Sejak
diundangkannya UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) pada
4 Juni 2009 oleh presiden SBY hingga kini, telah dilakukan empat kali uji
materi oleh masyarakat di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pertama, mengenai zona base, otoritas
veteriner dan kewenangan kedokteran hewan, yang diajukan oleh kelompok
masyarakat seperti para dokter hewan, koperasi persusuan dan para peternak
sapi.
Kedua, mengenai sertifikasi halal yang
diajukan oleh asosiasi produsen makanan dan minuman. Ketiga, mengenai zona base
yang diajukan kembali oleh kelompok masyarakat dan koperasi persusuan (GKSI)
yang masih berjalan, dan keempat adalah mengenai integrasi bisnis perunggasan,
yang diajukan oleh kelompok masyarakat perunggasan, juga masih berjalan.
Pengajuan
uji materi yang dilakukan masyarakat terhadap UU No. 18/2009 yang telah
direvisi menjadi UU No. 41/2014 ke MK, merupakan bukti bahwa UU tersebut belum
mampu menjawab masalah pembangunan peternakan dan kesehatan hewan. Sejatinya
suatu undang-undang harus mampu memberikan suasana iklim yang kondusif bagi
tumbuh kembangnya pembangunan, setidaknya untuk 20 tahun.
Karut-marut
subsektor peternakan selama setahun terakhir ini ditandai pula dengan
disidangkannya di KPPU untuk bidang usaha penggemukan sapi potong dan
perunggasan yang disangkakan telah melakukan kegiatan kartel dalam sistem
bisnisnya. Sehingga diduga kuat usaha ini telah merugikan konsumen dan
peternakan rakyat yang menguasai sebagian besar populasi ternak di negeri ini,
juga kondisi perekonomian nasional.
Fenomena
tersebut, sesungguhnya merupakan manifestasi dua masalah mendasar dalam
pembangunan peternakan, yaitu implementasi konsep sistem agribisnis dan
lemahnya otoritas veteriner.
Di
era digital dan perdagangan bebas saat ini, tren perekonomian dunia telah
terjadi perubahan paradigma dari penguasaan sumber daya energi di era
sebelumnya, kini beralih kepada penguasaan sumber daya pangan. Dalam
pembangunan ekonomi dikenal dengan konsep swasembada pangan, keamanan,
ketahanan dan kedaulatan pangan. Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai upaya
dalam bentuk teknologi penguasaan sumber daya pangan berkembang sangat pesat.
Selain
itu, dengan munculnya tuntutan pertumbuhan ekonomi untuk memenuhi konsumsi
pangan yang semakin cepat, telah terbentuk pula model-model pembangunan ekonomi
pertanian. Seperti sistem agribinis yang diadopsi dari negara maju seperti
Amarika Serikat. Di satu sisi model pembangunan ekonomi pertanian ini, sangat
diperlukan namun di sisi lain tampaknya model ini berhadapan dengan kondisi
pertanian/ peternakan skala kecil yang tumbuh subur di negeri ini, berbeda
dengan kondisi usaha pertanian/peternakan di AS maupun di negara maju lainnya.
Fenomena
empiris mengenai hal tersebut di atas tampak bahwa pembangunan peternakan
nasional saat ini dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kebutuhan konsumsi protein
hewani yang tumbuh pesat. Sementara itu, produksinya yang sebagian besar
dikelola peternakan rakyat tumbuh sangat lamban. Konsep pembangunan agribisnis
pertanian yang diprakarsai introduksinya oleh Prof. Bungaran Saragih di negeri
ini, kini tengah diuji ketangguhannya.
Vertikal
agribisnis sebenarnya merupakan jawaban ampuh atas cepatnya tarikan konsumen
yang harus dipenuhi oleh produsen, dengan tingkat efisiensi usaha sepanjang
rantai nilainya. Namun kenyataannya, masyarakat peternakan belum siap
menghadapi fenomena ini. Peternakan rakyat yang tidak masuk dalam rantai nilai
industri dengan sendirinya akan tergilas dan mati tak berdaya. Sesungguhnya,
ketidaksiapan inilah yang mengundang simpati banyak pihak, sehingga menyebabkan
terjadinya hiruk-pikuk pembangunan peternakan, khususnya di perunggasan yang
kini tengah dibahas dipersidangan KPPU.
Di
sisi lain, peternakan rakyat yang mendominasi dan menguasai sebagian besar
populasi ternak kini menjadi bulan-bulanan dari lajunya pertumbuhan permintaan.
Konsep pembangunan yang menonjolkan kemampuan peternakan rakyat yang subsisten
tradisional tetap tumbuh dan berkembang sesuai dengan konsep ekonomi kerakyatan
Prof. Mubyarto, yaitu sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi
rakyat.
Di
mana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang
dilakukan oleh rakyat kebanyakan yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya
ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya
disebut sebagai usaha kecil dan menegah (UKM) terutama meliputi sektor
pertanian, peternakan, perikanan dan lainnya di perdesaan.
Sesungguhnya
dua konsep ini kini diuji, apakah kita akan meninggalkan ekonomi kerakyataan
ini, dengan mengedapankan industri dalam menghadapi globalisasi ekonomi seperti
yang terjadi di negara-negara maju lainnya? Menurut hemat penulis, konsep
pembangunan peternakan di negeri ini masih bisa dipadukan antara usaha
peternakan rakyat dengan industri dalam suatu sistem agribisnis.
Memadukan
konsep ini, dengan melakukan pergeseran fungsi dan peran subsistem dalam sistem
agribisnis. Katakanlah bahwa subsistem budidaya yang memberikan nilai tambah
terkecil, diberikan peran lebih besar sampai dengan memberikan insentif dan
perluasan produk.
Misalnya,
jika dilihat budidaya sapi potong; bahwa subsistem budidaya outputnya adalah
daging, bukan lagi sapi siap potong. Konsekuansi dari perubahan konsep ini,
maka keterlibatan yang intensif akan terjadi antara budidaya usaha ternak yang
didominasi peternakan rakyat dengan industri prosesing daging yang didominasi
oleh industri pascapanen. Sehingga nilai tambahnya, akan dapat dinikmati juga
oleh peternakan rakyat. Demikian pula terjadi pada komoditi ternak lainnya,
seperti sapi perah dan unggas. Kondisi ini harus diadopsi oleh UU Peternakan
dan Kesehatan Hewan yang kini sedang diuji materi di MK.
Otoritas Veteriner
Dalam
kaitannya dengan ekonomi penguasaan pangan dunia, selain upaya peningkatan
produktivitas komoditas, kini banyak dijumpai upaya negatif dalam bentuk
penyebaran beraneka macam penyakit hewan. Di satu sisi, negeri ini belum
memiliki undang-undang mengenai bioterorisme, sehingga penangkalnya masih dalam
bentuk ‘maksimum sekuriti’. Menurut hemat penulis, inilah masalah krusialnya,
karena hingga saat ini RI belum memiliki sistem kesehatan hewan nasional yang
akan menggerakan aktivitas otoritas veteriner.
Akibatnya,
kelemahan di bidang ini menjadi titik krusial biang karut-marutnya pertahanan
kesehatan veteriner yang dengan sangat mudah diintervensi oleh berbagai pihak.
Lemahnya
kebijakan pemerintah di bidang ini, tidak sebanding dengan tuntutannya untuk
mempertahankan negeri ini dari intervensi keterperangkapan pangan (food trap). Kurangnya
lembaga pendidikan tinggi kedokteran hewan yang menciptakan sumber daya manusia
tangguh sebagai garda terdepan kesehatan veteriner merupakan bukti nyata.
Lemahnya
ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan hewan seperti laboratorium yang
menuntut lebih canggih tidak mampu dipersiapkan oleh negeri ini. Kiranya
tuntutan masyarakat veteriner dalam menggugat UU No. 18/2009 dan UU No. 41/2014
tentang PKH sangat normatif dan wajar.
Upaya
yang dilakukan masyarakat dalam melakukan uji materi terhadap UU No. 18/2009 Jo
UU 41/2014 tentang PKH merupakan implementasi terhadap tuntutan kebutuhan
perkembangan dunia saat ini. Kiranya uji materi yang kini masih berjalan
di MK, akan mampu menjawab quo vadis UU Peternakan.
Semoga.
oleh: Rochadi Tawaf
disadur dari Bisnis, Senin, 9 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar