Saya tidak sedang melawan arus
ketika mengatakan bahwa pendirian perusahaan cangkang (shell company)
untuk keperluan bisnis transnasional sangat banyak ditemukan.
Dalam pekerjaan saya sebagai
konsultan hukum saya sering berpapasan dengan perusahaan cangkang yang masuk ke
Indonesia yang didirikan oleh perusahaan induknya (perusahaan cangkang ini
masuk sebagai badan hukum terpisah).
Konglomerat Indonesia yang berinvestasi
di negara lain juga sering menggunakan perusahaan cangkang. Selama berpuluh
tahun praktik menggunakan perusahaan cangkang sebagai kendaraan bisnis (special
purpose vechile) seolah menjadi praktik bisnis yang lazim.
Rasionalnya adalah bahwa perusahaan
induk tak mau terkena risiko (liability) kalau perusahaan cangkang yang
didirikannya itu merugi, disita atau digugat ke pengadilan. Selain itu
perusahaan cangkang itu didirikan di negara ‘tax heaven’ sebagai bagian
dari perencanaan pajak (tax planning).
Kepada pejabat BKPM saya tanyakan
apakah BKPM pernah dan akan menolak perusahaan cangkang yang masuk membawa
modal ke Indonesia?
Jawabnya tidak akan menolak karena
BKPM tahu persis bahwa masuknya perusahaan cangkang itu adalah strategi
korporasi dari penanam modal.
Dalam UU Penanaman Modal kita tak
ada persyaratan pendirian PT PMA yang mewajibkan perusahaan itu tak didirikan
di negara yang disebut surga pajak atau tax heaven countries.
Kalau perusahan cangkang ditolak
maka tak akan banyak penanam modal masuk ke negeri ini karena sangat jelas
bahwa perusahaan induk tak mau mengkaitkan aset dan kekayaannya sebagai sumber
pembayaran ‘liability’
jika penanaman modalnya itu mengalami kerugian atau digugat oleh pihak lain.
Dan kalau dilihat dalam strategi
bisnis korporasi maka strategi ini punya rational yang kuat karena di mana
bisnis mau merugi? Bisnis itu pasti mencari untung dan untuk itu kekayaan
perusahaan induknya pasti dipisahkan agar tak menjadi jaminan pembayar ganti
rugi jika perusahaan cangkabg yang didirikannya merugi.
Adalah sangat biasa perusahaan
multinasional dan konglomerasi yang ada mencari fasilitas yang menguntungkan
buat bisnisnya apalagi investasinya terbilang besar.
Jadi kenderaan perusahaan juga
dicari yang memberikan keleluasaan dan terjauhkan dari risiko, dan perusahaan
cangkang adalah yang paling lincah sebagai ‘special purpose vechile’
atau SPV.
Melalui SPV inilah perusahaan masuk
ke negara manapun yang dianggap memberikan semua insentif dan prospek
keuntungan.
Perlu kita ketahui bahwa walaupun
perusahaan cangkang ini merupakan warga negara dari negara di mana dia
didirikan tetapi pada dasarnya perusahaan itu tak memiliki nasionalitas.
Perusahaan itu juga bukan stateless actor. Perusahaan itu adalah
aktor bisnis yang ideologinya keuntungan (profit). Jadi kalau negara
mengharapkan perusahaan itu punya nasionalisme maka harapan itu mungkin
terdengar sangat idealistik dan romantik.
Panama Papers yang bocor ke publik
memang menggemparkan dunia karena banyaknya nama-nama penguasa, politisi dan
selebritas yang muncul di sana.
Mereka serta merta dituduh
menghindari kewajiban mereka membayar pajak. Mereka dituduh melarikan modal ke
luar negeri. Mereka dituduh melakukan pencucian uang. Mereka dituduh tidak
nasionalis. Mungkin tuduhan itu ada benarnya tapi belum tentu semuanya benar.
Mungkin ada yang sengaja menghindari pajak, melakukan pelarian modal dan
mencuci uang.
SPV itu bisa juga sebagai perusahaan
yang didesain sebagai tempat menerima uang (kickback). Tetapi banyak
juga yang mendirikan itu murni sebagai strategi bisnis yang meminimalisir
risiko dan tanggung jawab kalau perusahaan merugi atau digugat.
Banyak juga yang mendirikan
perusahaan itu untuk sekadar jaga-jaga kalau ada ‘business opportunity’
dan SPV sudah tersedia. Dan jangan lupa, banyak juga yang sudah didirikan
lantas mati karena tidak ada bisnis yang dikerjakan, dan SPV itu menjadi
mubazir.
Poinnya adalah kita tak bisa
menyamaratakan semua perusahaan cangkang seolah mereka itu punya niat jahat,
pengemplang pajak dan pelaku pencucian uang. Kita mesti melihatnya secara
kasuistik.
Beban Pembuktian
Jadi di sini ada soal beban
pembuktian (burden of proof). Perusahaan cangkang yang dituduh
menghindari pajak, menerima kickback atau mencuci uang harus dibuktikan
bahwa mereka memang melakukan itu. Tetapi jika perusahaan cangkang itu
semata-mata didirikan sebagai aktor bisnis untuk investasi maka keberadaan
perusahaan cangkang itu musti diterima sebagai praktik bisnis yang lazim.
Belum tentu perusahaan cangkang itu
membawa modal dari negara di mana pemegang sahamnya berasal. Bisa jadi
perusahaan cangkang itu mendapatkan modalnya dari pasar modal internasional
atau pinjaman dari berbagai lembaga keuangan. Sejatinya, inilah konsekuensi
dari globalisasi di mana bisnis tak mengenal lagi batas-batas negara.
Namun demikian Panama Papers harus
diterima sebagai bagian dari revolusi yang terjadi, revolusi dari sistem
tertutup menuju sistem yang lebih terbuka.
Rahasia bank tak lagi absolut. Konfidentialitas
dokumen tak lagi kebal akan penyelidikan publik. Singkat kata, Panama Papers
adalah pertanda bahwa kita tengah berlayar di lautan transparansi dan
akuntabilitas.
Di sini prilaku bisnis harus juga
berkiblat pada kemaslahatan orang banyak, tak lagi hanya memikirkan pemegang
saham. Prinsip bahwa hak milik itu punya fungsi sosial tampaknya menjadi utama
dan sekaligus apa yang disebut sebagai illicit enrichment menjadi sama
sekali mustahil (serta melawan hukum).
Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa
Panama Papers bisa disebut sebagai ‘eye
opener’ untuk lebih berkaca pada diri kita dan bertanya sejauh mana
kita menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Khususnya mereka yang memangku
jabatan publik sama sekali tak boleh memiliki perusahaan cangkang karena itu
mengkhianati kewajiban mereka sebagai pelayan rakyat.
Dan kalau mereka pernah memiliki
perusahaan cangkang maka sebelum menjabat semua itu musti dilepaskan, dan
dilaporkan kepada publik melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara. Buat
mereka yang tak melaporkan diharapkan untuk mundur.
oleh: Todung Mulya Lubis
oleh: Todung Mulya Lubis
Disadur dari
Bisnis, Jum’at, 13 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar