Dalam
dua tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, perencanaan anggaran amat
kedodoran.
Sebelum-sebelumnya,
realisasi anggaran, baik itu pendapatan maupun belanja, tidak pernah di bawah
94 persen dari target.
Bahkan,
pada 2011, realisasi penerimaan mencapai 103,5 persen dari target
APBN-Perubahan (APBN-P) 2011.
Namun
pada 2015, yang merupakan tahun pertama pemerintahan Jokowi, realisasi anggaran
pendapatan hanya 84,66 persen dari target, sementara anggaran belanja hanya
91,22 persen dari target yang dicanangkan dalam APBN-P 2015.
Perencanaan
anggaran tahun 2015 makin terlihat buruk karena dalam APBN-P 2015, anggaran
pendapatan dan belanja sudah direvisi turun.
Sudah
diturunkan targetnya, tetap saja tidak tercapai, bahkan realisasinya begitu
jauh dari target.
Ini
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika realisasi anggaran yang berkisar
94–98 persen terjadi karena target pendapatan dan belanja dinaikkan dalam
APBN-P.
Artinya,
jika realisasinya dibandingkan dengan APBN awal, maka targetnya bisa dibilang
tercapai, bahkan terlampau.
Contoh,
dalam APBN 2012 anggaran pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp Rp 1.311,38
triliun, sementara anggaran belanja ditargetkan senilai Rp 1.435,4 triliun.
Selanjutnya
dalam APBN-P 2012, target pendapatan negara dinaikkan menjadi Rp 1.344,47
triliun, sementara anggaran belanja ditingkatkan menjadi Rp 1.534,58 triliun.
Di
akhir tahun 2012, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.338,32 triliun,
sedangkan belanja negara sebesar Rp 1.489,72 triliun.
Jika
dibandingkan dengan target dalam APBN-P 2012, maka realisasinya adalah 99,5
persen untuk pendapatan negara dan 97 persen untuk belanja negara.
Namun
dibandingkan target awal yakni dalam APBN 2012, maka realisasi pendapatan dan
belanja masing-masing 102 persen dan 104 persen alias melampaui target.
APBN 2016
Tahun
2016, perencanaan anggaran tidak membaik, bahkan di sisi pendapatan negara,
bisa dikatakan makin memburuk.
Hingga
akhir Mei 2016, realisasi pendapatan negara dan hibah hanya mencapai Rp 496,6
triliun atau 27,2 persen dari target APBN tahun 2016 sebesar Rp 1.822,5
triliun.
Dibandingkan
tahun 2015 yang buruk saja, realisasi tahun ini ternyata masih lebih buruk.
Akibat
penerimaan yang loyo, belanja negara pun menjadi tidak maksimal.
Padahal,
pemerintahan Jokowi telah membuat terobosan dengan menggelar lelang proyek di
awal tahun sehingga penyerapan tidak menumpuk di akhir tahun seperti
sebelum-sebelumnya.
Apalagi,
proyek infrastruktur juga digenjot dengan alokasi dana mencapai Rp 313,5
triliun, terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Namun,
bagaimana mau belanja, kalau uang di kantong tidak ada. Bisa saja dengan
berhutang, namun tentu ada batasnya.
Karena
itu, ramai di media sosial, berbagai ungkapan kesangsian netizen bahwa
pemerintah tidak akan bisa mencairkan gaji ke-13 dan ke-14 untuk PNS dengan
alasan tak ada uang.
Ya,
netizen tidak salah, pemerintah memang tidak punya uang saat ini.
Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika uang kas selalu tersedia mengingat
belanja besar-besaran baru dilakukan pada triwulan IV.
Tahun
ini, uang kas tidak selalu tersedia mengingat belanja negara sudah lebih besar
dari uang yang diterima negara.
Hingga
akhir Mei 2016, belanja negara sudah mencapai Rp 685,8 triliun, sementara
penerimaan hanya sebesar Rp 496,6 triliun.
Artinya,
begitu ada uang masuk dari pajak atau pos lainnya, langsung habis untuk belanja
rutin dan infrastruktur.
Bahkan
pemerintah harus berutang untuk membiayai belanja negara yang agresif. Hingga
akhir Mei 2016, pemerintah sudah menghabiskan utang sebesar Rp 189,1 triliun
untuk membiayai belanja.
Namun,
meskipun tak ada uang di kas pemerintah, tentu saja gaji ke-13 dan ke-14 tetap
akan dibayarkan karena itu merupakan komitmen pemerintah.
Sebelum
pencairan gaji ke-13 dan ke-14 itu tiba, pemerintah dipastikan sudah
mempersiapkan utang baru, salah satunya dengan menerbitkan Surat Utang Negara
(SUN).
APBN-P 2016
Karena
target anggaran dalam APBN 2016 tak mungkin tercapai, pemerintah pun mengajukan
revisi dalam bentuk APBN-P 2016.
Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya ketika APBN-P menjadi ajang untuk memperbesar
target penerimaan dan belanja, pada tahun 2015 dan 2016, APBN-P menjadi ajang
pemotongan anggaran untuk meluruskan target awal yang ambisius dan kurang
realistis.
Pada
APBN-P 2016, besaran pendapatan negara diturunkan dari Rp 1.822,54 triliun
dalam APBN 2016 menjadi Rp 1.734,5 triliun.
Sementara
belanja negara dipangkas dari Rp 2.095,72 triliun menjadi Rp 2.047,84 triliun.
Meskipun
telah dipotong sekitar Rp 88 triliun, target penerimaan negara dalam APBN-P
2016 tetap tak mudah untuk dicapai.
Pasalnya,
target penerimaan tersebut sudah memperhitungkan tambahan pendapatan negara
dari pemberlakuan UU Pengampunan Pajak atau Tax
Amnesty.
“Dengan
adanya kebijakan baru seperti tax
amnesty/voluntary disclosure, target PPh nonmigas diperkirakan akan tetap
tercapai bahkan melebihi target dalam APBN tahun 2016. Dengan memperhitungkan
tambahan pendapatan dari tax
amnesty/voluntary disclosure maka pendapatan PPh nonmigas dalam RAPBNP
tahun 2016 diharapkan mencapai Rp 819,49 triliun atau meningkat 14,5 persen
dari target dalam APBN tahun 2016,” demikian tertulis dalam Nota Keuangan
Rancangan APBN-P 2016 yang diajukan pemerintah ke DPR.
Pemerintah
tidak menyebutkan berapa persisnya dana yang akan diperoleh dari Tax Amnesty. Namun, Menteri Keuangan
Bambang Brodjonegoro beberapa kali mengatakan potensi dana yang bisa diperoleh
mencapai Rp 165 triliun.
Dana
tersebut berasal dari uang tebusan yang harus dibayarkan pemohon Tax Amnesty kepada negara.
Berdasarkan
data yang diungkap Kementerian Keuangan, saat ini ada sekitar 6.519 WNI dengan
total kekayaan sekitar Rp 4.000 triliun yang disimpan di luar negeri.
Aset
Rp 4.000 triliun tersebut tidak pernah dilaporkan oleh si empunya sehingga
tidak pernah dibayarkan pajaknya.
Nah,
dengan adanya Tax Amnesty, pemerintah
berasumsi seluruh aset itu akan dilaporkan.
Jika
tarif tebusan misalnya sekitar 4 persen dari nilai aset, maka pemerintah akan
mengantongi sekitar Rp 160 triliun.
Nah
masalahnya, hingga sekarang, pembahasan UU Tax
Amnesty di DPR masih alot dan jauh dari kata selesai.
Artinya,
jika tax amnesty gagal diberlakukan,
maka realisasi penerimaan negara di akhir tahun akan jauh meleset.
Kalaupun
tax amnesty jadi diberlakukan, jumlah
yang diperoleh pemerintah pun belum tentu mencapai Rp 165 triliun seperti yang
diungkapkan Menteri Bambang.
Sebab,
Bank Indonesia yang biasanya lebih realistis dalam melakukan kalkulasi,
memperkirakan potensi uang tebusan Tax
Amnesty hanya sekitar Rp 45,7 triliun.
Peluang
pemberlakuan Tax Amnesty makin minim
mengingat masyarakat sipil banyak yang menentangnya.
Alasannya,
kebijakan tax amnesty dinilai
tidak fair dan
hanya menguntungkan para pengemplang pajak, koruptor, dan pencuci uang.
Tidak
fair karena hanya dengan membayar
uang tebusan yang relatif kecil, para pengemplang pajak akan mendapatkan
sejumlah fasilitas antara lain penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi
perpajakan, dan sanksi pidana dibidang perpajakan.
Selain
itu, tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak,
pemeriksaan bukti permulaan, serta penyidikan dan penuntutan tindak pidana di
bidang perpajakan.
Bahkan,
dengan memohon tax amnesty,
pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan terhadap pemohon akan
langsung dihentikan.
RKP 2017
Bersamaan
dengan pembahasan APBN-P 2016, pemerintah melalui kementerian dan lembaga juga
memaparkan Rencana Kerja Pemerintah 2017 kepada DPR.
Dalam
RKP 2017 yang disusun pemerintah, pertumbuhan ekonomi 2017 ditargetkan sebesar
5,8 persen dengan inflasi sekitar 4 persen.
Pertumbuhan
sebesar 5,8 persen dapat dikatakan sebuah lonjakan yang signifikan jika
dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2016 yang diperkirakan 5,1 persen dan
pertumbuhan tahun 2015 yang hanya 4,79 persen.
Berdasarkan
konsensus pasar, perekonomian global memang akan membaik pada 2017.
Pertumbuhan
ekonomi global tahun 2017 diperkirakan mencapai 3,5 persen, lebih tinggi dari
2016 yang diprediksi sekitar 3,2 persen.
Pertumbuhan
ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan mencapai 4,6 persen,
sementara negara-negara maju hanya 2 persen.
Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan sebesar Rp 12.703
triliun.
Dengan
asumsi pertumbuhan sebesar 5,8 persen dan inflasi 4 persen, maka PDB Indonesia
tahun 2017 bakal mencapai Rp 13.947 triliun.
Dalam
RPK 2017, pendapatan negara diproyeksikan pemerintah sebesar 13,9 persen PDB
atau senilai Rp 1.938 triliun.
Dibandingkan
pendapatan negara dalam RAPBN-P 2016 sebesar Rp 1.734,5 triliun, maka angka
tersebut tumbuh 11,76 persen.
Pertumbuhan
pendapatan negara sebesar 11,76 persen tergolong cukup tinggi.
Sebab,
dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan pendapatan negara hanya 7
persen.
Tentu
saja, RKP ini masih amat mentah. Pemerintah dan DPR masih memiliki waktu
panjang untuk mewujudkannya menjadi APBN 2017.
Namun,
RKP tersebut bisa sedikit memberikan gambaran, apakah pemerintah sudah
mengambil pelajaran dari penyusunan anggaran 2015 dan 2016 yang gagal sehingga
lebih realistis atau masih tetap ambisius.
Yang
pasti, Presiden Jokowi telah meminta para menterinya untuk menerapkan paradigma
beru dalam mengelola anggaran tahun 2017.
Anggaran
tidak lagi berbasis fungsi atau money
follow function, namun harus berorientasi pada program yang memberi
manfaat langsung atau money
follow program.
Mudah-mudahan,
pola ini akan membuat penganggaran pemerintah tahun depan menjadi lebih baik.
oleh
M Fajar Marta
disadur
dari Kompas, Kamis, 16 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar