Senin
(13/6/2016) Presiden Jokowi mengumumkan ke publik bahwa Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
sesuai dengan kewenangannya, telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (Perda)
yang bermasalah. Pembatalan Perda terbanyak sejak diberlakukannya otonomi
daerah ini menuai polemik di masyarakat. Dari berbagai polemik itu yang cukup
menarik adalah adanya sebagian kalangan yang mempertanyakan kewenangan Mendagri
untuk membatalkan Perda.
Sebenarnya
bukan hanya Mendagri yang memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda, akan
tetapi Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah juga diberi kewenangan
yang sama. Pembagiannya adalah Mendagri berwenang membatalkan Perda Provinsi,
sedangkan Gubernur berwenang membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga kalau
pernyataan Presiden di atas redaksinya memang apa adanya seperti itu, maka
perlu dikroscek apakah alasan Mendagri mengambil alih seluruh pembatalan Perda
yang berjumlah 3.143 itu sudah tepat secara konstitusional dan sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ("UU Pemda").
Terlepas
dari itu, kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam pembatalan Perda ini sangat
menarik untuk ditelaah dari perspektif ketatanegaraan. Secara yuridis, Mendagri
dan Gubernur sebagai bagian dan wakil dari Pemerintah Pusat memang punya dasar
justifikasi untuk melakukan kontrol terhadap produk hukum daerah.
Dalam
Pasal 7 ayat (1) UU Pemda misalnya dinyatakan bahwa Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh
Daerah. Fungsi kontrol Pemerintah Pusat tersebut dapat dipahami sebagai
implikasi dari desain konstitusional otonomi daerah yang dibangun dalam bingkai
prinsip Negara Kesatuan (unitary state/eenheidsstaat). Bingkai itu yang
kemudian "memagari" pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, sehingga
walaupun Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 memberikan otonomi seluas-luasnya kepada
Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tetap berada
di tangan Pemerintah Pusat. Namun yang menjadi pertanyaan besar, apakah fungsi
kontrol Pemerintah Pusat terhadap produk hukum daerah tersebut sudah tepat
dimanifestasikan dalam bentuk kewenangan membatalkan Perda?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu
"makhluk" apa sebenarnya Perda ini dalam perspektif sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Merujuk kepada ketentuan Pasal 1 angka 7 dan 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan ("UU PPP"), Perda merupakan peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Kualifikasi Perda sebagai peraturan
perundang-undangan dipertegas kembali dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f dan g UU
PPP yang menyatakan Perda termasuk salah satu jenis peraturan
perundang-undangan yang secara hirarki posisinya berda di bawah undang-undang
(UU).
Dengan
kualifikasi yang demikian itu, seharusnya mekanisme pembatalan Perda tunduk
pada ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 9 ayat (2) UU PPP yang pada
pokoknya mengatur mekanisme pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah UU
dilakukan melalui judicial review oleh Mahkamah Agung. Apabila mengacu
pada ketentuan tersebut, maka jawaban atas pertanyaan di atas sangat jelas,
yaitu tidak tepat fungsi kontrol Pemerintah Pusat terhadap produk hukum daerah
dimanifestasikan dalam bentuk kewenangan membatalkan Perda, sebab kewenangan
itu seharusnya menjadi milik Mahkamah Agung. Akan tetapi, faktanya Pasal 251 UU
Pemda telah memberikan kewenangan pembatalan Perda kepada Mendagri dan Gubernur
(executive review), di sinilah terjadi anomali sistem ketatanegaraan.
Executive Review atau Judicial Review
Istilah
"review" itu sebenarnya
berkaitan dengan mekanisme kontrol norma hukum (legal norm control mechanism).
Dalam praktik ketatanegaraan di dunia, setidaknya terdapat tiga jenis mekanisme
kontrol norma hukum yang diejawantahkan melalui hak menguji (toetsingsrecht),
yaitu: pertama, legislative review/political review merupakan pengujian
terhadap norma hukum yang dilakukan oleh badan-badan politik. Norma hukum
dimaksud biasanya hanya terbatas pada UU yang memang menjadi kewenangan
legislatif untuk membentuknya. Mauro Cappelleti (1979: 19-20) mengemukakan,
pengujian secara politik lebih bersifat preventif, yaitu pengujian dilakukan
sebelum suatu UU diundangkan (promulgation).
Kedua, executive review/administrative review
yaitu pengujian terhadap norma hukum yang dilakukan oleh lembaga administrasi
yang menjalankan fungsi "bestuur"
di bidang eksekutif (Jimly Asshiddiqie, 2006: 6-7). Norma hukum dimaksud
biasanya tidak hanya yang bersifat general
and abstract norm tetapi juga meliputi individual
and concrete norm. Ketiga, judicial
review yaitu pengujian terhadap norma hukum yang dilakukan oleh lembaga
yudisial. Menurut Maurice Duverger judicial
review dilakukan untuk menjamin agar UU atau peraturan perundang-undangan
tidak menyimpang dari Undang-Undang Dasar atau konstitusi (Soehino, 2000: 271).
Penerapan
dari ketiga jenis mekanisme kontrol norma hukum tersebut berbeda-beda di setiap
negara, tergantung bagaimana konstitusi negara bersangkutan mengaturnya. Di
Indonesia, khusus untuk norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan
mekanisme kontrolnya hanya mengadopsi judicial
review.
Untuk
pengujian UU terhadap Undang-Undang Dasar dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, sementara untuk pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah
Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian,
UUD 1945 telah menegaskan hanya ada mekanisme tunggal untuk menguji suatu
peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan yaitu melalui proses judicial
review, bukan executive review.
Reformulasi
Pengawasan Perda
Walaupun
UUD 1945 telah menggariskan mekanisme pengujian Perda dilakukan melalui judicial review oleh Mahkamah Agung, hal
itu tidak serta merta menegasikan fungsi kontrol Pemerintah Pusat terhadap Perda.
Pemerintah Pusat sebagai pembina dan pengawas daerah tetap memiliki andil dalam
pengawasan Perda, namun harus diformulasikan secara proporsional.
UU Pemda
sebenarnya mengadopsi dua jenis pengawasan terhadap Perda, yaitu pengawasan
preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif diwujudkan dengan
adanya evaluasi terhadap Rancangan Perda sebelum disahkan (pra-pengesahan).
Sementara pengawasan represif diwujudkan dengan adanya mekanisme pembatalan Perda.
Namun, kedua pengawasan tersebut berdasarkan UU Pemda yang saat ini berlaku
dilakukan oleh Mendagri dan Gubernur. Inilah yang perlu diformulasi ulang,
khususnya mengenai kewenangan Mendagri dan Gubernur yang terkait dengan
pengawasan represif, karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya hal itu tidak
hanya menimbulkan anomali dalam sistem ketatanegaraan, tetapi juga bertentangan
dengan UUD 1945.
Dalam
rangka perbaikan sistem pengawasan Perda ke depan, kewenangan Mendagri dan
Gubernur sebaiknya dibatasi hanya untuk pengawasan preventif saja, yaitu dengan
melakukan evaluasi terhadap Rancangan Perda sebelum disahkan (executive
pre-view). Sementara untuk pengawasan represif, ketika suatu Perda telah
berlaku dan mengikat umum, maka sebaiknya diserahkan kepada lembaga peradilan
dalam hal ini Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review. Formula
yang demikian selain berkesesuaian dengan amanat konstitusi juga memberikan
fungsi kontrol Pemerintah Pusat terhadap produk hukum daerah secara
proporsional.
Untuk
mewujudkan formula yang demikian, bisa ditempuh dengan dua langkah yaitu dengan
mengajukan uji materi terhadap ketentuan Pasal 251 UU Pemda kepada Mahkamah
Konstitusi atau dengan melakukan revisi terhadap UU Pemda melalui proses
legislasi oleh Pemerintah dan DPR. Langkah ini penting dilakukan mengingat Perda
adalah instrumen utama pelaksanaan otonomi daerah. Apabila mekanisme
pembatalannya tanpa melalui suatu proses pengujian di pengadilan, maka
kesewenang-wenangan Pemerintah Pusat terhadap daerah sangat potensial terjadi
yang pada gilirannya dapat mengancam eksistensi otonomi daerah itu sendiri. Wallahua'lam.
oleh M.
Imam Nasef
disadur dari detik.com, Kamis, 23 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar