Pemerintah
telah mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan (RAPBNP) 2016. Pembahasan bersama dengan parlemen pun sudah dimulai.
Ada
dua hal yang perlu menjadi perhatian utama kita. Pertama, target penerimaan pajak yang masih
terlampau tinggi. Dan kedua,
kemungkinan pemangkasan belanja pemerintah yang lebih besar dari alokasi yang
telah dianggarkan.
Sebagaimana
kita ketahui bersama, anggaran pemerintah diharapkan mampu mendorong
pertumbuhan perekonomian negara. Perhitungan kami, pertumbuhan ekonomi tahun
ini hanya di kisaran 5% akibat lesunya investasi dan kemungkinan
pemangkasan belanja pemerintah.
Lantas,
apa yang bisa kita bisa cermati dari RAPBNP 2016? Pertama, pemerintah masih cukup yakin bahwa
pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,2%. Meskipun lebih rendah
dibandingkan asumsi awal, namun masih besar risiko bahwa pertumbuhan
ekonomi secara riil lebih rendah.
Kedua, asumsi harga minyak mentah Indonesia
atau Indonesian Crude Price
(ICP) yang lebih rendah menjadi US$ 35 per barel (dibandingkan dengan asumsi
sebelumnya US$ 50 per barel). Konsekuensi perubahan asumsi harga minyak mentah
ini adalah dipangkasnya total penerimaan sebesar Rp 87 triliun.
Ketiga, pemerintah masih ngotot menargetkan
kenaikan penerimaan pajak penghasilan non-migas sebesar Rp 103,7 triliun.
Kenaikan target ini karena pemerintah memasukkan target penerimaan pajak dari
implementasi kebijakan pengampunan pajak (tax
amnesty). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan target
sebelumnya Rp 165 triliun.
Keempat, untuk mengakomodasi belanja yang
‘hanya’ turun Rp 47,9 triliun, pemerintah melebarkan defisit menjadi 2,48% dari
produk domestik bruto (PDB) atau ekuivalen dengan nilai Rp 313 triliun.
Secara
umum, postur RAPBNP 2016 masih mengandung risiko fiskal yang masih cukup besar.
Kami mencatat beberapa tantangan pemerintah terkait RAPBNP 2016 ini.
Dari
sisi penerimaan, target penerimaan pajak Rp 1.527 triliun terbilang tinggi
dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan penerimaan pajak selama ini. Hal ini
memunculkan risiko kekurangan penerimaan pajak (shortfall) yang besar.
Berdasar
perhitungan kami, dengan mengeluarkan pembayaran pajak secara ‘ijon’ pada akhir
tahun lalu yang jumlahnya sekitar Rp 70 triliun, maka realisasi pajak
2015 sebenarnya Rp 1.170 triliun (di RAPBNP 2016 tercatat Rp 1.240).
Sehingga, target pada RAPBNP 2016 mengindikasikan bahwa penerimaan pajak -
sudah termasuk faktor tax amesty -
diharapkan tumbuh 30% di 2016.
Jika
menggunakan asumsi pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 7% (atau di bawah
rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak lima tahun terakhir sebesar 11%), maka shortfall pajak bisa
mencapai Rp 275 triliun tahun ini.
Dari
sisi pengeluaran atau belanja, Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) tentang pemangkasan anggaran sebesar Rp 50 triliun.
Hal ini terefleksikan di total belanja yang diusulkan turun Rp 48 triliun.
Langkah
pemerintah memang sangat realistis, mengingat belanja membutuhkan pendanaan
yang selama ini mayoritas disokong penerimaan pajak. Namun, dengan potensi
skenario shortfall kami
tadi, yang nilainya bisa mencapai Rp 275 triliun (atau mungkin lebih,
tergantung skenario pertumbuhan pajaknya), maka pemangkasan belanja bisa lebih
besar lagi untuk mencegah defisit anggaran tidak melebihi 3% dari PDB.
Secara
umum, kami melihat perlu penyesuaian tambahan dalam APBNP 2016 untuk mengurangi
risiko fiskal ke depan. Data bulan Mei 2016 menunjukkan, penerimaan pajak masih
kontraksi sebesar 7%. Ini mengindikasikan perlu upaya ekstra untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi 5,2%, termasuk upaya mendorong pemasukan melalui tax amnesty.
Gambaran
APBNP 2016 yang terlalu optimistis ini akan dipertanyakan investor dan
pebisnis. Selebihnya, kekhawatiran utama adalah terulangnya cerita yang sama
pada 2015. Semoga pemerintah menyadari hal ini.
oleh Andry
Asmoro
disadur
dari Kontan, Senin, 13 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar