Pemerintah
dan DPR akhirnya menyepakati asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN-P 2016 sebesar
5,1%. Angka ini lebih rendah dari sebelumnya di level 5,3%. Target ini tidak
jauh berbeda dari proyeksi sejumlah lembaga (IMF, Bank Dunia, dan BI) yang
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 di level 4,9%-5,2%.
Mendongkrak
pertumbuhan di tengah kondisi ekonomi global yang masih lesu dan dibalut
ketidakpastian memang tidak mudah. Tantangannya sangat besar. Salah satu imbas
dari lesunya perekonomian global ialah tekanan harga komoditas. Harga komoditas
yang lesu sangat memukul perekononomian Indonesia.
Tren
ini telah terjadi sejak tahun 2011. Daerah-daerah yang selama ini menjadi basis
komoditas, seperti Kalimantan dan Wilayah Indonesia Timur, cenderung mengalami
kontraksi pertumbuhan dan diikuti dengan melonjaknya tingkat pengangguran.
Oleh
sebab itu, di tengah kondisi seperti ini, mesin pertumbuhan hanya ditumpukan
pada konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, dan investasi.
Masalahnya,
konsumsi rumah yang berkontribusi sekitar 56% terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) juga terseret kelesuan. Bahkan, sejak kuartal II-2015, pertumbuhan
konsumsi rumah tangga telah menyentuh di bawah 5% dari lazimnya selalu di atas
5%.
Lesunya
konsumsi rumah tangga ini tercermin dari melambatnya permintaan di sektor
otomotif, perumahan dan properti, ritel, semen, dan elektronik. Alhasil,
pertumbuhan penjualan dan laba dari sejumlah korporasi cenderung terpangkas.
Di
tengah situasi seperti ini, korporasi pun memilih menahan ekspansi (investasi
baru) untuk menghindari terjadinya oversupply. Bahkan, beberapa korporasi tidak
bisa bertahan. Mereka memilih melakukan kebijakan rasionaliasi tenaga kerja
agar marjin usaha tidak makin tergerus.
Imbas
dari lesunya investasi ini ialah melambatnya pertumbuhan kredit perbankan.
Sepanjang tahun 2015, realisasi pertumbuhan kredit perbankan hanya sebesar
10,1% (yoy) dari target 12%-13%. Bahkan, memasuki tahun 2016, trennya terus
turun. Di Januari sebesar 9,3% (yoy) dan April turun menjadi 7,7% (yoy).
Bukan
itu saja, pelambatan pertumbuhan kredit ini diiringi dengan tren meningkatnya
rasio kredit bermasalah (non performing
loan/NPL). Ini membuat laba perbankan tergerus seiring dengan naiknya
provisi (pencadangan).
Bukan
itu saja, lesunya kinerja konsumsi dan investasi berdampak pada penerimaan pajak
di APBN. Sepanjang Januari-April 2016, realisasi penerimaan pajak hanya sekitar
Rp 283 triliun.
Hasil
ini lebih rendah dari realisasi di periode yang sama tahun 2015 yang sebesar Rp
309 triliun. Itulah sebabnya, dalam APBN-P 2016, target penerimaan pajak
dipangkas menjadi Rp 1.527,1 triliun dari Rp 1.546,7 triliun.
Motor utama perekonomian
Di
tengah kondisi seperti ini, langkah pemerintah mengambil inisiatif mendorong
perekonomian melalui kebijakan deregulasi dan debirokratisasi serta mendorong
produktivitas fiskal patut diapresiasi. Dalam jangka menengah panjang, seluruh
kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki struktur dan daya saing
perekonomian.
Meskipun
begitu, pemerintah diharapkan jangan melupakan kebijakan jangka pendek, yaitu
bagaimana agar kinerja konsumsi tidak makin tergerus. Pemerintah perlu
menstimulasi konsumsi.
Bagaimana
pun, konsumsi masih menjadi motor utama dari perekonomian yang tidak bisa
tergerus, jika ingin mendorong pertumbuhan.
Oleh
sebab itu, beberapa langkah yang dapat ditempuh. Pertama, pemerintah harus jeli dan cermat
melihat timing untuk mengurangi subsidi solar dan penaikan tarif dasar listrik
(TDL). Bagaimana pun, kebijakan ini bisa memberi tekanan pada kenaikan harga
barang dan jasa.
Kedua, menjaga stabilitas harga bahan
pangan. Meskipun, saat ini inflasi umum (headline
inflation) relatif rendah dan terkendali, tetapi inflasi bahan
pangan masih cukup mengkuatirkan.
Daging
sapi, beras, telur, dan bumbu makanan merupakan komoditas pangan yang telah
mengalami kenaikan harga. Bahkan, potensi kenaikan harga masih bisa terjadi,
mengingat tingginya permintaan di musim Ramadan dan Lebaran seperti saat ini.
Kenaikan harga ini akan menggerus kemampuan masyarakat untuk mengonsumsi barang
dan jasa lainnya
Oleh
sebab itu, ke depan pemerintah harus dapat menjamin terealiasinya swasembada
komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat dan komplementernya terbatas dan
mempercepat pembenahan tata niaga pangan. Operasi pasar hanyalah solusi jangka
pendek.
Ketiga, memastikan realisasi pencairan THR
dan gaji ke-13 untuk PNS. Kepastian ini akan mendorong kepercayaan masyarakat
untuk meningkatkan konsumsi, apalagi menjelang musim Lebaran.
Menurut
Bank Indonesia uang yang akan berputar di masyarakat sepanjang Lebaran nanti
mencapai Rp 160 triliun. Likuditas yang besar ini sangat berdampak positif
untuk mendongkrak pertumbuhan.
Keempat, mempercepat eksekusi proyek
strategis dan memaksimalkan penyerapan anggaran. Sejauh ini, dua hal ini
kinerjanya masih mengecewakan. Hal inilah yang juga membuat rendahnya
realiasasi pertumbuhan di kuartal I-2016.
Jika
eksekusi dan penyerapan anggaran bisa dimaksimalkan, maka ini akan memberi
dampak besar pada penyerapan tenaga kerja. Ini akan berdampak positif pada
perbaikan konsumsi masyarakat.
Tentu,
kebijakan pemerintah ini harus didukung oleh kebijakan dari sektor keuangan.
Bagaimana pun, sektor keuangan menjadi jantung dari perekonomian untuk memompa
likuditas.
Kebijakan
BI merelaksasi kebijakan moneter dan makroprudensialnya melalui penurunan suku
bunga acuan dan pelonggaran loan
to value (LTV) dan finance
to value (FTV) patut diapresiasi.
Kebijakan
ini diharapkan akan memulihkan konsumsi masyarakat di sektor properti dan
otomotif yang selama ini cenderung mengalami kelesuan.
oleh Desmon Silitonga
disadur dari Kontan,
Senin, 13 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar