Ekonomi
global masih belum menunjukkan perbaikan sejak awal 2016. Januari lalu Bank
Dunia dalam Global Economic Prospect, tidak begitu optimistis. Proyeksi
pertumbuhan ekonomi dunia dipatok hanya 2,9 persen. Meningkat tipis dari
realisasi 2015 yang 2,4 persen.
Realisasi
itu sesungguhnya penurunan dari proyeksi Juni 2015 yang 3,3 persen.
Kehati-hatian Bank Dunia ini bisa dipahami mengingat integrasi ekonomi global
pasar negara berkembang terbesar seperti Brasil, Rusia, India, China
(Tiongkok), dan Afrika Selatan, atau yang disebut BRICS tengah melambat.
Meski
begitu, World Bank atau Bank Dunia masih punya harapan salah satu dari mereka
bisa memberikan dampak signifikan pada perekonomian global.
Pada
7 Juni lalu , Bank Dunia mengoreksi proyeksi pertumbuhan Januari. Pertumbuhan
ekonomi dunia diproyeksikan menjadi 2,4 persen. Penyebab penurunan proyeksi ini
sangat kompleks. Hampir semua negara maju mengalami perlambatan pertumbuhan.
Amerika Serikat (AS) misalnya, penurunan investasi sektor energi dan lemahnya ekspor diperkirakan mengerem laju pertumbuhan di negara ini sebesar 0,8 persen.
Dengan
begitu, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan hanya 1,9 persen. Begitu pula Uni
Eropa. Meskipun ada kebijakan keuangan yang luar biasa dan dorongan dari harga
energi serta harga komoditas, ekonomi Eropa tetap turun tipis jadi 1,6 persen.
Penyebab
yang lain adalah lemahnya perdagangan dan aliran modal. Juga harga komoditas
yang terus merosot, akibat turunnya permintaan. Komoditas minyak misalnya,
Januari tertekan sampai ke USD32,62 per barel. Ini harga terendah sejak 11
tahun terakhir.
Juni
ini memang sempat naik menembus USD50 per barel. Namun kenaikan ini adalah
imbas kekhawatiran suplai yang tidak lancar, akibat persoalan politik di
Nigeria dan persoalan keamanan di Timur Tengah.
Meski
begitu Bank Dunia masih melihat celah ada negara yang bisa memengaruhi
bangkitnya perekonomian. Negara itu antara lain India. Kekuatan ekonomi baru
ini diproyeksikan tetap tumbuh dengan angka 7,6 persen.
Negara
yang lain adalah Tiongkok. World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di
Tiongkok tidak berubah sebesar 6,7 persen tahun ini, setelah pada 2015 tumbuh
6,9 persen.
Bahkan
pada 2018 negeri tirai bambu itu diperkirakan masih bisa tumbuh 6,3 persen.
Asumsinya upaya negara perekonomian terbesar kedua dunia tersebut untuk
menyeimbangkan ekspor dan lebih mendorong model pertumbuhan berbasis "consumer-driven"
terlaksana.
Melemahnya
perekonomian dunia ini, seperti kurang diantisipasi oleh Kementerian Keuangan.
Dalam usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(RAPBN-P) 2016, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, masih optimistis pertumbuhan
ekonomi tetap 5,3 persen.
Usulan
yang disampaikan ke Banggar DPR 2 Juni lalu itu, juga menyertakan indikator
makro lainnya, seperti inflasi di kisaran 4 persen. Sedang nilai tukar rupiah,
Rp13.500 per USD.
Tentu
saja optimisme asumsi pertumbuhan itu mendapat kritik tajam dari berbagai
pengamat. Mengingat perekonomian Indonesia pada kuartal I-2016 hanya tumbuh
4,92 persen.
Akhirnya,
pada 8 Juni, pemerintah dan DPR sepakat mengubah proyeksi pertumbuhan dalam
APBN-P 2016 menjadi 5,1 persen. Dengan asumsi makro laju inflasi 4,0 persen,
nilai tukar rupiah Rp13.500 per USD, dan suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,5
persen.
Presiden Joko Widodo menaruh perhatian besar soal kelesuan global ini. Dalam Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (7/6), ia meminta menteri Kabinet Kerja terus mewaspadai situasi ekonomi global.
Ada
dua jurus yang disampaikan Jokowi menghadapi stagnasi pertumbuhan ini. Pertama
belanja pemerintah, yang kedua investasi. Soal investasi, menurut Jokowi kalau
sebuah proyek itu bisa dikerjakan oleh swasta, bisa dikerjakan oleh investor,
serahkan kepada mereka. Dengan begitu APBN bisa disalurkan ke sektor yang lain.
Presiden
juga mengingatkan para menterinya agar belanja di kementerian dan lembaga
(K/L), didorong untuk bisa dipercepat. Peringatan seperti itu sebetulnya sudah
berkali-kali dilakukan Jokowi. Saat penyerapan anggaran 2015 lambat, misalnya.
Begitu
pula awal tahun ini. Tetapi dalam praktiknya ada beberapa kementerian yang
masih tetap lambat. Belanja kementerian dan lembaga sampai kuartal I, memang
belum merata.
Secara
keseluruhan, realisasi sampai 29 April, baru mencapai 26 persen dari total
belanja APBN sebesar Rp2.095,7 triliun. Namun sayangnya, belanja yang besar
justru pada sektor rutin, seperti belanja pegawai, belanja barang dan
pembayaran utang. Sedang belanja modal, baru 8,9 persen dari yang dianggarkan
sebesar Rp201,6 triliun.
Rendahnya
belanja kementerian dan lembaga ini seperti mengulang peristiwa tahun lalu.
Semester pertama 2015, belanja kementerian dan lembaga baru mencapai Rp208,5
triliun atau 26,2 persen dari target setahun.
Sedangkan
belanja non K/L sebesar Rp227,6 triliun atau 43,4 persen dari target. Rendahnya
belanja ini yang dituding Kementerian Keuangan, menjadi salah satu penyebab
perlambatan pertumbuhan ekonomi 2015.
Bagi
negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan ekonomi punya arti yang sangat
penting. Dalam hitungan ideal, dalam pertumbuhan ekonomi 1 persen, akan bisa menyerap
500 ribu tenaga kerja. Sementara menurut data BPS, jumlah tenaga kerja
Indonesia, yang belum terserap, sampai Agustus tahun lalu sebanyak 7,24 juta
orang.
Masalahnya,
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, belum berjalan ideal. Satu persen pertumbuhan
ekonomi saat ini, menurut Ketua Banggar DPR RI, Ahmadi Noor Supit, baru bisa
menyerap sekitar 120 ribu tenaga kerja.
Fakta
yang lain juga menunjukkan bahwa penambahan anggaran dalam pos-pos APBN tidak
otomatis jadi pemicu pertumbuhan ekonomi. Menurut Menteri Koordinator
Perekonomian Darmin Nasution, selama ini ekonomi tumbuh tidak secepat
pertumbuhan APBN.
Karenanya
kita perlu perubahan strategi penganggaran dalam APBN. Anggaran naik harus
disertai degan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Caranya, harus ada beleid yang
memprioritaskan penambahan anggaran pada sektor yang dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi. Dan kebijakan ini harus segera diselesaikan Menko
Perekonomian.
Kelesuan
ekonomi global secara otomatis akan memengaruhi perekonomian Indonesia.
Globalisasi ekonomi memaksa Indonesia ikut terimbas bila para mitra dagangnya
juga tengah bermasalah. Begitu pun sebaliknya.
Perbaikan
ekonomi pada negara mitra dagang akan memberi pengaruh positif pada
perekonomian kita. Saat ini, Tiongkok menjadi salah satu dari 10 besar mitra
dagang Indonesia, tentu sedikit banyak akan memberi pengaruh positif.
Namun
sudah barang tentu kita tak bisa hanya berharap negara lain ekonominya membaik
duluan baru kita mendapat berkahnya. Presiden harus lebih keras meminta
realisasi belanja K/L, dalam target kuantitatif maupun kualitatif.
Jokowi
tak bisa lagi hanya sekadar minta menterinya mewaspadai gejolak ekonomi global.
Karena memang perlambatan ekonomi global tak cukup hanya diwaspadai, tapi harus
dihadapi.
Disadur
dari beritagar.id, Rabu, 8 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar