Sebelum
era reformasi, hanya ada satu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) setiap
tahun. Namun, saat era reformasi, ada dua anggaran setiap tahun yakni APBN dan
APBN Perubahan (APBN-P).
APBN
merupakan target pendapatan dan belanja negara dalam setahun. APBN biasanya
disusun dan ditetapkan sebelum memasuki tahun bersangkutan.
Misalnya,
untuk APBN 2010, pemerintah dan DPR sudah mulai melakukan pembahasan sejak
Agustus 2009.
Adapun
APBN-P merupakan revisi atas APBN. Karenanya, APBN-P selalu dibahas dan ditetapkan
pada tahun bersangkutan. APBN-P 2016 misalnya, akan disahkan pada pertengahan
tahun 2016.
Siswono
Yudo Husodo, yang pernah menjabat menteri saat orde baru dan anggota DPR saat
era reformasi pernah menyatakan keheranannya atas keberadaan APBN-P.
Menurut
dia, keberadaan APBN-P menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membuat
perencanaan yang presisi serta dapat diimplementasikan dalam setahun ke depan.
Dalam
era reformasi, perencanaan anggaran yang tertuang dalam APBN selalu meleset
sehingga pada pertengahan tahun berjalan perlu direvisi dalam bentuk APBN-P.
APBN-P
pun menjadi budaya. Padahal, berdasarkan aturan, revisi anggaran hanya bisa
dilakukan saat kondisi ekonomi mengalami perubahan yang luar biasa dan berada
di luar kendali pemerintah atau force
majeure.
Karena
menjadi kebiasaan, pemerintah dan DPR pun makin tidak serius menyusun APBN
secara presisi.
'Tidak
apa-apa salah, toh
nanti bisa direvisi dalam APBN-P,' begitu mungkin pikir pemerintah dan DPR saat
menyusun APBN.
Dalam
perkembangannya, keberadaan APBN-P ternyata membawa mudharat baru.
APBN-P,
dalam beberapa tahun ke belakang, justru dimanfaatkan oknum-oknum anggota
DPR sebagai ajang transaksional untuk korupsi.
Bagi-bagi
proyek dan kongkalikong proyek biasanya dilakukan dalam pembahasan APBN-P.
Maklum
saja, pembahasan APBN-P biasanya berlangsung cepat sehingga luput dari
pengawasan publik dan media.
Tak
heran, banyak kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota legislatif dan
eksekutif bermula dari pembahasan APBN-P.
Salah
satu contohnya adalah kasus pengurusan alokasi dana penyesuaian infrastruktur
daerah (DPID) dalam APBN-P 2011 yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR Wa
Ode Nurhayati.
Saat duduk di Badan Anggaran DPR, Wa
Ode Nurhayati menjanjikan membantu sejumlah daerah, seperti Kabupaten Aceh
Besar, Kabupaten Pidie Jaya, dan Kabupaten Bener Meriah, mendapat DPID Rp 40
miliar per daerah.
Namun, Wa Ode yang berasal dari Partai
Amanat Nasional ini, meminta dana komitmen sebesar 6 persen dari sejumlah
daerah yang menerima alokasi DPID.
Dana itu harus dibayarkan sebelum
pencairan dan tender proyek dilakukan.
Untuk memenuhi permintaan Wa Ode,
sejumlah daerah lalu melakukan kongkalikong dengan makelar dan perusahaan yang
akan dimenangkan dalam tender proyek bersangkutan.
Selain kasus DPID, kasus-kasus
korupsi besar seperti kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan
Sarana Olahraga Nasional Hambalang, kasus proyek wisma atlet, kasus
pengadaan kitab suci Al Quran di Kementerian Agama juga terkait APBN-P.
Dinaikkan
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), anggaran belanja negara dalam APBN-P biasanya selalu lebih tinggi dari APBN.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), anggaran belanja negara dalam APBN-P biasanya selalu lebih tinggi dari APBN.
Dalam APBN 2011 misalnya, total
anggaran belanja negara ditetapkan sebesar Rp 1.229,55 triliun.
Lantas dalam APBN-P 2011, anggaran
belanja negara dinaikkan menjadi Rp 1.320,75 triliun. Dengan demikian terjadi
penambahan anggaran sekitar Rp 91 triliun.
Anggaran belanja dalam APBN tahun
2012, 2013, dan 2014 juga dinaikkan saat pembahasan APBN-P.
Bahkan, anggaran belanja tetap saja
dinaikkan meskipun target penerimaan negara diturunkan.
Pada tahun 2013 misalnya. Dalam APBN
2013, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.529,7 triliun, sementara
belanja negara sebesar Rp 1.683 triliun.
Kemudian dalam APBN-P 2013, target
pendapatan negara diturunkan menjadi 1.488,32 triliun. Namun, belanja negara
justru dinaikkan menjadi Rp 1.722,03 triliun.
Pola seperti itu kembali diterapkan
pemerintahan SBY pada tahun 2014. Meskipun target pendapatan diturunkan, target
belanja negara tetap dinaikkan.
Dampak dari kebijakan ini adalah
defisit anggaran semakin besar sehingga otomatis pemerintah musti berutang
lebih banyak.
Namun di sisi lain, ada juga sisi
positif dari peningkatan belanja negara dalam APBN-P terutama dari persepsi
pasar.
Terlepas dari alasan mengapa
pemerintah menaikkan belanjanya, pasar tetap menilai langkah tersebut akan
menyebabkan ekspansi pertumbuhan ekonomi.
Di mata pasar, ekspansi pertumbuhan
dan stimulus pertumbuhan merupakan hal yang positif.
Dalam kondisi ini, pelaku usaha biasanya
juga akan terdorong melakukan ekspansi sehingga akhirnya roda
perekonomian berputar lebih cepat.
Berubah pola
Memasuki era pemerintahan Presiden
Joko Widodo, kebiasaan merevisi anggaran dalam bentuk APBN-P tetap berlangsung.
Namun, terjadi perubahan pola.
Jika pada masa presiden-presiden
sebelumnya, anggaran belanja selalu dinaikkan dalam APBN-P, saat era Jokowi,
anggaran belanja justru diturunkan.
“Jadi sekarang ini, APBN-P bukan
lagi APBN Perubahan tapi APBN Pengurangan,” seloroh Mukhamad Misbakhun, anggota
DPR dari fraksi Partai Golkar saat kami berbincang-bincang pekan lalu di ruang
kerjanya di Komplek DPR.
Politisi yang cukup vokal itu
mengakui, saat ini dirinya merupakan pendukung pemerintahan Jokowi.
Partai Golkar di bawah Ketua Umum
Setya Novanto juga sudah mendeklarasi sebagai partai pendukung pemerintah
Namun, menurut Misbakhun, bukan
berarti ia tak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah.
“Jika kebijakan yang diambil
pemerintah salah, saya tentu harus kritis,” ujarnya serius.
Pada tahun 2015, yang merupakan tahun
pertama pemerintahan Jokowi, APBN-P langsung menyusut.
Pada APBN 2015, pendapatan negara
ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp
2.039,5 triliun.
Lantas dalam APBN-P 2015, pendapatan
negara diturunkan menjadi Rp 1.761,6 triliun, sementara belanja negara
dipangkas menjadi Rp 1.984,1 triliun.
Langkah
itu dilakukan pemerintahan Jokowi karena perekonomian domestik dan global terus
melesu.
Dari
sisi eksternal, ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk. Pemulihan ekonomi
Amerika Serikat pun belum solid.
Sementara
ekonomi Tiongkok, meskipun mengarah ke kondisi yang lebih stabil, namun risiko
pelemahan masih tinggi.
Di
dalam negeri, kejatuhan harga komoditas terutama batubara membuat banyak
perusahaan tambang merugi, bahkan gulung tikar.
Dampaknya,
penerimaan negara terutama dari pajak jauh menyusut.
Kejatuhan
harga minyak juga membuat pendapatan negara dari minyak dan gas anjlok drastis.
Kembali berkurang
Nah, pada tahun 2016 ini, Misbakhun
melihat tanda-tanda anggaran belanja juga akan dipangkas dalam APBN-P 2016.
“Pemotongan anggaran belanja negara
sebenarnya memberikan sinyal buruk ke pasar dan investor,” katanya.
Terlepas dari apapun alasannya,
pasar dan investor akan memaknainya sebagai kontraksi pertumbuhan.
“Dalam teori ekonomi, sinyal
kontraksi pertumbuhan merupakan hal yang sangat berbahaya sehingga sebisa
mungkin harus dihindari oleh pemerintah,” ujar lelaki kelahiran Pasuruan
tersebut.
Jika melihat sinyal kontraksi,
psikologis pasar dan investor akan terganggu sehingga mereka cenderung akan
mengerem segala aktifitasnya. Dampaknya, semua roda pendorong pertumbuhan
ekonomi akan macet.
Pemerintah dan DPR memang baru
memulai pembahasan APBN-P 2016. Namun, indikasi pemotongan anggaran belanja
sudah tampak.
Salah satunya dari langkah
Presiden Jokowi yang menerbitkan Instruksi Presiden No 4 Tahun 2016
tentang langkah-langkah penghematan dan pemotongan anggaran belanja Kementerian
dan Lembaga pada tahun 2016.
Inpres itu ditandatangani Presiden
Joko Widodo pada 12 Mei 2016, yang isinya memerintahkan 87 instansi pemerintah
untuk memotong anggaran belanja dengan total nilai Rp 50,02 triliun.
Langkah itu dilakukan Jokowi karena
pendapatan negara hingga akhir April 2016 hanya sebesar Rp 419.2 triliun, atau
23 persen dari target pendapatan negara dalam APBN 2016 sebesar Rp 1.822,5
triliun.
Rendahnya pendapatan negara dipicu
oleh lemahnya penerimaan pajak. Dampak pajak sangat terasa sebab porsinya mencapai
75 persen dari total pendapatan negara.
Hingga akhir April 2016, realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp 272 triliun atau hanya 20 persen dari target
senilai Rp 1.360 triliun.
Bahkan, pencapaian itu masih lebih
rendah dibandingkan realisasi pajak pada periode sama tahun lalu yang sebesar
Rp 307 triliun.
Rendahnya penerimaan pajak tidak
terlepas dari kelesuan ekonomi yang masih berlanjut bahkan cenderung makin
memburuk.
Banyak perusahaan di sektor
pertambangan, industri pengolahan, dan perdagangan yang keuntungannya terus
menurun hingga kini sehingga pajak yang ditarik pun menjadi minim.
Selain penerimaan negara yang
anjlok, revisi anggaran belanja juga perlu dilakukan karena target sebelumnya
kurang realistis.
Kredibilitas
Misbakhun
menilai, jika pemerintahan Jokowi selalu merevisi anggaran belanjanya menjadi
lebih rendah, maka lama-kelamaan kredibilitas Jokowi akan jatuh.
Pemerintahan
Jokowi akan diragukan kompetensi dan kebecusannya dalam merancang serta
mengeksekusi anggaran.
“Masalah
trust ini sangat
penting. Pemerintah harus bisa menjaga kepercayaan pasar dan investor,” ujar
Misbakhun.
Dalam
sepuluh tahun terakhir, realisasi anggaran hampir selalu meleset dari target. Biasanya,
realisasi selalu lebih rendah dari target, baik itu pendapatan maupun belanja
negara.
Nah, jika pemerintahan Jokowi merevisi
turun anggaran belanja, maka realisasinya kemungkinan akan lebih rendah.
Artinya
di mata pasar dan investor, kontraksi anggaran akan lebih besar dari yang
sebenarnya.
Kita
tunggu, bagaimana pemerintahan Jokowi menyiasati situasi ini.
oleh
M Fajar Marta
disadur
dari Kompas, Jum’at, 3 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar