhawatiran suplai yang tidak lancar, akibat persoalan politik di Nigeria dan persoalan keamanan di Timur Tengah.

Meski begitu Bank Dunia masih melihat celah ada negara yang bisa memengaruhi bangkitnya perekonomian. Negara itu antara lain India. Kekuatan ekonomi baru ini diproyeksikan tetap tumbuh dengan angka 7,6 persen.

Negara yang lain adalah Tiongkok. World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok tidak berubah sebesar 6,7 persen tahun ini, setelah pada 2015 tumbuh 6,9 persen.

Bahkan pada 2018 negeri tirai bambu itu diperkirakan masih bisa tumbuh 6,3 persen. Asumsinya upaya negara perekonomian terbesar kedua dunia tersebut untuk menyeimbangkan ekspor dan lebih mendorong model pertumbuhan berbasis "consumer-driven" terlaksana.

Melemahnya perekonomian dunia ini, seperti kurang diantisipasi oleh Kementerian Keuangan. Dalam usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, masih optimistis pertumbuhan ekonomi tetap 5,3 persen.

Usulan yang disampaikan ke Banggar DPR 2 Juni lalu itu, juga menyertakan indikator makro lainnya, seperti inflasi di kisaran 4 persen. Sedang nilai tukar rupiah, Rp13.500 per USD.

Tentu saja optimisme asumsi pertumbuhan itu mendapat kritik tajam dari berbagai pengamat. Mengingat perekonomian Indonesia pada kuartal I-2016 hanya tumbuh 4,92 persen.

Akhirnya, pada 8 Juni, pemerintah dan DPR sepakat mengubah proyeksi pertumbuhan dalam APBN-P 2016 menjadi 5,1 persen. Dengan asumsi makro laju inflasi 4,0 persen, nilai tukar rupiah Rp13.500 per USD, dan suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,5 persen.

Presiden Joko Widodo menaruh perhatian besar soal kelesuan global ini. Dalam Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/6), ia meminta menteri Kabinet Kerja terus mewaspadai situasi ekonomi global.

Ada dua jurus yang disampaikan Jokowi menghadapi stagnasi pertumbuhan ini. Pertama belanja pemerintah, yang kedua investasi. Soal investasi, menurut Jokowi kalau sebuah proyek itu bisa dikerjakan oleh swasta, bisa dikerjakan oleh investor, serahkan kepada mereka. Dengan begitu APBN bisa disalurkan ke sektor yang lain.

Presiden juga mengingatkan para menterinya agar belanja di kementerian dan lembaga (K/L), didorong untuk bisa dipercepat. Peringatan seperti itu sebetulnya sudah berkali-kali dilakukan Jokowi. Saat penyerapan anggaran 2015 lambat, misalnya.

Begitu pula awal tahun ini. Tetapi dalam praktiknya ada beberapa kementerian yang masih tetap lambat. Belanja kementerian dan lembaga sampai kuartal I, memang belum merata.

Secara keseluruhan, realisasi sampai 29 April, baru mencapai 26 persen dari total belanja APBN sebesar Rp2.095,7 triliun. Namun sayangnya, belanja yang besar justru pada sektor rutin, seperti belanja pegawai, belanja barang dan pembayaran utang. Sedang belanja modal, baru 8,9 persen dari yang dianggarkan sebesar Rp201,6 triliun.

Rendahnya belanja kementerian dan lembaga ini seperti mengulang peristiwa tahun lalu. Semester pertama 2015, belanja kementerian dan lembaga baru mencapai Rp208,5 triliun atau 26,2 persen dari target setahun.

Sedangkan belanja non K/L sebesar Rp227,6 triliun atau 43,4 persen dari target. Rendahnya belanja ini yang dituding Kementerian Keuangan, menjadi salah satu penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi 2015.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan ekonomi punya arti yang sangat penting. Dalam hitungan ideal, dalam pertumbuhan ekonomi 1 persen, akan bisa menyerap 500 ribu tenaga kerja. Sementara menurut data BPS, jumlah tenaga kerja Indonesia, yang belum terserap, sampai Agustus tahun lalu sebanyak 7,24 juta orang.

Masalahnya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia, belum berjalan ideal. Satu persen pertumbuhan ekonomi saat ini, menurut Ketua Banggar DPR RI, Ahmadi Noor Supit, baru bisa menyerap sekitar 120 ribu tenaga kerja.

Fakta yang lain juga menunjukkan bahwa penambahan anggaran dalam pos-pos APBN tidak otomatis jadi pemicu pertumbuhan ekonomi. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, selama ini ekonomi tumbuh tidak secepat pertumbuhan APBN.

Karenanya kita perlu perubahan strategi penganggaran dalam APBN. Anggaran naik harus disertai degan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Caranya, harus ada beleid yang memprioritaskan penambahan anggaran pada sektor yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Dan kebijakan ini harus segera diselesaikan Menko Perekonomian.

Kelesuan ekonomi global secara otomatis akan memengaruhi perekonomian Indonesia. Globalisasi ekonomi memaksa Indonesia ikut terimbas bila para mitra dagangnya juga tengah bermasalah. Begitu pun sebaliknya.

Perbaikan ekonomi pada negara mitra dagang akan memberi pengaruh positif pada perekonomian kita. Saat ini, Tiongkok menjadi salah satu dari 10 besar mitra dagang Indonesia, tentu sedikit banyak akan memberi pengaruh positif.

Namun sudah barang tentu kita tak bisa hanya berharap negara lain ekonominya membaik duluan baru kita mendapat berkahnya. Presiden harus lebih keras meminta realisasi belanja K/L, dalam target kuantitatif maupun kualitatif.

Jokowi tak bisa lagi hanya sekadar minta menterinya mewaspadai gejolak ekonomi global. Karena memang perlambatan ekonomi global tak cukup hanya diwaspadai, tapi harus dihadapi.

Disadur dari beritagar.id, Rabu, 8 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar