Editors Picks

Kamis, 23 Juni 2016

Strategi Anggaran Jokowi: APBN Perubahan Atau APBN Pengurangan?



Sebelum era reformasi, hanya ada satu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Namun, saat era reformasi, ada dua anggaran setiap tahun yakni APBN dan APBN Perubahan (APBN-P).

APBN merupakan target pendapatan dan belanja negara dalam setahun. APBN biasanya disusun dan ditetapkan sebelum memasuki tahun bersangkutan.

Misalnya, untuk APBN 2010, pemerintah dan DPR sudah mulai melakukan pembahasan sejak Agustus 2009.

Adapun APBN-P merupakan revisi atas APBN. Karenanya, APBN-P selalu dibahas dan ditetapkan pada tahun bersangkutan. APBN-P 2016 misalnya, akan disahkan pada pertengahan tahun 2016.

Siswono Yudo Husodo, yang pernah menjabat menteri saat orde baru dan anggota DPR saat era reformasi pernah menyatakan keheranannya atas keberadaan APBN-P.

Menurut dia, keberadaan APBN-P menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membuat perencanaan yang presisi serta dapat diimplementasikan dalam setahun ke depan.

Dalam era reformasi, perencanaan anggaran yang tertuang dalam APBN selalu meleset sehingga pada pertengahan tahun berjalan perlu direvisi dalam bentuk APBN-P.

APBN-P pun menjadi budaya. Padahal, berdasarkan aturan, revisi anggaran hanya bisa dilakukan saat kondisi ekonomi mengalami perubahan yang luar biasa dan berada di luar kendali pemerintah atau force majeure.

Karena menjadi kebiasaan, pemerintah dan DPR pun makin tidak serius menyusun APBN secara presisi.

'Tidak apa-apa salah, toh nanti bisa direvisi dalam APBN-P,' begitu mungkin pikir pemerintah dan DPR saat menyusun APBN.

Dalam perkembangannya, keberadaan APBN-P ternyata membawa mudharat baru.
APBN-P, dalam beberapa tahun ke belakang, justru dimanfaatkan oknum-oknum  anggota DPR sebagai ajang transaksional untuk korupsi.

Bagi-bagi proyek dan kongkalikong proyek biasanya dilakukan dalam pembahasan APBN-P.

Maklum saja, pembahasan APBN-P biasanya berlangsung cepat sehingga luput dari pengawasan publik dan media.

Tak heran, banyak kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota legislatif dan eksekutif bermula dari pembahasan APBN-P.

Salah satu contohnya adalah kasus pengurusan alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) dalam APBN-P 2011 yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati.

Saat duduk di Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati menjanjikan membantu sejumlah daerah, seperti Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie Jaya, dan Kabupaten Bener Meriah, mendapat DPID Rp 40 miliar per daerah.

Namun, Wa Ode yang berasal dari Partai Amanat Nasional ini, meminta dana komitmen sebesar 6 persen dari sejumlah daerah yang menerima alokasi DPID.

Dana itu harus dibayarkan sebelum pencairan dan tender proyek dilakukan.

Untuk memenuhi permintaan Wa Ode, sejumlah daerah lalu melakukan kongkalikong dengan makelar dan perusahaan yang akan dimenangkan dalam tender proyek bersangkutan.

Selain kasus DPID, kasus-kasus korupsi besar seperti kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional  Hambalang, kasus proyek wisma atlet, kasus pengadaan kitab suci Al Quran di Kementerian Agama juga terkait APBN-P.

Dinaikkan
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), anggaran belanja negara dalam APBN-P biasanya selalu lebih tinggi dari APBN.

Dalam APBN 2011 misalnya, total anggaran belanja negara ditetapkan sebesar Rp 1.229,55 triliun.

Lantas dalam APBN-P 2011, anggaran belanja negara dinaikkan menjadi Rp 1.320,75 triliun. Dengan demikian terjadi penambahan anggaran sekitar Rp 91 triliun.

Anggaran belanja dalam APBN tahun 2012, 2013, dan 2014 juga dinaikkan saat pembahasan APBN-P.

Bahkan, anggaran belanja tetap saja dinaikkan meskipun target penerimaan negara diturunkan.

Pada tahun 2013 misalnya. Dalam APBN 2013, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.529,7 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp 1.683 triliun.

Kemudian dalam APBN-P 2013, target pendapatan negara diturunkan menjadi 1.488,32 triliun. Namun, belanja negara justru dinaikkan menjadi Rp 1.722,03 triliun.

Pola seperti itu kembali diterapkan pemerintahan SBY pada tahun 2014. Meskipun target pendapatan diturunkan, target belanja negara tetap dinaikkan.

Dampak dari kebijakan ini adalah defisit anggaran semakin besar sehingga otomatis pemerintah musti berutang lebih banyak.

Namun di sisi lain, ada juga sisi positif dari peningkatan belanja negara dalam APBN-P terutama dari persepsi pasar.

Terlepas dari alasan mengapa pemerintah menaikkan belanjanya, pasar tetap menilai langkah tersebut akan menyebabkan ekspansi pertumbuhan ekonomi.

Di mata pasar, ekspansi pertumbuhan dan stimulus pertumbuhan merupakan hal yang positif.  

Dalam kondisi ini, pelaku usaha biasanya juga akan  terdorong melakukan ekspansi sehingga akhirnya roda perekonomian berputar lebih cepat.

Berubah pola
Memasuki era pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebiasaan merevisi anggaran dalam bentuk APBN-P tetap berlangsung. Namun, terjadi perubahan pola.

Jika pada masa presiden-presiden sebelumnya, anggaran belanja selalu dinaikkan dalam APBN-P, saat era Jokowi, anggaran belanja justru diturunkan.

“Jadi sekarang ini, APBN-P bukan lagi APBN Perubahan tapi APBN Pengurangan,” seloroh Mukhamad Misbakhun, anggota DPR dari fraksi Partai Golkar saat kami berbincang-bincang pekan lalu di ruang kerjanya di Komplek DPR.

Politisi yang cukup vokal itu mengakui, saat ini dirinya merupakan pendukung pemerintahan Jokowi.

Partai Golkar di bawah Ketua Umum Setya Novanto juga sudah mendeklarasi sebagai partai pendukung pemerintah

Namun, menurut Misbakhun, bukan berarti ia tak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah.

“Jika kebijakan yang diambil pemerintah salah, saya tentu harus kritis,” ujarnya serius.

Pada tahun 2015, yang merupakan tahun pertama pemerintahan Jokowi, APBN-P langsung menyusut.

Pada APBN 2015, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun.

Lantas dalam APBN-P 2015, pendapatan negara diturunkan menjadi Rp 1.761,6 triliun, sementara belanja negara dipangkas menjadi Rp 1.984,1 triliun.

Langkah itu dilakukan pemerintahan Jokowi karena perekonomian domestik dan global terus melesu.

Dari sisi eksternal, ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat pun belum solid.

Sementara ekonomi Tiongkok, meskipun mengarah ke kondisi yang lebih stabil, namun risiko pelemahan masih tinggi.

Di dalam negeri, kejatuhan harga komoditas terutama batubara membuat banyak perusahaan tambang merugi, bahkan gulung tikar.

Dampaknya, penerimaan negara terutama dari pajak jauh menyusut.

Kejatuhan harga minyak juga membuat pendapatan negara dari minyak dan gas anjlok drastis.

Kembali berkurang
Nah, pada tahun 2016 ini, Misbakhun melihat tanda-tanda anggaran belanja juga akan dipangkas dalam APBN-P 2016.

“Pemotongan anggaran belanja negara sebenarnya memberikan sinyal buruk ke pasar dan investor,” katanya.

Terlepas dari apapun alasannya, pasar dan investor akan memaknainya sebagai kontraksi pertumbuhan.

“Dalam teori ekonomi, sinyal kontraksi pertumbuhan merupakan hal yang sangat berbahaya sehingga sebisa mungkin harus dihindari oleh pemerintah,” ujar lelaki kelahiran Pasuruan tersebut.

Jika melihat sinyal kontraksi, psikologis pasar dan investor akan terganggu sehingga mereka cenderung akan mengerem segala aktifitasnya. Dampaknya, semua roda pendorong pertumbuhan ekonomi akan macet.

Pemerintah dan DPR memang baru memulai pembahasan APBN-P 2016. Namun, indikasi pemotongan anggaran belanja sudah tampak.

Salah satunya  dari langkah Presiden Jokowi  yang menerbitkan Instruksi Presiden No 4 Tahun 2016 tentang langkah-langkah penghematan dan pemotongan anggaran belanja Kementerian dan Lembaga pada tahun 2016.

Inpres itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Mei 2016, yang isinya memerintahkan 87 instansi pemerintah untuk memotong anggaran belanja dengan total nilai Rp 50,02 triliun.

Langkah itu dilakukan Jokowi karena pendapatan negara hingga akhir April 2016 hanya sebesar Rp 419.2 triliun, atau 23 persen dari target pendapatan negara dalam APBN 2016 sebesar Rp 1.822,5 triliun.

Rendahnya pendapatan negara dipicu oleh lemahnya penerimaan pajak. Dampak pajak sangat terasa sebab porsinya mencapai 75 persen dari total pendapatan negara.

Hingga akhir April 2016, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 272 triliun atau hanya 20 persen dari target senilai Rp 1.360 triliun.

Bahkan, pencapaian itu masih lebih rendah dibandingkan realisasi pajak pada periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 307 triliun.

Rendahnya penerimaan pajak tidak terlepas dari kelesuan ekonomi yang masih berlanjut bahkan cenderung makin memburuk.

Banyak perusahaan di sektor pertambangan, industri pengolahan, dan perdagangan yang keuntungannya terus menurun hingga kini sehingga pajak yang ditarik pun menjadi minim.

Selain penerimaan negara yang anjlok, revisi anggaran belanja juga perlu dilakukan karena target sebelumnya kurang realistis.

Kredibilitas
Misbakhun menilai, jika pemerintahan Jokowi selalu merevisi anggaran belanjanya menjadi lebih rendah, maka lama-kelamaan kredibilitas Jokowi akan jatuh.

Pemerintahan Jokowi akan diragukan kompetensi dan kebecusannya dalam merancang serta mengeksekusi anggaran.

“Masalah trust ini sangat penting. Pemerintah harus bisa menjaga kepercayaan pasar dan investor,” ujar Misbakhun.

Dalam sepuluh tahun terakhir, realisasi anggaran hampir selalu meleset dari target. Biasanya, realisasi selalu lebih rendah dari target, baik itu pendapatan maupun belanja negara.

Nah, jika pemerintahan Jokowi merevisi turun anggaran belanja, maka realisasinya kemungkinan akan lebih rendah.

Artinya di mata pasar dan investor, kontraksi anggaran akan lebih besar dari yang sebenarnya.

Kita tunggu, bagaimana pemerintahan Jokowi menyiasati situasi ini.

oleh M Fajar Marta
disadur dari Kompas, Jum’at, 3 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar