Editors Picks

Rabu, 08 Juni 2016

Perlukah Perppu Pengampunan Pajak?




Mengantisipasi gagalnya RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) atau meleset dari waktu yang diharapkan, Presiden Joko Widodo sudah menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) deklarasi pajak. PP dimaksudkan selain memperbaiki basis data juga meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.

Sinyal Presiden Jokowi tampaknya hendak menyatakan pemerintah tidak terlalu menggantungkan pada RUU Pengampunan Pajak. Johan Budi pun, sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, menyatakan RUU tersebut bukan sesuatu yang bersifat ‘harga mati’ meski berharap RUU segera disahkan DPR.

Kondisi itu memberi arti pemerintah telah berupaya memberi kesempatan wajib pajak lebih patuh memperbaiki laporan pajak dengan konsekuensi terkena sanksi supaya tercipta keadilan dan terpenuhinya kesejahteraan melalui lembaga pengampunan pajak sekaligus peningkatan pendapatan pajak.

Padahal, sesuai Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, pemerintah memiliki kewenangan menerbitkan Perppu Pengampunan Pajak jika RUU tidak mendapat persetujuan DPR. Hal yang sama pernah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Perppu No. 5 Tahun 2008 yang dikenal dengan Sunset Policy yang disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2009.

Jika pemerintah menerbitkan Perppu Pengampunan Pajak, pertanyaan dan perdebatan panjang pasti terjadi adalah apakah ada kepentingan yang memaksa dari Perppu tersebut? Karena UUD tidak memberikan ukuran atau parameter dari unsur ‘kepentingan memaksa’.

Melihat persoalan terbitnya Perppu No. 5/2008 hingga disetujui, ukuran kepentingan memaksa hanya dijelaskan dengan alasan untuk memperkuat basis pajak yang akan mendukung penerimaan negara. Alasan yang sama dapat saja dilakukan pemerintah.

Kepentingan Memaksa
Menyadari pentingnya kebutuhan pajak buat negara, keperluan Perppu pengampunan pajak merupakan alternatif yang dapat dijalankan sesuai kewenangan yang dimiliki pemerintah. Namun, langkah penerbitan PP Deklarasi Pajak adalah juga tepat sepanjang ditujukan untuk kebaikan basis data yang akan menunjang pendapatan negara.

Langkah hukum penerbitan Perppu ataupun PP, keduanya merupakan langkah praktis sebagai media untuk menangkap bidang atau keadaan yang seharusnya (sollen), yakni menentukan norma-norma yang dirasa sebagai kewajiban.

Perppu ataupun PP sebagai hukum yang mengikat merupakan bidang ‘akal praktis’ karena pembentukannya sudah mengikuti keharusan prinsip pembentukan hukum. Jika itu terwujud, perdebatan menjadi kurang diperlukan sepanjang prosedur pembentukan hukum sudah dilalui.

Seperti halnya norma dalam Perppu Sunset Policy di 2008 lalu, norma Perppu Pengampunan Pajak pastinya memiliki kesamaan prinsip dan filosofis yang sama.
Peningkatan basis data pajak adalah prinsip utama. Sedangkan besaran tarif pengampunan (3%, atau 4% dan seterusnya) adalah politik hukum yang bisa diperdebatkan. Seperti telah disinggung di atas, persoalan pokok terbitnya Perppu timbul pada perdebatan unsur ‘kepentingan yang memaksa’.

Perdebatan berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus dengan Putusan No. 138/PUU-VII/2009. Putusan MK memberi tiga syarat sebagai parameter ‘kepentingan yang memaksa’. 

Pertama, ada kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.

Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu lama sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Sekalipun Presiden memiliki kewenangan membentuk Perppu, tampaknya bukan itu yang dilakukan. Penulis menilai langkah Jokowi ingin menunjukkan bahwa proses pembentukan sebaiknya berjalan normal. Menyadari kepentingan besar rakyat, semestinya DPR memberi dukungan cepat atas RUU pengampunan pajak tersebut.

Aspek Filosofis
Saat berjalannya proses RUU Pengampunan pajak, publik dikejutkan dengan berita Panama Papers. Ibarat gayung bersambut, semua pihak hampir mendukung penuh percepatan dibutuhkannya RUU dengan harapan ribuan orang yang menyimpan uangnya diluar negeri mau membawa pulang ke Indonesia.

Terkait dengan persoalan itu, kebutuhan pengampunan pajak sebenarnya dapat dianalisis dari sisi filosofis memberikan keadilan dengan memastikan tiap orang menghormati kebebasan orang lain. Seperti dinyatakan Immanuel Kant, negara tidak perlu mengatur rakyatnya dengan kontrol yang bersifat moral ataupun religious (Bernard L. Tanya, 2010: 78).

Sebab dalam masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas ataupun kulturnya, yang akan menyebabkan kekacauan dan konflik. Sepanjang kepentingan ditujukan menurut tatanan hukum yang objektif dan untuk kepentingan semua individu, hal pengampunan pajak dapat dilanjutkan.

Seandainya pemerintah menerbitkan Perppu Pengampunan Pajak, mestinya langkah itupun dapat dilihat pada tataran aspek filosofis lain bahwa negara membutuhkan banyak dana untuk kepentingan semua, bukan kepentingan pemerintah semata.

Oleh karena persoalan utama memberi perlindungan kepada masyarakat adalah kebutuhan akan dana. Seperti dinyatakan Robert Mc.Gee “the more things that government does, the more things that people must pay for” (2004 : 3).

Kebutuhan demikian sejalan dengan kebutuhan masyarakat modern akan berbagai macam keperluan supaya dapat hidup layak. Kebutuhan layak tersebut tidak dapat dipenuhi tanpa pajak. Kebutuhan rasa aman, jaminan kesehatan, pendidikan lebih baik, kebutuhan memperoleh akses informasi yang cepat, serta menjadi bagian dari kebutuhan hidup layak, kesemuanya hanya dapat terpenuhi dengan pajak.

Sejalan dengan bergulirnya waktu yang berjalan cepat, rencana besar penyusunan RUU Pengampunan Pajak ataupun PP tentang deklarasi pajak, kita berharap keadilan dan kesejahteraan melalui pajak dapat segera terwujud.

oleh: Richard Burton
disadur dari Bisnis, Selasa, 3 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar