DALAM
rentang waktu satu tahun terakhir, perekonomian Indonesia seolah-olah telah
masuk suatu babak baru. Jika pada tahun-tahun sebelumnya perekonomian Indonesia
digenjot untuk mencapai pertumbuhan yang optimal dengan angka inflasi yang
relatif tinggi, dalam rentang waktu satu tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi
Indonesia melambat dengan tingkat inflasi yang relatif rendah. Dinamika
pertumbuhan ekonomi dan inflasi ini ibarat dua hal yang tidak bisa dipisahkan,
bahkan seolah-olah telah menjadi hukum kausalitas. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi maka akan mengakibatkan inflasi juga tinggi. Sebaliknya, pertumbuhan
ekonomi yang rendah maka akan menciptakan inflasi yang rendah pula. Dengan
adanya hukum kausalitas ekonomi antara pertumbuhan dan inflasi ini, pola
pembangunan ekonomi akan sangat dipengaruhi mazhab atau orientasi pembangunan
dari pemimpinnya.
Pada
pemerintahan SBY-Boediono, perekonomian diarahkan untuk mencapai titik
pertumbuhan yang paling optimal dengan tingkat inflasi yang relatif besar.
Pemerintahan rezim SBY-Boediono mencoba untuk menciptakan margin positif dari
selisih antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Rezim SBY-Boediono berharap
bahwa kesejahteraan yang ditimbulkan dari pertumbuhan ekonomi masih lebih besar
daripada tergerusnya kesejahteraan karena adanya inflasi.
Hal
sebaliknya yang terjadi pada pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintahan rezim
Jokowi-JK lebih menitikberatkan pembangunan ekonomi pada pemerataan tingkat
kesejahteraan. Pada pola pembangunan yang seperti ini maka fokus utama
pembangunannya ialah pengendalian harga guna mempertahankan daya beli
masyarakat. Dengan kata lain, pola pembangunan sepeti ini akan cenderung
mempertahankan tingkat inflasi pada level yang rendah dengan konsekuensi
pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah juga.
Hasil
dari orientasi pembangunan rezim Jokowi-JK ini terasa pada akhir 2015, yakni
tingkat inflasi tahunan mencapai titik terendahnya, yaitu 3,35%. Angka inflasi
ini ialah angka inflasi terendah sejak 2009. Namun sebagai konsekuensinya,
pertumbuhan ekonomi pada rezim pemerintahan Jokowi-JK juga menjadi pertumbuhan
ekonomi terendah sejak enam tahun terakhir. Pada akhir 2015, pertumbuhan
ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,79% padahal tahun-tahun sebelumnya selalu
tumbuh di atas 5%.
Inflasi
yang rendah memang bisa menjaga daya beli masyarakat, tetapi jika selisih
antara bertambahnya kesejahteraan karena pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari
berkurangnya daya beli akibat inflasi, bisa dipastikan secara agregat tingkat
kesejahteraan masyarakat akan berkurang. Dengan kata lain, menjaga daya beli
masyarakat dengan menahan laju inflasi serendah mungkin menjadi hal yang
sia-sia. Lalu, bagaimana dengan fenomena rendahnya inflasi pada zaman
pemerintahan rezim Jokowi-JK saat ini?
Fenomena
rendahnya inflasi pada rezim pemerintahan Jokowi-JK terjadi ketika
produktivitas agregat ekonomi Indonesia sedang mengalami penurunan. Nilai
ekspor yang menjadi salah satu indikator produktivitas ekonomi nasional sejak 2012
sampai dengan akhir 2015 terus mengalami penurunan. Bahkan, dalam rentang
2012–2014 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dan pembayaran yang
diakibatkan nilai ekspor yang lebih kecil dari pada nilai impor.
Pada
2015, Indonesia berhasil menghilangkan defisit neraca perdagangan dan
pembayaran tersebut. Namun, hilangnya defisit tersebut bukan karena kenaikan
nilai ekspor, melainkan karena penurunan nilai impor yang sangat besar yang
disebabkan melemahnya perekonomian Indonesia secara signifikan. Arus impor pada
2015, baik barang konsumsi maupun barang bahan baku produksi mengalami
penurunan yang sangat signifikan. Dengan kata lain, positifnya neraca
pembayaran Indonesia bukan disebabkan peningkatan produktivitas sehingga
kondisi tersebut tidak berdampak pada kenaikan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Paralel
dengan kondisi ekspor yang terus mengalami penurunan, kondisi ketahanan
keuangan Indonesia juga sangat rentan. Akibat ekspor yang rendah maka cadangan
devisa Indonesia juga mengalami stagnasi yang cukup parah. Indonesia mengalami
stagnansi cadangan devisa di kisaran angka US$100–US$115 miliar. Bahkan,
akhir-akhir ini Indonesia begitu kesulitan untuk menembus angka US$110 miliar.
Dalam tiga bulan terakhir ini cadangan devisa Indonesia mengalami fluktuasi
yang cukup besar. Pada April 2016, cadangan devisa Indonesia sempat menembus
angka US$107,7 miliar, tapi pada bulan berikutnya langsung anjlok kembali
menjadi US$103,6 miliar karena adanya kewajiban pembayaran utang luar negeri.
Akibat
dari rentannya sistem keuangan Indonesia, sebagian besar perusahaan besar
menunda ekspansi usahanya. Bahkan, sebagiannya melakukan berbagai langkah
efisiensi dengan mengurangi tingkat produksinya. Akibatnya, banyak para pekerja
formal yang kehilangan pekerjaannya dan beralih ke sektor informal yang lebih
rentan terhadap guncangan ekonomi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan adanya penambahan sektor informal dari 57,76% pada Agustus 2015
menjadi 58,28% pada Februari 2016.
Sebagian
pekerja yang lari ke sektor informal ini masuk ke sektor pertanian yang
produktivitasnya sangat rendah. Menurut catatan BPS, pekerja informal di Sektor
Pertanian bertambah sekitar 540 ribu dari 37,75 juta menjadi 38,29 juta. Para
pekerja yang lari ke sektor pertanian ini disinyalir hanya akan menjadi tenaga
kerja musiman selama masa musim panen di awal tahun dan akan menjadi penganggur
ketika musim panen telah lewat.
Di
samping bertambahnya pekerja di sektor informal, menurut data BPS terjadi
peningkatan orang-orang yang masuk kategori pengangguran terselubung (setengah
menganggur dan paruh waktu). Pada Februari 2016, jumlah orang setengah
menganggur dan pekerja tidak penuh ini berjumlah 25,87 juta, atau naik 1,3 juta
jika dibandingkan dengan Agustus 2015. Kondisi ini menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan produktivitas para pekerja di Indonesia dan tentunya
berdampak pada menurunnya tingkat pendapatan mereka.
Efek
positif dari terjaganya inflasi jauh lebih rendah daripada efek positif dari
pertumbuhan ekonomi. Bahkan, bila berkaca pada kondisi makro ekonomi Indonesia
saat ini, rendahnya inflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini bukanlah
hasil dari skenario dan desain pembangunan yang terorganisasi. Rendahnya
inflasi saat ini menjadi indikasi kuat bahwa pemerintah mengalami kesulitan
dalam mengendalikan dan mengarahkan pembangunan perekonomian nasional. Oleh
karena itu, pemerintah sebaiknya berusaha mengembalikan tingkat inflasi pada
tingkat normalnya dengan terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
oleh
Agus Herta Sumarto
disadur dari Media Indonesia, Rabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar