Editors Picks

Senin, 13 Juni 2016

Menstimulus konsumsi



Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN-P 2016 sebesar 5,1%. Angka ini lebih rendah dari sebelumnya di level 5,3%. Target ini tidak jauh berbeda dari proyeksi sejumlah lembaga (IMF, Bank Dunia, dan BI) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 di level 4,9%-5,2%.

Mendongkrak pertumbuhan di tengah kondisi ekonomi global yang masih lesu dan dibalut ketidakpastian memang tidak mudah. Tantangannya sangat besar. Salah satu imbas dari lesunya perekonomian global ialah tekanan harga komoditas. Harga komoditas yang lesu sangat memukul perekononomian Indonesia.


Tren ini telah terjadi sejak tahun 2011. Daerah-daerah yang selama ini menjadi basis komoditas, seperti Kalimantan dan Wilayah Indonesia Timur, cenderung mengalami kontraksi pertumbuhan dan diikuti dengan melonjaknya tingkat pengangguran.

Oleh sebab itu, di tengah kondisi seperti ini, mesin pertumbuhan hanya ditumpukan pada konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, dan investasi.

Masalahnya, konsumsi rumah yang berkontribusi sekitar 56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga terseret kelesuan. Bahkan, sejak kuartal II-2015, pertumbuhan konsumsi rumah tangga telah menyentuh di bawah 5% dari lazimnya selalu di atas 5%.

Lesunya konsumsi rumah tangga ini tercermin dari melambatnya permintaan di sektor otomotif, perumahan dan properti, ritel, semen, dan elektronik. Alhasil, pertumbuhan penjualan dan laba dari sejumlah korporasi cenderung terpangkas.

Di tengah situasi seperti ini, korporasi pun memilih menahan ekspansi (investasi baru) untuk menghindari terjadinya oversupply. Bahkan, beberapa korporasi tidak bisa bertahan. Mereka memilih melakukan kebijakan rasionaliasi tenaga kerja agar marjin usaha tidak makin tergerus.

Imbas dari lesunya investasi ini ialah melambatnya pertumbuhan kredit perbankan. Sepanjang tahun 2015, realisasi pertumbuhan kredit perbankan hanya sebesar 10,1% (yoy) dari target 12%-13%. Bahkan, memasuki tahun 2016, trennya terus turun. Di Januari sebesar 9,3% (yoy) dan April turun menjadi 7,7% (yoy).

Bukan itu saja, pelambatan pertumbuhan kredit ini diiringi dengan tren meningkatnya rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Ini membuat laba perbankan tergerus seiring dengan naiknya provisi (pencadangan).

Bukan itu saja, lesunya kinerja konsumsi dan investasi berdampak pada penerimaan pajak di APBN. Sepanjang Januari-April 2016, realisasi penerimaan pajak hanya sekitar Rp 283 triliun.

Hasil ini lebih rendah dari realisasi di periode yang sama tahun 2015 yang sebesar Rp 309 triliun. Itulah sebabnya, dalam APBN-P 2016, target penerimaan pajak dipangkas menjadi Rp 1.527,1 triliun dari Rp 1.546,7 triliun.

Motor utama perekonomian
Di tengah kondisi seperti ini, langkah pemerintah mengambil inisiatif mendorong perekonomian melalui kebijakan deregulasi dan debirokratisasi serta mendorong produktivitas fiskal patut diapresiasi. Dalam jangka menengah panjang, seluruh kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki struktur dan daya saing perekonomian.

Meskipun begitu, pemerintah diharapkan jangan melupakan kebijakan jangka pendek, yaitu bagaimana agar kinerja konsumsi tidak makin tergerus. Pemerintah perlu menstimulasi konsumsi.

Bagaimana pun, konsumsi masih menjadi motor utama dari perekonomian yang tidak bisa tergerus, jika ingin mendorong pertumbuhan.

Oleh sebab itu, beberapa langkah yang dapat ditempuh. Pertama, pemerintah harus jeli dan cermat melihat timing untuk mengurangi subsidi solar dan penaikan tarif dasar listrik (TDL). Bagaimana pun, kebijakan ini bisa memberi tekanan pada kenaikan harga barang dan jasa.

Kedua, menjaga stabilitas harga bahan pangan. Meskipun, saat ini inflasi umum (headline inflation) relatif rendah dan terkendali, tetapi inflasi bahan pangan masih cukup mengkuatirkan.

Daging sapi, beras, telur, dan bumbu makanan merupakan komoditas pangan yang telah mengalami kenaikan harga. Bahkan, potensi kenaikan harga masih bisa terjadi, mengingat tingginya permintaan di musim Ramadan dan Lebaran seperti saat ini. Kenaikan harga ini akan menggerus kemampuan masyarakat untuk mengonsumsi barang dan jasa lainnya

Oleh sebab itu, ke depan pemerintah harus dapat menjamin terealiasinya swasembada komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat dan komplementernya terbatas dan mempercepat pembenahan tata niaga pangan. Operasi pasar hanyalah solusi jangka pendek.

Ketiga, memastikan realisasi pencairan THR dan gaji ke-13 untuk PNS. Kepastian ini akan mendorong kepercayaan masyarakat untuk meningkatkan konsumsi, apalagi menjelang musim Lebaran.

Menurut Bank Indonesia uang yang akan berputar di masyarakat sepanjang Lebaran nanti mencapai Rp 160 triliun. Likuditas yang besar ini sangat berdampak positif untuk mendongkrak pertumbuhan.

Keempat, mempercepat eksekusi proyek strategis dan memaksimalkan penyerapan anggaran. Sejauh ini, dua hal ini kinerjanya masih mengecewakan. Hal inilah yang juga membuat rendahnya realiasasi pertumbuhan di kuartal I-2016.

Jika eksekusi dan penyerapan anggaran bisa dimaksimalkan, maka ini akan memberi dampak besar pada penyerapan tenaga kerja. Ini akan berdampak positif pada perbaikan konsumsi masyarakat.

Tentu, kebijakan pemerintah ini harus didukung oleh kebijakan dari sektor keuangan. Bagaimana pun, sektor keuangan menjadi jantung dari perekonomian untuk memompa likuditas.

Kebijakan BI merelaksasi kebijakan moneter dan makroprudensialnya melalui penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran loan to value (LTV) dan finance to value (FTV) patut diapresiasi.

Kebijakan ini diharapkan akan memulihkan konsumsi masyarakat di sektor properti dan otomotif yang selama ini cenderung mengalami kelesuan.

oleh Desmon Silitonga
disadur dari Kontan, Senin, 13 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar