Mengantisipasi
gagalnya RUU Pengampunan Pajak (Tax
Amnesty) atau meleset dari waktu yang diharapkan, Presiden Joko Widodo
sudah menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) deklarasi pajak. PP dimaksudkan
selain memperbaiki basis data juga meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.
Sinyal
Presiden Jokowi tampaknya hendak menyatakan pemerintah tidak terlalu
menggantungkan pada RUU Pengampunan Pajak. Johan Budi pun, sebagai Staf Khusus
Presiden Bidang Komunikasi, menyatakan RUU tersebut bukan sesuatu yang bersifat
‘harga mati’ meski berharap RUU segera disahkan DPR.
Kondisi
itu memberi arti pemerintah telah berupaya memberi kesempatan wajib pajak lebih
patuh memperbaiki laporan pajak dengan konsekuensi terkena sanksi supaya
tercipta keadilan dan terpenuhinya kesejahteraan melalui lembaga pengampunan
pajak sekaligus peningkatan pendapatan pajak.
Padahal,
sesuai Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, pemerintah memiliki kewenangan menerbitkan
Perppu Pengampunan Pajak jika RUU tidak mendapat persetujuan DPR. Hal yang sama
pernah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Perppu No. 5 Tahun 2008 yang
dikenal dengan Sunset Policy yang
disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2009.
Jika
pemerintah menerbitkan Perppu Pengampunan Pajak, pertanyaan dan perdebatan
panjang pasti terjadi adalah apakah ada kepentingan yang memaksa dari Perppu
tersebut? Karena UUD tidak memberikan ukuran atau parameter dari unsur
‘kepentingan memaksa’.
Melihat
persoalan terbitnya Perppu No. 5/2008 hingga disetujui, ukuran kepentingan
memaksa hanya dijelaskan dengan alasan untuk memperkuat basis pajak yang akan
mendukung penerimaan negara. Alasan yang sama dapat saja dilakukan pemerintah.
Kepentingan Memaksa
Menyadari
pentingnya kebutuhan pajak buat negara, keperluan Perppu pengampunan pajak
merupakan alternatif yang dapat dijalankan sesuai kewenangan yang dimiliki
pemerintah. Namun, langkah penerbitan PP Deklarasi Pajak adalah juga tepat
sepanjang ditujukan untuk kebaikan basis data yang akan menunjang pendapatan
negara.
Langkah
hukum penerbitan Perppu ataupun PP, keduanya merupakan langkah praktis sebagai
media untuk menangkap bidang atau keadaan yang seharusnya (sollen), yakni menentukan norma-norma yang dirasa sebagai
kewajiban.
Perppu
ataupun PP sebagai hukum yang mengikat merupakan bidang ‘akal praktis’ karena
pembentukannya sudah mengikuti keharusan prinsip pembentukan hukum. Jika itu
terwujud, perdebatan menjadi kurang diperlukan sepanjang prosedur pembentukan
hukum sudah dilalui.
Seperti
halnya norma dalam Perppu Sunset Policy
di 2008 lalu, norma Perppu Pengampunan Pajak pastinya memiliki kesamaan prinsip
dan filosofis yang sama.
Peningkatan
basis data pajak adalah prinsip utama. Sedangkan besaran tarif pengampunan (3%,
atau 4% dan seterusnya) adalah politik hukum yang bisa diperdebatkan. Seperti
telah disinggung di atas, persoalan pokok terbitnya Perppu timbul pada
perdebatan unsur ‘kepentingan yang memaksa’.
Perdebatan
berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus dengan Putusan No.
138/PUU-VII/2009. Putusan MK memberi tiga syarat sebagai parameter ‘kepentingan
yang memaksa’.
Pertama, ada kebutuhan mendesak menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi
dengan membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu lama sedangkan
keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sekalipun
Presiden memiliki kewenangan membentuk Perppu, tampaknya bukan itu yang
dilakukan. Penulis menilai langkah Jokowi ingin menunjukkan bahwa proses
pembentukan sebaiknya berjalan normal. Menyadari kepentingan besar rakyat,
semestinya DPR memberi dukungan cepat atas RUU pengampunan pajak tersebut.
Aspek Filosofis
Saat
berjalannya proses RUU Pengampunan pajak, publik dikejutkan dengan berita
Panama Papers. Ibarat gayung bersambut, semua pihak hampir mendukung penuh
percepatan dibutuhkannya RUU dengan harapan ribuan orang yang menyimpan uangnya
diluar negeri mau membawa pulang ke Indonesia.
Terkait
dengan persoalan itu, kebutuhan pengampunan pajak sebenarnya dapat dianalisis
dari sisi filosofis memberikan keadilan dengan memastikan tiap orang
menghormati kebebasan orang lain. Seperti dinyatakan Immanuel Kant, negara
tidak perlu mengatur rakyatnya dengan kontrol yang bersifat moral ataupun religious (Bernard L. Tanya, 2010: 78).
Sebab
dalam masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut
agama, moralitas ataupun kulturnya, yang akan menyebabkan kekacauan dan
konflik. Sepanjang kepentingan ditujukan menurut tatanan hukum yang objektif
dan untuk kepentingan semua individu, hal pengampunan pajak dapat dilanjutkan.
Seandainya
pemerintah menerbitkan Perppu Pengampunan Pajak, mestinya langkah itupun dapat
dilihat pada tataran aspek filosofis lain bahwa negara membutuhkan banyak dana
untuk kepentingan semua, bukan kepentingan pemerintah semata.
Oleh
karena persoalan utama memberi perlindungan kepada masyarakat adalah kebutuhan
akan dana. Seperti dinyatakan Robert Mc.Gee “the
more things that government does, the more things that people must pay for”
(2004 : 3).
Kebutuhan
demikian sejalan dengan kebutuhan masyarakat modern akan berbagai macam
keperluan supaya dapat hidup layak. Kebutuhan layak tersebut tidak dapat
dipenuhi tanpa pajak. Kebutuhan rasa aman, jaminan kesehatan, pendidikan lebih
baik, kebutuhan memperoleh akses informasi yang cepat, serta menjadi bagian
dari kebutuhan hidup layak, kesemuanya hanya dapat terpenuhi dengan pajak.
Sejalan
dengan bergulirnya waktu yang berjalan cepat, rencana besar penyusunan RUU
Pengampunan Pajak ataupun PP tentang deklarasi pajak, kita berharap keadilan
dan kesejahteraan melalui pajak dapat segera terwujud.
oleh: Richard Burton
disadur dari Bisnis, Selasa, 3
Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar