Sebagian
rakyat Inggris yang mendukung Inggris keluar dari Masyarakat Eropa (EU) mungkin
adalah kelompok masyarakat di dunia yang paling tidak populer saat ini. Sederetan ahli ekonomi, politik, dan
sosial di media massa lebih dominan menyerukan agar Inggris tetap berada di
dalam EU yang cikal bakalnya telah diletakkan melalui Perjanjian Paris tahun
1957. Dua negara yang saling bersaing pengaruh di dunia, yakni Amerika Serikat
(AS) dan China, pun memberikan pendapatnya bahwa Inggris akan diuntungkan dan
menguntungkan masyarakat dunia bila tetap berada di dalam EU.
Seandainya
ini menjadi ukuran, referendum yang akan terjadi besok bisa dikatakan sangat
penting bagi dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Bagaimana
dengan dampak Brexit kepada
Indonesia? Dampak negatif secara langsung bagi Indonesia mungkin tidak demikian
besar dibandingkan dengan AS dan China.
Investasi
kita di Inggris tidak sebanyak investasi kedua negara tersebut. Wajah hubungan Perdagangan
Indonesia dengan Inggris lebih didominasi ekspor produk-produk yang terkait
dengan ekspor produk sepatu/alas kaki/garmen, tekstil, industri kerajinan kayu,
kopi, permesinan, dan udang.
Sementara
di sisi impor didominasi oleh produk-produk padat modal atau barang konsumsi
seperti obat-obatan, pipa, komponen industri penerbangan, bahan dasar
alumunium, atau kosmetika.
Sebaliknya,
dalam jangka pendek, Indonesia dan negara-negara berkembang lain yang
menyandarkan ekspornya di sektor manufaktur dan agrikultur mungkin justru bisa
diuntungkan dengan keluarnya Inggris dari Eropa.
Produk-produk
agrikultur negara berkembang seperti minyak kelapa sawit, kopi, atau teh adalah
produk yang sangat kompetitif di pasar Eropa.
Petani-petani
minyak nabati (kedelai, bunga matahari, dll) di Eropa selama ini menikmati
proteksi yang dilakukan oleh EU terhadap impor minyak nabati kelapa sawit
Indonesia.
Apabila
peraturan di Inggris lebih longgar maka produk-produk tersebut niscaya bisa
lebih terserap di pasar Eropa.
Namun
demikian, saya juga masih pesimistis kemungkinan itu bisa berjalan karena
produk-produk yang sudah terintegrasi dalam global supply chain maka
tata kelolanya tidak lagi diarahkan oleh sebuah kedaulatan hukum tunggal negara
tertentu, tetapi juga melibatkan nonstate actors seperti konsumen,
serikat buruh, asosiasi perdagangan, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Artinya
walaupun Inggris, misalnya, mendukung produk-produk agrikultur dan manufaktur
Indonesia, tidak lantas segalanya menjadi selesai karena secara diplomasi
Indonesia perlu tetap berhubungan dengan non-state
actors yang jumlahnya tidak sedikit dengan kepentingan dan tujuan
berbeda-beda.
Bentuk
tantangan yang harus dihadapi misalnya berupa hambatan non tarif berupa
sertifikasi dan bentuk lain yang mirip, yang menyebabkan biaya produksi kita
menjadi lebih besar daripada produsen di Eropa sendiri.
Dampak
negatif seandainya Inggris keluar dari EU terhadap Indonesia mungkin berjalan
secara tidak langsung, khususnya melalui China. Inggris bagi China dapat
disebut sebagai Hong Kong nya China di Eropa.
Perdagangan
mata uang yuan terbesar kedua di dunia adalah Inggris setelah Hong Kong bahkan
Bank Sentral China, juga telah memiliki rencana untuk membuka cabangnya di
London.
Apalagi
sejak IMF menetapkan yuan sebagai special
drawing rights atau mata uang yang bisa dijadikan sebagai mata uang
transaksi Perdagangan dunia, China dapat memberikan utang ke negara-negara lain
tidak lagi dalam dolar tetapi dalam yuan.
Bagi
Inggris, membuat London sebagai offshore
pertama dari yuan juga memberikan keuntungan sendiri dalam bentuk pajak dan
pendapatan transaksi.
Hasil
ini tidak lepas dari usaha keras Chancellor George Osborne untuk meyakinkan
China untuk tidak memilih Frankfurt atau Brussels.
Hal ini
mendorong secara teoretis negara-negara lain untuk menyimpan cadangan devisanya
dalam bentuk yuan, seiring dengan semakin mendominasinya monopoli China dalam Perdagangan
dunia.
Apabila
hasil referendum besok lebih banyak rakyat yang memilih Inggris tetap dalam
pangkuan EU, secara teoretis skenario di atas juga akan menguntungkan Perdagangan
Indonesia karena ada alternatif digunakannya mata uang yuan.
Menguntungkan
karena selama ini transaksi Perdagangan Indonesia lebih sering dilakukan dengan
dolar, padahal kebutuhan akan dolar kerap membuat neraca Perdagangan kita
defisit.
Tentu
dalam praktiknya, para ekonom kita yang harus menghitung berapa besar transaksi
harus melalui dolar dan berapa besar melalui yuan.
Investasi
China di Inggris, walaupun tidak sebesar EU (6%) dan tidak sebesar ke Asia
(68%), juga sudah sangat signifikan nilainya. Dengan begitu, hal itu tentu akan
membuat pusing para pejabat Partai Komunis China apabila mayoritas rakyat
Inggris memutuskan keluar dari EU.
Hal ini
yang menyebabkan keterikatan China dengan Inggris sedemikian kuat sehingga apa
yang terjadi di Inggris, juga akan berdampak pada China.
Inggris
juga menikmati hubungan dengan China yang diformalkan dalam bentuk ”Strategic Comprehensive Partnership”.
Inggris pun menggabungkan diri dalam Bank Infrastruktur Asia yang dikomandani
oleh China.
Namun
demikian, bagi China, kerugian yang paling besar apabila Inggris keluar dari EU
adalah berkurangnya pengaruh China atas Eropa dari sisi ekonomi dan politik.
Khususnya
karena Inggris selama ini dibangun sebagai ”pintu masuk” ke pasar EU yang lebih
luas. Inggris telah membantu melobi Eropa agar China mendapatkan market economy status (MES).
Kolom
ini mungkin tidak cukup untuk menjelaskan hubungan antara MES dan WTO namun
penetapan status ini penting bagi China yang telah banyak menerima tuduhan
dumping dari negara-negara lain atas produk-produk ekspor mereka.
Selain
itu, hubungan dengan Inggris juga bermanfaat untuk mengimbangi Perdagangan
bebas AS di kawasan Eropa. Indonesia mungkin cukup lega tidak terlalu terkena
dampak yang besar dari apapun keputusan rakyat Inggris besok.
Namun
demikian, kita juga dapat mempelajari posisi China yakni bahwa suka atau tidak
suka sebuah kebijakan politik luar negeri akan mengandung risiko dan
konsekuensinya sendiri.
China
mengambil risiko untuk menjadikan London, dan bukannya Frankfurt atau negara
lain di Eropa, untuk menginternasionalisasikan yuan karena mereka harus
mewujudkan strategi ”One Belt, One Road
” yang menghubungkan Asia Tengah, Asia Barat, Timur Tengah, dan Eropa.
Menengok
ke belakang, Indonesia dan China pernah sama-sama menjadi negara berkembang 10
atau 20 tahun lalu. Pada saat itu, ciri utama dari Perdagangan negara
berkembang selain pendapatan minyak-gas adalah mengandalkan produk ekspor dari
sektor manufaktur karena limpahan tenaga kerja.
Namun,
China cepat beranjak untuk meninggalkan sektor manufaktur. Sektor manufaktur
sangat ringkih karena lebih kental gejolak sosial politik daripada ekonominya.
Oleh
sebab itu, China mulai mengalihkan diri dan meningkatkan kelas bermainnya di
sektor yang padat modal dan teknologi dalam berkompetisi dengan negara lain.
Sektor
ini lebih stabil dan menghasilkan nilai tambah yang berlipat daripada sektor
manufaktur. Pilihan ini membuat China tidak bisa lepas dari pasar Eropa dan AS
yang memang menjadi surga bagi pasar yang padat modal dan teknologi.
Mereka
harus masuk dan menggunakan sistem yang berlaku di sana. Konsekuensinya, mereka
menjadi lebih terintegrasi dan mudah terimbas dengan gejolak politik dan
ekonomi di Eropa.
Inilah
pilihan China. Ini pertanda bahwa Indonesia perlu bergegas memilih kelas
bermainnya di pasar global.
oleh Dinna Wisnu
disadur dari Koran
Sindo, Rabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar