Editors Picks

Kamis, 23 Juni 2016

Anggaran 2017, Realistis atau Tetap Ambisius?



Dalam dua tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, perencanaan anggaran amat kedodoran.

Sebelum-sebelumnya, realisasi anggaran, baik itu pendapatan maupun belanja, tidak pernah di bawah 94 persen dari target.

Bahkan, pada 2011, realisasi penerimaan mencapai 103,5 persen dari target APBN-Perubahan (APBN-P) 2011.

Namun pada 2015, yang merupakan tahun pertama pemerintahan Jokowi, realisasi anggaran pendapatan hanya 84,66 persen dari target, sementara anggaran belanja hanya 91,22 persen dari target yang dicanangkan dalam APBN-P 2015.

Perencanaan anggaran tahun 2015 makin terlihat buruk karena dalam APBN-P 2015, anggaran pendapatan dan belanja sudah direvisi turun.

Sudah diturunkan targetnya, tetap saja tidak tercapai, bahkan realisasinya begitu jauh dari target.

Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika realisasi anggaran yang berkisar 94–98 persen terjadi karena target pendapatan dan belanja dinaikkan dalam APBN-P.

Artinya, jika realisasinya dibandingkan dengan APBN awal, maka targetnya bisa dibilang tercapai, bahkan terlampau.

Contoh, dalam APBN 2012 anggaran pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp Rp 1.311,38 triliun, sementara anggaran belanja ditargetkan senilai Rp 1.435,4 triliun.

Selanjutnya dalam APBN-P 2012, target pendapatan negara dinaikkan menjadi Rp 1.344,47 triliun, sementara anggaran belanja ditingkatkan menjadi Rp 1.534,58 triliun.

Di akhir tahun 2012, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.338,32 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp 1.489,72 triliun.

Jika dibandingkan dengan target dalam APBN-P 2012, maka realisasinya adalah 99,5 persen untuk pendapatan negara dan 97 persen untuk belanja negara.

Namun dibandingkan target awal yakni dalam APBN 2012, maka realisasi pendapatan dan belanja masing-masing 102 persen dan 104 persen alias melampaui target.

APBN 2016
Tahun 2016, perencanaan anggaran tidak membaik, bahkan di sisi pendapatan negara, bisa dikatakan makin memburuk.

Hingga akhir Mei 2016, realisasi pendapatan negara dan hibah hanya mencapai Rp 496,6 triliun atau 27,2 persen dari target APBN tahun 2016 sebesar Rp 1.822,5 triliun.

Dibandingkan tahun 2015 yang buruk saja, realisasi tahun ini ternyata masih lebih buruk.

Akibat penerimaan yang loyo, belanja negara pun menjadi tidak maksimal.

Padahal, pemerintahan Jokowi telah membuat terobosan dengan menggelar lelang proyek di awal tahun sehingga penyerapan tidak menumpuk di akhir tahun seperti sebelum-sebelumnya.

Apalagi, proyek infrastruktur juga digenjot dengan alokasi dana mencapai Rp 313,5 triliun, terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Namun, bagaimana mau belanja, kalau uang di kantong tidak ada. Bisa saja dengan berhutang, namun tentu ada batasnya.

Karena itu, ramai di media sosial, berbagai ungkapan kesangsian netizen bahwa pemerintah tidak akan bisa mencairkan gaji ke-13 dan ke-14 untuk PNS dengan alasan tak ada uang.

Ya, netizen tidak salah, pemerintah memang tidak punya uang saat ini.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika uang kas selalu tersedia mengingat belanja besar-besaran baru dilakukan pada triwulan IV.

Tahun ini, uang kas tidak selalu tersedia mengingat belanja negara sudah lebih besar dari uang yang diterima negara.

Hingga akhir Mei 2016, belanja negara sudah mencapai Rp 685,8 triliun, sementara penerimaan hanya sebesar Rp 496,6 triliun.

Artinya, begitu ada uang masuk dari pajak atau pos lainnya, langsung habis untuk belanja rutin dan infrastruktur.

Bahkan pemerintah harus berutang untuk membiayai belanja negara yang agresif. Hingga akhir Mei 2016, pemerintah sudah menghabiskan utang sebesar Rp 189,1 triliun untuk membiayai belanja.

Namun, meskipun tak ada uang di kas pemerintah, tentu saja gaji ke-13 dan ke-14 tetap akan dibayarkan karena itu merupakan komitmen pemerintah.

Sebelum pencairan gaji ke-13 dan ke-14 itu tiba, pemerintah dipastikan sudah mempersiapkan utang baru, salah satunya dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).

 APBN-P 2016
Karena target anggaran dalam APBN 2016 tak mungkin tercapai, pemerintah pun mengajukan revisi dalam bentuk APBN-P 2016.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika APBN-P menjadi ajang untuk memperbesar target penerimaan dan belanja, pada tahun 2015 dan 2016, APBN-P menjadi ajang pemotongan anggaran untuk meluruskan target awal yang ambisius dan kurang realistis.

Pada APBN-P 2016, besaran pendapatan negara diturunkan dari Rp 1.822,54 triliun dalam APBN 2016 menjadi Rp 1.734,5 triliun.

Sementara belanja negara dipangkas dari Rp 2.095,72 triliun menjadi Rp 2.047,84 triliun.

Meskipun telah dipotong sekitar Rp 88 triliun, target penerimaan negara dalam APBN-P 2016 tetap tak mudah untuk dicapai.

Pasalnya, target penerimaan tersebut sudah memperhitungkan tambahan pendapatan negara dari pemberlakuan UU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.

“Dengan adanya kebijakan baru seperti tax amnesty/voluntary disclosure, target PPh nonmigas diperkirakan akan tetap tercapai bahkan melebihi target dalam APBN tahun 2016. Dengan memperhitungkan tambahan pendapatan dari tax amnesty/voluntary disclosure maka pendapatan PPh nonmigas dalam RAPBNP tahun 2016 diharapkan mencapai Rp 819,49 triliun atau meningkat 14,5 persen dari target dalam APBN tahun 2016,” demikian tertulis dalam Nota Keuangan Rancangan APBN-P 2016 yang diajukan pemerintah ke DPR.

Pemerintah tidak menyebutkan berapa persisnya dana yang akan diperoleh dari Tax Amnesty. Namun, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro beberapa kali mengatakan potensi dana yang bisa diperoleh mencapai Rp 165 triliun.

Dana tersebut berasal dari uang tebusan yang harus dibayarkan pemohon Tax Amnesty kepada negara.

Berdasarkan data yang diungkap Kementerian Keuangan, saat ini ada sekitar 6.519 WNI dengan total kekayaan sekitar Rp 4.000 triliun yang disimpan di luar negeri.

Aset Rp 4.000 triliun tersebut tidak pernah dilaporkan oleh si empunya sehingga tidak pernah dibayarkan pajaknya.

Nah, dengan adanya Tax Amnesty, pemerintah berasumsi seluruh aset itu akan dilaporkan.

Jika tarif tebusan misalnya sekitar 4 persen dari nilai aset, maka pemerintah akan mengantongi sekitar Rp 160 triliun.

Nah masalahnya, hingga sekarang, pembahasan UU Tax Amnesty di DPR masih alot dan jauh dari kata selesai.

Artinya, jika tax amnesty gagal diberlakukan, maka realisasi penerimaan negara di akhir tahun akan jauh meleset.

Kalaupun tax amnesty jadi diberlakukan, jumlah yang diperoleh pemerintah pun belum tentu mencapai Rp 165 triliun seperti yang diungkapkan Menteri Bambang.

Sebab, Bank Indonesia yang biasanya lebih realistis dalam melakukan kalkulasi, memperkirakan potensi uang tebusan Tax Amnesty hanya sekitar Rp 45,7 triliun.

Peluang pemberlakuan Tax Amnesty makin minim mengingat masyarakat sipil banyak yang menentangnya.

Alasannya, kebijakan tax amnesty dinilai tidak fair dan hanya menguntungkan para pengemplang pajak, koruptor, dan pencuci uang.

Tidak fair karena hanya dengan membayar uang tebusan yang relatif kecil, para pengemplang pajak akan mendapatkan sejumlah fasilitas antara lain penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana dibidang perpajakan.

Selain itu, tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, serta penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan.

Bahkan, dengan memohon tax amnesty, pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan terhadap pemohon akan langsung dihentikan.

RKP 2017
Bersamaan dengan pembahasan APBN-P 2016, pemerintah melalui kementerian dan lembaga juga memaparkan Rencana Kerja Pemerintah 2017 kepada DPR.

Dalam RKP 2017 yang disusun pemerintah, pertumbuhan ekonomi 2017 ditargetkan sebesar 5,8 persen dengan inflasi sekitar 4 persen.

Pertumbuhan sebesar 5,8 persen dapat dikatakan sebuah lonjakan yang signifikan jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2016 yang diperkirakan 5,1 persen dan pertumbuhan tahun 2015 yang hanya 4,79 persen.

Berdasarkan konsensus pasar, perekonomian global memang akan membaik pada 2017.

Pertumbuhan ekonomi global tahun 2017 diperkirakan mencapai 3,5 persen, lebih tinggi dari 2016 yang diprediksi sekitar 3,2 persen.

Pertumbuhan ekonomi negara-negara  berkembang diperkirakan mencapai 4,6 persen, sementara negara-negara maju hanya 2 persen.

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan sebesar Rp 12.703 triliun.

Dengan asumsi pertumbuhan sebesar 5,8 persen dan inflasi 4 persen, maka PDB Indonesia tahun 2017 bakal mencapai Rp 13.947 triliun.

Dalam RPK 2017, pendapatan negara diproyeksikan pemerintah sebesar 13,9 persen PDB atau senilai Rp 1.938 triliun.

Dibandingkan pendapatan negara dalam RAPBN-P 2016 sebesar Rp 1.734,5 triliun, maka angka tersebut tumbuh 11,76 persen.

Pertumbuhan pendapatan negara sebesar 11,76 persen tergolong cukup tinggi.

Sebab, dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan pendapatan negara hanya 7 persen.

Tentu saja, RKP ini masih amat mentah. Pemerintah dan DPR masih memiliki waktu panjang untuk mewujudkannya menjadi APBN 2017.

Namun, RKP tersebut bisa sedikit memberikan gambaran, apakah pemerintah sudah mengambil pelajaran dari penyusunan anggaran 2015 dan 2016 yang gagal sehingga lebih realistis atau masih tetap ambisius.

Yang pasti, Presiden Jokowi telah meminta para menterinya untuk menerapkan paradigma beru dalam mengelola anggaran tahun 2017.

Anggaran tidak lagi berbasis fungsi atau money follow function, namun harus berorientasi pada program yang memberi manfaat langsung atau money follow program.

Mudah-mudahan, pola ini akan membuat penganggaran pemerintah tahun depan menjadi lebih baik.

oleh M Fajar Marta
disadur dari Kompas, Kamis, 16 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar