PENDIDIKAN
merupakan kunci ketercerahan hidup. Itu bukan sekadar sebagai konstruksi dalam
membangun kehidupan materi, melainkan juga jiwa. Dunia pendidikan selama ini
sibuk mengurusi persoalan materi. Peserta didik seperti proyek yang secara
besar-besaran digarap menjadi pekerja dan pengabdi kepada materi. Lihat saja,
betapa kehadiran dunia pendidikan terus mengultuskan angka-angka nilai dan
kesuksesan materi. Keterdidikan semata hanya diukur dari pencapaian nilai
angka.
Kesuksesan
hanya diukur dari pekerjaan dan uang yang dihasilkan. Pendidikan seperti hilang
dari khitahnya sebagai dasar dari kehidupan sejati sehingga tidak mengherankan
bila banyak orang yang pandai dan cerdas, tetapi tidak mampu membangun
kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.
Pendidikan
kini telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan sekolah ataupun kampus.
Lembaga pendidikan bukan lagi tempat pencerahan hidup, melainkan berubah
menjadi tempat produksi robot-robot yang siap bekerja dengan paket pembelajaran
yang ada di dalamnya. Mestinya, seperti dasarnya, pendidikan menjadi upaya
pengembangan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik,
potensi cipta, rasa, maupun karsa, sehingga potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam tindakan riil. Pemaknaan berfungsi riil tidak saja seperti yang
selama ini salah dipahami banyak orang bahwa belajar di sekolah menjadi tempat
menyiapkan diri mencari pekerjaan sehingga mendapatkan pekerjaan diselaraskan
dengan fungsi riil dari keterdidikan.
Keterdidikan
ialah bahasa universal dari kehadiran pendidikan. Menjadi orang terdidik yang
mendapatkan pekerjaan hanya sebagian kecil makna dari kehadiran pendidikan.
Lebih jauh dari itu, pendidikan seperti lumrah dibahasakan banyak orang
merupakan upaya memanusiakan manusia.
Dasar
pendidikan ialah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan
menyiapkan pribadi dalam keseimbangan dan kesatuan organis, harmonis, dan
dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Karena itu, pengingkaran
terhadap nilai moralitas yang dilakukan orang yang pintar-untuk tidak
mengatakannya terdidik-merupakan penistaan terhadap khitah pendidikan. Mestinya
tidak ada lagi perbuatan koruptif, diskriminatif, dan berbagai tindakan
destruktif bila penghayatan tentang keterdidikan tidak hanya dimaknai sebagai
pencapaian pekerjaan dan materi.
Tarbiyah al-Iradah
Dalam
hidup, sejatinya ada satu hal yang harus dikendalikan, yaitu keinginan (al-iradah)
karena yang mendasari semua tindakan manu sia adalah keinginan. Pendidikan
sebagai dasar dari cita-cita universal kemanusiaan sebenarnya jika dimaknai
secara konkret merupakan jalan yang hendak melahirkan ketercerahan manusia
dalam menjalankan keinginan atau kehendak. Pendidikan formal selama ini dinilai
kurang sukses dalam menjalankan pendidikan keinginan (tarbiyah al-iradah),
yang ditandai dengan banyak orang bergelar sarjana, master, doktor, hingga
profesor, tetapi tindakan mereka tidak bisa menghadirkan keadaban hidup.
Mereka
malah terlibat korupsi, diskriminasi, pemerkosaan, dan lain sebagainya, yang
itu menggambarkan kekerdilan diri sebagai manusia yang tidak bisa mengendalikan
keinginannya.
Puasa
yang kini dijalankan umat Islam seluruh dunia dapat menjadi refleksi bersama
dalam menyikapi persoalan ini. Dalam pandangan Rasyid Ridha, puasa memiliki
korelasi yang sangat nyata dengan pendidikan keinginan.
Sebagai
fitrah manusia, keinginan ternyata tidak selalu konstruktif, tetapi juga
destruktif. Karena itu, keinginan harus bisa dikendalikan. Puasa menjadi sarana
pendidikan agar manusia selalu mengarahkan keinginannya pada jalan kebenaran
dan menahan diri dari keinginan yang destruktif. Puasa menjadi jalan spiritual
yang mendidik sifat rubbubiyyah (ketuhanan) kepada manusia agar dapat
meniru sifat-sifat baik Tuhan seperti digambarkan dalam namanamanya yang agung,
misalnya berbuat kasih, sayang, adil, sabar, pemaaf, dan perbuatan konstruktif
lainnya.
Manusia
melalui puasa diajak melampaui banalitas kehidupan yang cenderung destruktif
menjadi konstruktif. Puasa menjadi laku spiritual pengendalian diri (self control)
terhadap setiap keinginan dan pilihan hidup manusia.
Ahli
tafsir Indonesia, Quraish Shihab, secara gamblang memberikan penjelasan tentang
hakikat hidup manusia. Potensi kehendak (keinginan) positif dan negatif yang
diberikan Tuhan kepada manusia sebenarnya merupakan seruan keseimbangan hidup.
Potensi tersebut dengan sendirinya menjadi pendidikan bagi manusia agar bisa
mengendalikan keinginannya sehingga dalam konteks ini, puasa sangat relevan
sebagai penyeimbang agar manusia tidak berbuat destruktif. Puasa mengarahkan
manusia menjadi pribadi yang seimbang, seperti cita-cita pendidikan guna
menyiapkan pribadi manusia dalam keseimbangan dan kesatuan organis, harmonis,
dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Kerangka
pedagogis
Pendidikan
formal secara nyata belum bisa secara maksimal melakukan
hal
ini. Selama ini pembelajaran di kelas lebih banyak fokus pada legal-formal
pengetahuan dan mengambaikan makna universal dan substantif dari materi yang
disampaikan. Puasa hanya bagian dari realitas hidup yang memiliki makna
universal dari keterdidikan. Realitas lain masih sangat banyak yang bisa kita
maknai sebagai proses belajar guna menjadi orang terdidik yang sesungguhnya.
Orang terdidik ialah mereka yang kehadirannya bisa menenteramkan,
menyejahterakan, dan meningkatkan kualitas hidup lingkungannya karena orang
terdidik hidupnya sudah lepas dari nafsu destruktif, seperti keinginan menumpuk
materi yang banyak dengan mengabaikan moralitas. Mereka hidup dalam
keseimbangan harmonis guna mencapai kehidupan bersama yang terus baik, lebih
baik, dan sangat baik.
Pendidikan
iradah model ini sebenarnya dapat menjadi acuan pembelajaran di kelas
sekaligus meneguhkan pemahaman kepada peserta didik tentang potensi setiap
pribadi untuk bertindak konstruktif atau sebaliknya destruktif. Para pendidik
bisa memberikan pemaknaan subtantif tentang puasa sebagai model pendidikan
universal tentang kehendak dalam diri manusia. Puasa sebagai ibadah menahan
diri dari segala bentuk keinginan manusiawi, seperti makan dan seks, lebih jauh
harus diteguhkan menjadi pendidikan universal pengendali diri agar setiap orang
yang berpuasa dapat mengendalikan keinginan-keinginan manusiawi, yang sebagian
kadang tak membuat orang lain merasa nyaman.
Peserta
didik akan dapat memahami dan menangkap secara utuh makna kehadiran puasa jika
yang dijelaskan para pendidik tak hanya sekadar landasan fikih yang kering
makna. Kurangnya penghayatan makna terhadap puasa sebagai proses internalisasi
nilai-nilai konstruktif untuk menjadi pribadi ideal sebenarnya tak lepas dari
model pembelajaran yang selama ini banyak fokus pada legal-formal pengetahuan,
sedangkan substansi dari penghayatan puasa, misalnya, tak banyak
diuraikan.
Sesuatu
yang justru menjadi muara pengharapan Tuhan supaya manusia menjadi orang-orang
yang bertakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar