Kekisruhan operasi pasar Bulog dalam rangka stabilisasi harga pangan terus dikeluhkan. Sebenarnya sejak 2011 operasi Bulog sudah keluar dari pakem yang biasa dipakai sebagai pedoman dasar sejak 1970. Mengapa hal itu terjadi dan apa konsekuensinya?
Operasi Bulog didasarkan pada teori bufferstock yang diadopsi dari operasi bufferstock untuk karet. Untuk beras
dikenal sebagai "teori waduk", pada saat musim hujan menampung air
yang berlebih, kemudian dialirkan pada musim kemarau.
Untuk penerapan teori waduk diperlukan
tiga instrumen pokok. Pertama, kebijakan harga dasar (floor price) yang harus dijaga oleh pemerintah, dalam hal ini oleh
Bulog. Apabila harga cenderung turun di bawah harga dasar, diperlukan
intervensi untuk menyerap surplus musiman sampai harga dasar aman.
Kedua, kebijakan harga batas atas (ceiling price) untuk ancar- ancar kapan
diperlukan operasi pasar apabila harga cenderung naik di atas harga yang
dikendalikan. Ketiga, antara harga batas bawah dan harga batas atas harus ada
selisih harga yang cukup merangsang perdagangan antarmusim dan antardaerah
dengan memperhitungkan ongkos simpan, susut, dan biaya angkut.
Oleh karena sistem operasi Bulog
berdasarkan teori waduk, terdapat ciri-ciri khas yang membedakan dengan
perusahaan pada umumnya. Pertama, tak mengenal target jumlah yang akan dibeli,
perencanaan didasarkan pada prognosis. Jika harga gabah/beras sudah di atas
harga pembelian pemerintah (HPP), tak ada kewajiban untuk membeli (intervensi
pasar). Prognosis dapat berubah di tengah jalan, misalnya terjadi kekeringan
atau perubahan kebijakan pemerintah.
Kedua, tidak berebut barang di pasar
apabila harga gabah/beras sudah di atas HPP. Ketiga, tidak membentuk jaringan
pembelian sampai petani sehingga tidak menyiapkan infrastruktur untuk keperluan
itu. Keempat, Bulog hanya beroperasi saat ada surplus musiman dan hanya membeli
di daerah surplus produksi.
Kelima, prinsip saling menjamin,
pemerintah mengeluarkan anggaran untuk program peningkatan produksi padi,
hasilnya dijamin oleh Bulog untuk dibeli sesuai dengan aturan yang berlaku.
Untuk itu Bulog mendapat kemudahan kredit yang dijamin oleh Menteri Keuangan,
sedangkan Menteri Keuangan bersedia menjamin kredit Bulog karena adanya jaminan
anggaran yang digunakan untuk cadangan beras pemerintah dan raskin.
Mengapa
keluar pakem?
Perubahan mendasar pada pemasaran
beras terjadi sejak 1990-an dan perubahan lebih besar lagi terjadi setelah
krisis moneter 1997/1998. Perubahan pertama terjadi pada 1990-an dengan mulai
berkembangnya perdagangan beras yang dibungkus dalam kemasan plastik 5 kg dan
10 kg disertai merek tertentu.
Muncul pula permintaan beras kristal
yang dipoles dengan mesin khusus (KB). Ternyata inovasi ini mendapat respons
baik dari konsumen yang didukung munculnya supermarket di kota- kota besar.
Dengan demikian, mulai terjadi perubahan perdagangan beras yang sebelumnya
dalam bentuk curah dengan kemasan 100 atau 50 kg menjadi kemasan kecil dan
bermerek.
Perubahan kedua yaitu berkembangnya
penggilingan keliling yang di Yogyakarta dinamakan mesin grandong. Penggilingan
keliling ini menggunakan mesin Engelberg untuk mengupas kulit dan menyosoh,
yang hasil berasnya mengandung butir patah yang tinggi.
Kelebihan penggilingan padi keliling
adalah menjemput bahan baku di depan pintu rumah petani. Karena itu, kini terjadi
perebutan bahan baku gabah yang ketat antara penggilingan padi keliling,
penggilingan kecil, dan penggilingan besar. Di Kabupaten Bantul saja jumlah
mesin grandong diperkirakan mencapai 700 buah lebih.
Selanjutnya, terjadi spesialisasi
pengolahan gabah/beras, penggilingan kecil dan penggilingan keliling
menghasilkan "beras asalan" dengan kadar air beras lebih dari 14
persen dan beras patah lebih dari 30 persen. Beras asalan ini kemudian diolah
oleh penggilingan besar menjadi beras kualitas medium dengan broken berkisar
15-20 persen atau menjadi kualitas premium dengan memoles yang lebih bening
lagi dan mengurangi beras patahnya yang selanjutnya dikemas dalam kemasan
kecil.
Perubahan ketiga, mulai 2008-2010
para pemodal besar ikut meramaikan perdagangan beras, mereka sangat gesit
menyerbu pasar gabah dan beras asalan untuk memenuhi langganan mereka berupa
beras kelas medium yang dicirikan dengan kemasan curah 50 kg dan beras kelas
premium yang dicirikan kemasan 5 kg dan 10 kg dengan merek tertentu serta beras
kelas super dengan aroma khas yang hanya dapat dihasilkan dari daerah tertentu
(ethnic rice).
Sebagai konsekuensi perubahan pasar
dan pemasaran beras tersebut, mulai 2011 Bulog sulit mendapatkan beras sesuai
persyaratan kualitas seperti yang di dalam instruksi presiden disebut beras
kelas medium. Hal ini sebenarnya akibat perebutan bahan baku berupa gabah dan
"beras asalan" sehingga membuat harga pembelian Bulog yang ditetapkan
oleh pemerintah selalu di bawah harga pasar.
Oleh karena tekanan pemerintah dan
publik bahwa Bulog kalah dengan swasta, mulai 2011 Bulog mengatasinya dengan
mengalah pada keadaan pasar dengan berebut barang di pasar sehingga akhirnya
terjadi keluhan-keluhan penerima raskin.
Keadaan yang sama juga terjadi pada
pemerintahan Jokowi, karena manajemen Perum Bulog dianggap lamban dalam
pembelian beras pada 2015. Dua direkturnya dicopot sekaligus, tetapi ini tidak
menyelesaikan masalah karena pembelian juga tidak mencapai target.
Model
swasembada
Sebenarnya, kekisruhan operasi Bulog
ini diakibatkan oleh kesalahan kita dalam melihat model swasembada beras yang
masih melihat keadaan kita sama dengan 30 tahun yang lalu. Padahal, keadaan
yang kita hadapi sudah berubah, paradigmanya sudah berubah dari komoditas
menjadi produk. Ciri pemasaran dalam bentuk produk itu antara lain orientasi
konsumen didasarkan pada market driven
atau didorong oleh pasar. Padahal, cara berpikir adalah bagaimana memproduksi
sebanyak-banyaknya dengan tidak memedulikan kemauan konsumen.
Karena itu, model swasembada ke
depan dalam era perdagangan bebas ASEAN disarankan berupa swasembada dalam
pengertian "surplus neraca perdagangan pangan". Komoditas dan produk
yang mempunyai daya saing didorong untuk diekspor, termasuk beras jenis
tertentu.
Kita punya produk beras hitam dan
beras merah untuk melayani permintaan khusus bagi mereka yang diet dan
penderita diabetes sehingga perlu dikembangkan untuk dalam negeri dan ekspor.
Beras aromatik dari Sulawesi Selatan yang disukai konsumen Timur Tengah pun
perlu didorong untuk bisa diekspor.
Neraca perdagangan pangan kita
sebenarnya sudah surplus sejak 1990-an karena didukung oleh ekspor hasil
perkebunan pangan dan perikanan. Untuk itu, perlu terus didorong guna menutup
defisit impor biji-bijian dan ternak/daging. Tugas Perum Bulog adalah fokus
untuk memelihara cadangan pangan (cadangan beras pemerintah, ASEAN Food
Security Reserve dan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR), yaitu
Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan), serta melayani pelanggan PSO/komersial
serta perdagangan internasional.
Dalam rangka sinergi, tugas Perum
Bulog diharapkan ditingkatkan menjadi perusahaan holding di bidang pangan yang
bersinergi dengan perusahaan yang bergerak di bidang produksi, industri
pengolahan, logistik (angkutan dan pergudangan, bongkar muat), perdagangan, dan
lain-lain.
oleh: Sapuan Gafar
disadur dari Kompas, Kamis, 2 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar