SALAH
satu kebiasaan Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul adalah
melakukan tahannust (menyepi). Semacam kegiatan personal melakukan renungan
total tentang kondisi sosial kemasyarakatan yang ada di sekitarnya,
merefleksikan zamannya yang dalam pandangannya tengah disekap kebudayaan yang
menghinakan akal sehat yang kemudian disebut jahiliah.
Nyaris
kejahiliahan itu menimpa semua sektor kehidupan. Ekonomi dikelola hanya
tertumpu pada semangat mengejar keuntungan belaka dengan cara licik; sosial
dijangkarkan pada sentimen perkauman yang sempit dan sering kali berkobar
menjadi gelaran konflik berdarah (safak ad-dima') walaupun pemantiknya
hanya persoalan sepele. Politik benar-benar dengan sempurna menerapkan prinsip
menghalalkan segala cara, sedangkan kebudayaan diacukan pada haluan hanya
melulu menjadikan materi sebagai daulat utama.
Tentu
saja kedudukan perempuan sama sekali berada di titik nadir bahkan kelahirannya
dianggap aib bagi keluarga sehingga harus lekas dikubur hidup-hidup. Dalam
sistem keyakinan lebih parah lagi. Malah diriwayatkan ketika mereka bepergian,
Tuhan dibawa dan terus dihadirkan dalam wujud roti yang dibikinnya sendiri
untuk setiap saat disembahnya. Tatkala lapar menyergap, Tuhan itu pun menjadi
santapannya. Tuhan menjadi sekadar makanan untuk mengenyangkan perut.
Gua
hira
Tempat
favorit sang nabi dalam melakukan tahannuts
(menyepi) itu adalah sebuah gua yang berada di tebing Gunung Nur (Jabal Nur). Kurang lebih 5 km arah utara
dari Masjidil Haram. Di gua itu Nabi bermeditasi, mengosongkan hati, menyatukan
sukma dengan Yang Mahakuasa, sekaligus menyampaikan seluruh keresahan jiwanya,
mengadukan persoalan sosial yang menimpa masyarakatnya.
Gua
yang menjadi situs rohaniah yang menggambarkan bagaimana Muhammad SAW seorang
diri mewafakan tubuhnya demi melakukan transformasi sosial yang diimajikannya.
Naik ke gunung batu bukan hal mudah, sekali terpeleset yang menjadi
pertaruhannya ialah nyawanya sendiri. Dalam musim terik menyengat (Ramadhan
artinya adalah cuaca yang membakar), kaki itu menaiki batu demi batu menuju
puncak Hira, menyendiri, dan larut dalam hening yang menggetarkan, dalam
munajat sepi yang tak ditemani satu orang pun. Hanya dirinya dan Tuhan. Tanpa
arahan wahyu kecuali mengikuti rute suara hatinya yang bening.
Tepat
pada 17 Ramadhan itulah, hijab terbuka. Tuhan mengutus Jibril menyampaikan
firman-Nya. Dahsyatnya ternyata ayat yang pertama kali turun ialah gelora agar
sang Nabi itu pandai membaca. Iqra, bacalah.
Bismi
rabbik,
atas nama Tuhanmu. Seruan-Nya yang pertama bukan perintah haji berkali-kali
atau umrah berulang kali, bukan pula puasa dan salat dalam hitungan tak
terbilang dan apalagi kewajiban menegakkan syariat, tapi keniscayaan agar
terampil membaca.
Dalam
peradaban mana pun juga 'membaca' adalah sebuah metafora dari pemuliaan
terhadap ilmu pengetahuan. Iqra merupakan simbol keharusan menyiapkan
sumber daya insani. Tanpa etos iqra,
perubahan sosial yang dibayangkan tidak akan pernah terwujud. Iqra yang
menjadi sumbu kebudayaan itu memiliki rohnya yang berwibawa. Seolah Tuhan
hendak mengatakan bahwa kejahiliahan itu bermula karena absennya kerja iqra
dan atau membaca itu dilakukan tapi sama sekali tidak melibatkan nilai-nilai
ketuhanan, tidak bismi rabbik.
Pengalaman
spiritual itu tentu saja sangat mengguncang dirinya. Di sebuah gua, di tepi
gunung berbatu, tiba-tiba hadir makhluk asing dengan perintahnya yang juga
asing. Menjadi beralasan sekembali ke rumahnya, istrinya disuruhnya untuk lekas
menyelimutinya. Justru ketika selimut sudah menutupi sekujur tubuhnya, Tuhan
kembali datang dengan firman susulannya, "Wahai yang berselimut bangun,
dan peringatkan. Agungkan Tuhanmu, sucikan pakaianmu, lepaskan dirimu dari
perbuatan keji."
Visi
pengetahuan
Konteks
turunnya Al-Qur’an seperti itu menarik kita renungkan. Keharusan 'membaca' dan
'membuang selimut' inilah yang tidak hadir dalam kesadaran umat Islam hari ini,
dari batang tubuh bangsa kita sekarang.
Padahal,
yang menjadi energi umat Islam mampu mencapai puncak peradaban pada abad
pertengahan sehingga melahirkan tokoh-tokoh besar semacam Ibnu Sina, al-Kindi, al-Farabi,
al-Khawarizmi, Ibnu Rusydi, yang kemudian mengilhami kebangkitan dunia Barat
yang sedang berada dalam limbo kemunduran ialah semangat membaca itu.
Seandainya
membaca melambangkan etos ilmiah, 'menyingkirkan selimut' ialah etik
imperatifnya. Wahai yang berselimut kebodohan, singkirkanlah dan bangunlah
lembaga pendidikan bermutu. Wahai yang berselimut kefakiran, singkirkan sikap
malas dan seriuslah menggumuli persoalan ekonomi. Wahai yang berselimut
kerakusan, singkirkan dan tumbuhkan kedermawanan. Wahai yang berselimut politik
kecurangan, singkirkan dan tancapkan nilai-nilai politik luhur yang menjunjung
tinggi keutamaan dan kemanusiaan.
Kalau
kita simak, nyaris sepanjang Muhammad SAW meniti karier kenabian, perhatian dan
kebijakan yang diambil selalu diorientasikan untuk sektor pendidikan, pengembangan
ilmu pengetahuan. Kita baca dalam sekian hadisnya, bagaimana laki-laki dan
perempuan dibebani kewajiban mencari ilmu jauh sebelum Kartini, Lasminingrat,
atau Dewi Sartika bikin sekolah yang khusus diperuntukkan kaum perempuan.
Belajar
sepanjang hayat dipromiskannya setiap saat, carilah ilmu dari mulai buaian
bunda sampai lubang kubur. Malah tatkala dalam sebuah pertempuran mendapatkan
tawanan, tawanan itu bisa bebas hanya dengan dua opsi: pertama, menebusnya
dengan sejumlah uang dan uang itu wajib masuk kas negara yang dikhususkan bagi
dunia pendidikan. Dan kedua, apabila tawanan itu kategorinya miskin, dia wajib
menularkan keterampilan baca tulisnya kepada anak-anak muslim yang masih buta
aksara.
Tentu
saja kalau kita membaca Al-Qur’an akan dengan mudah menemukan ayat-ayat lainnya
yang senapas dengan iqra. Al-Qur’an ialah kitab suci yang menjunjung tinggi
rasionalitas. Akal sebagai kata yang merujuk pada nalar tidak pernah dirumuskan
dalam bentuk kata benda (al-aql), tapi seluruhnya adalah kata kerja, afala
taqilun atau afala yaqilun. Maknanya ialah akal sebagai potensi yang
harus terus didayagunakan, berpikir tidak boleh mengenal kata khatam.
Seandainya Rene Descartes sampai pada kesadaran 'aku berpikir maka aku ada'
sebagai penanda modernisme-rasionalisme, dalam jalur yang sama Nabi SAW
menyerukan agama itu adalah akal, tidak beragama mereka yang tidak pernah
menggunakan akalnya. Ad-dinu huwa al-aqlu li dina li man la aqla lahu.
Inilah
yang kemudian disimpulkan Soekarno dalam Surat-Surat dari Ende bahwa Islam itu
adalah agama berkemajuan, Islam is progress. Bung Karno menyebutkan ciri
kemajuan itu ialah penghargaan terhadap rasio, terhadap nilai-nilai modernitas.
Islam
yang benar yang disebutnya sebagai 'api Islam' ialah Islam yang belum terbenam
dalam lumpur sikap taklid dan tahayul, Islam yang sigap berdialog dengan roh
zaman, menjadi pandu bagi langkah-langkah perubahan sosial termasuk bisa
membebaskan umatnya dari sekapan kolonialisasi dan kolonialisme.
Merenungkan
Nuzul Quran ialah mengingat kembali sesuatu yang hilang dalam diri umat Islam:
pentingnya ilmu pengetahuan. Atau dalam istilah Kuntowijoyo, kita harus
menghentikan Islam mitologis dan ideologis dan kita harus mulai bergeser masuk
ranah Islam epistemologis
oleh
Asep Salahudin
disadur dari Media Indonesia, Selasa, 21 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar