Editors Picks

Senin, 13 Juni 2016

APBNP 2016: mengulang 2015?



Pemerintah telah mengajukan Rancangan  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016. Pembahasan bersama dengan parlemen pun sudah dimulai.

Ada dua hal yang perlu menjadi perhatian utama kita. Pertama, target penerimaan pajak yang masih terlampau tinggi. Dan kedua, kemungkinan pemangkasan belanja pemerintah yang lebih besar dari alokasi yang telah dianggarkan.

Sebagaimana kita ketahui bersama, anggaran pemerintah diharapkan mampu mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Perhitungan kami, pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya di kisaran 5%  akibat lesunya investasi dan kemungkinan pemangkasan belanja pemerintah.

Lantas, apa yang bisa kita bisa cermati dari RAPBNP 2016? Pertama, pemerintah masih cukup yakin bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,2%. Meskipun lebih rendah dibandingkan asumsi awal, namun masih besar risiko  bahwa pertumbuhan ekonomi secara riil lebih rendah.

Kedua, asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) yang lebih rendah menjadi US$ 35 per barel (dibandingkan dengan asumsi sebelumnya US$ 50 per barel). Konsekuensi perubahan asumsi harga minyak mentah ini adalah dipangkasnya total penerimaan sebesar Rp 87 triliun.

Ketiga, pemerintah masih ngotot menargetkan kenaikan penerimaan pajak penghasilan non-migas sebesar Rp 103,7 triliun. Kenaikan target ini karena pemerintah memasukkan target penerimaan pajak dari implementasi kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan target sebelumnya Rp 165 triliun.

Keempat, untuk mengakomodasi belanja yang ‘hanya’ turun Rp 47,9 triliun, pemerintah melebarkan defisit menjadi 2,48% dari produk domestik bruto (PDB) atau ekuivalen dengan nilai Rp 313 triliun.

Secara umum, postur RAPBNP 2016 masih mengandung risiko fiskal yang masih cukup besar. Kami mencatat beberapa tantangan pemerintah terkait  RAPBNP 2016 ini.

Dari sisi penerimaan, target penerimaan pajak Rp 1.527 triliun terbilang tinggi dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan penerimaan pajak selama ini. Hal ini memunculkan risiko kekurangan penerimaan pajak  (shortfall) yang besar.

Berdasar perhitungan kami, dengan mengeluarkan pembayaran pajak secara ‘ijon’ pada akhir tahun lalu yang jumlahnya sekitar Rp 70 triliun, maka realisasi pajak 2015  sebenarnya Rp 1.170 triliun (di RAPBNP 2016 tercatat Rp 1.240). Sehingga, target pada RAPBNP 2016 mengindikasikan bahwa penerimaan pajak - sudah termasuk faktor tax amesty - diharapkan tumbuh 30% di 2016.

Jika menggunakan asumsi pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 7% (atau di bawah rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak lima tahun terakhir sebesar 11%), maka shortfall pajak bisa mencapai Rp 275 triliun tahun ini.

Dari sisi pengeluaran atau belanja, Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang pemangkasan anggaran sebesar Rp 50 triliun. Hal ini terefleksikan di total belanja yang diusulkan turun Rp 48 triliun.

Langkah pemerintah memang sangat realistis, mengingat belanja membutuhkan pendanaan yang selama ini mayoritas disokong penerimaan pajak. Namun, dengan potensi skenario shortfall kami tadi, yang nilainya bisa mencapai Rp 275 triliun (atau mungkin lebih, tergantung skenario pertumbuhan pajaknya), maka pemangkasan belanja bisa lebih besar lagi untuk mencegah defisit anggaran tidak melebihi 3% dari PDB.

Secara umum, kami melihat perlu penyesuaian tambahan dalam APBNP 2016 untuk mengurangi risiko fiskal ke depan. Data bulan Mei 2016 menunjukkan, penerimaan pajak masih kontraksi sebesar 7%. Ini mengindikasikan perlu upaya ekstra untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,2%, termasuk upaya mendorong pemasukan melalui tax amnesty.

Gambaran APBNP 2016 yang terlalu optimistis ini akan dipertanyakan investor dan pebisnis. Selebihnya, kekhawatiran utama adalah terulangnya cerita yang sama pada 2015. Semoga pemerintah menyadari hal ini.

oleh Andry Asmoro
disadur dari Kontan, Senin, 13 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar