Dari
total pekerja di Indonesia yang mencapai 110 juta orang, sekitar 107 juta
orang masuk dalam struktur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau UMKM.
Ini
berarti porsi orang yang bekerja sebagai UMKM mencapai sekitar 97,3 persen.
Dengan
kata lain, hanya 2,7 persen pekerja dengan jumlah sekitar 3 juta orang yang
bekerja pada perusahaan-perusahaan atau korporasi besar.
Siapa
saja mereka yang masuk golongan UMKM?
Para
petani, nelayan, penjual warteg, pedagang pasar, pemulung, buruh bangunan,
tukang ojek tentu merupakan golongan UMKM.
Mereka
merupakan para pelaku usaha mikro atau orang-orang yang bekerja di sektor
informal.
Orang-orang
yang membuka toko, pabrik, industri pengolahan skala kecil hingga menengah juga
masuk dalam golongan UMKM.
Sebagian
usaha kecil dan menengah, ada yang sudah berbentuk badan usaha, seperti
koperasi, yayasan, Commanditaire Vennootschap (CV) atau bahkan Perusahaan
Terbatas (PT).
Jika
sudah berbentuk badan usaha, maka dikategorikan sebagai sektor formal.
Berdasarkan
Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM, yang tergolong UMKM adalah
usaha dengan kekayaan bersih maksimal Rp 10 miliar di luar tanah dan bangunan
atau memiliki omzet maksimal Rp 50 miliar per tahun.
Jika
suatu usaha memiliki kekayaan di atas Rp 10 miliar atau omzetnya di atas Rp 50
miliar, maka usaha tersebut digolongkan sebagai perusahaan atau korporasi
besar.
Perusahaan-perusahaan
besar ini biasanya berpusat di Jakarta.
Bank-bank
besar seperti BRI, Mandiri, BCA masuk dalam kategori perusahaan besar.
Perusahaan-perusahaan
semacam Telkom, Unilever, Indofood, Astra, Ciputra tentu juga tergolong sebagai
korporasi besar.
Orang-orang
yang bekerja pada perusahaan-perusahaan besar digolongkan sebagai pekerja
sektor formal.
Karena
jumlah orang yang bekerja pada UMKM banyak, tak aneh jika jumlah UMKM sebagai
unit usaha juga banyak.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah UMKM di Indonesia mencapai 56,5 juta.
Jika dirata-rata maka satu unit UMKM memiliki dua pekerja.
Suami
istri yang bahu membahu mengelola sawah mereka di desa bisa dikatakan sebagai
satu unit UMKM dengan dua pekerja.
Begitu
pula, pasutri yang bergantian menjual cabai di pasar becek.
Mereka-mereka
itu tergolong sebagai usaha mikro.
Sementara
unit usaha yang masuk kategori skala kecil dan menengah biasanya memiliki
tenaga kerja 5 sampai 100 orang.
Bagaimana
dengan jumlah korporasi?
Ternyata
jumlah unit usaha korporasi besar hanya sekitar 8.000 perusahaan.
Artinya,
dilihat dari jumlah unit usahanya, porsi UMKM mencapai lebih dari 99,9 persen
dari total unit usaha di Indonesia.
Permodalan
Sayangnya,
produktifitas UMKM tidak linier dengan jumlah usaha dan pekerjanya.
Dilihat
dari sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB), porsi UMKM hanya sekitar
59 persen.
Artinya,
dengan porsi unit usaha sebesar 99,9 persen, porsi tenaga kerja sebesar 97,3
persen, UMKM hanya bisa menyumbang 59 persen PDB.
Sebaliknya,
dengan porsi unit usaha hanya 0,01 persen, porsi tenaga kerja hanya 2,7 persen,
korporasi besar bisa menyumbang 41 persen PDB.
Ini
berarti produktifitas UMKM di Indonesia masih sangat rendah.
Mengapa
produktifitas UMKM rendah?
Selain
persoalan efisiensi, efektifitas, dan kemampuan berusaha, sektor UMKM ternyata
juga lemah dalam permodalan.
Berdasarkan
data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2016, posisi kredit UMKM sebesar Rp
738 triliun atau hanya 18,45 persen dibandingkan total kredit perbankan yang
mencapai Rp 4.000 triliun.
Artinya,
dengan porsi pekerja 99,9 persen, porsi kredit yang diterima UMKM hanya 18,45
persen.
Sementara
korporasi, dengan porsi pekerja hanya 2,7 persen, mendapatkan porsi kredit
sekitar 81,55 persen.
Mengapa
porsi kredit UMKM relatif kecil dibandingkan potensinya?
Ternyata,
dari 56,5 juta UMKM, yang mendapatkan kredit sekitar 15,6 juta unit atau hanya
27,6 persen.
Artinya,
sekitar 40 juta UMKM, yang hampir semuanya tergolong usaha mikro, tidak pernah
mendapatkan dukungan permodalan dari bank.
Mereka-mereka
yang tidak pernah mendapatkan kredit dari bank itu antara lain sebagian besar
dari para petani, sebagian besar dari nelayan, tukang ojek, buruh bangunan,
penjual warteg dan semacamnya.
Mereka
umumnya berusaha dengan memutar uang sendiri, uang pinjaman dari tetangga dan
saudara, atau meminjam dari tengkulak dengan bunga mencekik leher.
Pendek
kata, pelaku usaha mikro tidak memiliki dana untuk mengembangkan usaha.
Akhirnya, usaha mereka stagnan, hanya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari.
Nah,
kredit dari bank sebenarnya bisa membantu usaha mikro melepaskan diri dari
jerat kemiskinan.
Namun
sayangnya, masih banyak bank yang enggan masuk ke sektor mikro karena dianggap
berisiko serta membutuhkan sumber daya besar dan keahlian khusus.
Dukungan
Pemerintah
dan OJK sejauh ini cukup gencar mendorong penyaluran kredit ke sektor mikro.
Salah
satu program pemerintah adalah memberikan subsidi bunga untuk kredit mikro yang
dinamakan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Bunga
KUR saat ini dipatok sebesar 9 persen per tahun.
Jika
dibandingkan bunga pasar untuk kredit mikro yang sekitar 19 persen per tahun,
maka ada selisih sekitar 10 persen poin.
Selisih
itulah yang merupakan subsidi dari pemerintah.
OJK,
bersama bank-bank juga gencar mempromosikan program Laku Pandai atau Layanan
Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif.
Program
ini bertujuan menyediakan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya
melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank), dan didukung dengan
penggunaan sarana teknologi informasi.
Dengan
strategi ini, bank bisa menjangkau pelaku-pelaku usaha mikro di berbagai
pelosok Indonesia.
Awalnya,
pelaku usaha mikro digandeng untuk menjadi nasabah bank dengan cara menabung.
Lama
kelamaan, jika dinilai memiliki prospek usaha yang bagus, bank akan menawarkan
kredit kepada pelaku usaha mikro bersangkutan.
Namun,
pemberian kredit belum cukup untuk menciptakan pelaku-pelaku usaha mikro yang
tangguh.
Pemerintah
juga harus intensif memberikan pelatihan manajemen, keuangan, akses pasar
kepada mereka.
Dengan
memberdayakan UKMK, khususnya usaha mikro, maka pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia akan meningkat signifikan.
Saat
ini, pembagian kekayaan di Indonesia sangatlah timpang.
Produksi
nasional sekitar Rp 6.785 triliun harus dibagi untuk sekitar 107 juta pekerja,
sementara hasil produksi sekitar Rp 4.715 triliun hanya dinikmati oleh
segelintir pemilik korporasi-korporasi besar yang jumlahnya tak sampai
10.000 orang.
Kita
tentu tak ingin ketimpangan yang dahsyat itu terus berlangsung di Indonesia.
Satu-satunya
cara adalah dengan memberdayakan UMKM khususnya usaha mikro, agar mereka bisa
mendapatkan hak yang semestinya di negeri ini.
oleh
M Fajar Marta
disadur
dari Kompas, Kamis, 9 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar