Mari
berandai-andai. Jika Anda akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti,
strategi apa yang akan Anda ambil untuk mengalahkan petahana? Kira-kira, apa
yang membuat warga Jakarta enggan untuk memilih Ahok?
Mari
kita tengok sebentar survei terbaru yang dirilis Manilka Research and
Consulting, Minggu (19/6/2016). Survei
yang dilakukan Juni 2016 itu mendapatkan, elektabilitas Ahok berada di urutan
teratas, 49,3 persen, mengungguli 17 nama lainnya.
Di
bawah Ahok ada Ridwan Kamil di posisi kedua dengan elektabilitas 9,3 persen.
Selanjutnya ada Yusril Ihza Mahendra 6,8 persen, Yusuf Mansur 6,5 persen, dan
Tri Rismaharini 6 persen.
Dengan
elektabilitas yang kukuh, apa yang bisa dipertarungkan di panggung pilkada?
Anda mau beradu program? Mari simak survei kepuasan masyarakat Jakarta atas
kinerja Ahok.
Dalam
survei yang dilakukan Manilka didapati, tingginya elektabilitas Ahok karena
publik mengaku puas dengan kinerja Pemprov DKI Jakarta.
Tingkat
kepuasannya mencapai 67,5 persen. Tiga sektor kepuasan publik adalah di bidang
pendidikan, kesehatan, dan penanganan banjir.
Angka
kepuasan itu lebih rendah dibanding hasil survei Charta Politika yang dilakukan
sekitar medio Maret 2016. Charta Politika mendapatkan, angka kepuasan publik
mencapai 82,8 persen. Rinciannya,
sebanyak 21,8 persen menyatakan sangat puas dan 61 persen mengaku cukup puas.
Dari
dua survei itu tentu tidak bisa serta merta ditarik kesimpulan bahwa tingkat
kepuasan publik menurun. Dua survei yang dilakukan dua lembaga berbeda mestiya
memiliki sejumlah catatan berbeda. Lain halnya jika survei dilakukan oleh
lembaga yang sama dengan maksud mencari hasil longitudinalnya dalam periode
tertentu.
Kembali
pada pertanyaan semula, apa yang harus dilakukan berhadapan dengan petahana
yang elektabilitasnya begitu kukuh?
Hanya
ada satu cara: menggerus kredibilitasnya. Pilkada masih tahun depan. Masih ada
waktu yang sangat cukup untuk mengikis kredibilitas Ahok.
Setidaknya
ada tiga isu yang selama ini kerap dimainkan dalam pertarungan pilkada untuk
menggerus kredibilitas lawan. Ketiga hal itu menyangkut program kerja,
kelemahan personal, dan hal-hal menyangkut masalah hukum.
Program
kerja
Pertama,
persoalkanlah kinerja petahana dan kampanyekanlah harapan. Mengkritik kinerja
petahana biasanya adalah amunisi paling mudah untuk meraih dukungan publik.
Setelah itu, kandidat baru akan menjual harapan bahwa mereka akan melakukan
kinerja yang lebih baik.
Jokowi
dan Basuki berhasil menggunakan strategi ini pada Pilkada DKI Jakarta 2012.
Dengan mengusung semboyan “Jakarta Baru”, keduanya menjual harapan akan Jakarta
yang lebih baik.
Pasangan
ini menohok kinerja Fauzi Bowo soal macet, banjir, dan birokrasi pemerintahan
yang bertele-tele. Strategi ini mengena dengan baik. Ada rasa frustrasi pada sebagian warga Jakarta akan semrawutnya
kehidupan di kota ini. Sosok Jokowi yang dipandang sukses saat memimpin Solo
menjadi ruang harapan baru akan Jakarta yang lebih baik.
Di era
Basuki saat ini, kinerja apa yang bisa dipersoalkan dan mengubah pilihan voters?
Macet?
Makin ke sini kita mahfum mengatasi macet bukan persoalan sehari dua hari. Problem utama adalah buruknya sistem
transportasi yang membuat masyarakat Jakarta lebih senang menggunakan kendaraan
pribadi ketimbang kendaraan umum.
Di
eranya, Ahok menambah ratusan bus Transjakarta. Rute-rute baru juga ditambah.
Ahok mengatakan, rute Transjakarta harus ada di setiap rute transportasi umum
yang ada saat ini.
Untuk
mengatasi macet, Pemprov DKI Jakarta juga tengah mempersiapkan sistem jalan
berbayar atau electronic road pricing (ERP). Mass Rapit
Transportation (MRT) dan Light Rapit Transportation juga tengah
dibangun.
Banjir?
Normalisasi sungai berjalan. Yang paling dramatis, dengan segala protes atas
kebijakannya, Ahok berhasil melakukan penataan atas Kampung Pulo di Kampung
Melayu, Jakarta Timur, yang bertahun-tahun menjadi langganan banjir. Tak ada
lagi cerita tentang banjir di tempat itu.
Seiring
dengan itu, pasukan oranye bentukan Pemprov DKI Jakarta juga menunjukkan
kinerja yang menuai apresiasi. Sungai-sungai dibersihkan. Mereka sigap
menanggapi laporan warga.
Penggusuran?
Ahok menerapkan model baru melanjutkan apa yang dilakukan Jokowi yaitu
merelokasi warga ke rumah susun. Kawasan yang digusur kemudian terlihat ditata
menjadi lebih baik.
Di
tempat baru, sejumlah fasilitas diberikan cuma-cuma. Kebijakan ini, suka tidak
suka, meski ada yang mengkritik keras, jauh lebih baik ketimbang era Sutiyoso
yang menggusur tanpa memberi solusi tempat baru bagi warga tergusur.
Soal
program, sejauh ini pun belum ada pertarungan wacana mengenai rencana membangun
Jakarta yang lebih baik. Perjalanan masih panjang. Para calon masih disibukkan
mencari kendaraan politik untuk maju dalam pilkada.
Personal
Kedua,
menohok sisi personal lawan yang dianggap sebagai kelemahan atau kekurangan.
Ini juga jurus klasik yang selalu diterapkan dalam setiap pilkada.
Strategi
jenis ini harus pintar-pintar dimainkan. Bisa berhasil, bisa juga malah gagal
total. Takaran kampanyenya harus pas, jangan sampai berlebihan agar
menghasilkan efek yang maksimal. Isu yang biasanya dimainkan adalah soal rekam
jejak, kelemahan personal, tak jarang melebar ke isu SARA.
Pengalaman
di Jakarta, isu SARA tak laku jadi bahan dagangan. Di Pilkada DKI Jakarta 2012,
Rhoma Irama di-bully habis-habisan di media sosial ketika menyerukan
memilih pemimpin seagama.
Masih
di tahun yang sama, Nahcrowi Ramli juga menuai kritik keras saat melontarkan
kalimat “haiyaaa Ahook” dalam debat calon wakil gubernur yang disiarkan
sejumlah stasiun televisi. Simpati publik atas pasangan Foke-Nachrowi merosot
setelah insiden itu.
Soal
sasaran personal, Ahok memiliki sejumlah catatan yang kerap dijadikan
“gorengan” untuk menyerang dirinya. Mempersoalkan identitas Ahok sebagai
non-Muslim dan Tionghoa jelas tidak laku di Jakarta.
Yang
masih kerap dimainkan untuk menurunkan kredibilitasnya adalah karakternya yang
meledak-meledak, temperamental, kata-katanya yang dinilai tidak santun.
Bisa
jadi sebagian warga Jakarta gerah dengan karakter ini. Tapi, banyak juga yang
tidak mempersoalkannya. Terbukti, elektabilitas Ahok tinggi.
Bagi
sebagian orang, “kegalakan” Ahok adalah bagian dari perjuangannya membereskan
aneka persoalan di Jakarta. “Kegalakan” atau malah “ketidaksantunan” bisa jadi
juga dianggap mereprensentasikan kekesalan mereka atas praktik politik dan
birokrasi yang ruwet di Jakarta selama ini.
Setidaknya,
sejauh ini kita melihat “keburukan” personal Ahok dalam rupa SARA dan karakter
personalnya tidak mempan menjadi peluru jitu menghancurkan kredibilitasnya.
Penyimpangan
hukum
Masih
adakah peluru lain yang bisa dimainkan? Ada. Yang ketiga adalah mencari celah
persoalan hukum.
Ahok
selama ini mem-branding dirinya
sebagai politisi jujur dan bersih. Jauh dari korupsi. Ia transparan mengungkap
asal muasal hartanya. Rasanya, ia satu-satunya politisi di Indonesia yang
berani dan siap melakukan pembuktian terbalik soal asal-usul kekayaannya.
Ia juga
memposisikan diri sebagai politisi yang melawan dengan keras politik
transaksional yang acap terjadi dalam tubuh partai politik. Ia tak gentar
keluar dari Gerindra dan bebas merdeka sebagai politisi independen.
Ingat,
Ahok adalah peraih penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award 2013
untuk kategori pimpinan daerah. Ia dinilai sebagai figur yang bersih dan
transparan sejak menjadi anggota DPRD Belitung, Bupati Belitung, anggota DPR
RI, dan saat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Ketika
publik muak dengan sepak terjang partai politik dan praktik korupsi para politisi,
Ahok menghadirkan diri sebagai sosok politisi harapan publik. Tak heran jika 1
juta KTP dukungan untuk maju melalui jalur independen berhasil diraihnya.
Branding sebagai politisi bersih adalah
kekuataannya yang paling paripurna. Persis di titik itulah ia diuji kini. Kasus
reklamasi, pembelian lahan RS Sumber Waras, dan tuduhan aliran dana pengembang
ke "Teman Ahok" adalah ujian itu.
Ahok lovers pasti geram. Sementara, haters bersukacita. Kampanye negatif
adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Jika dimaknai secara benar, kampanye
negatif justru menyehatkan. Ia mempersoalkan apa yang selayaknya perlu
dibenahi.
Yang
harus diwaspadai adalah kampanye hitam. Jika kampanye negatif mengangkat
persoalan-persoalan nyata, kampanye hitam berisi fitnah dan tidak bisa
dibuktikan kebenarannya. Keduanya punya tujuan sama: menggerus kredibilitas
lawan.
Apakah
sejumlah tudingan yang kini terarah pada Ahok merupakan kampanye hitam atau
negatif? Ahok dan tim dituntut menari
dengan cantik dalam gendang yang sedang ditabuh lawan.
Yang
harus diwaspadai Ahok tentu bukan dirinya, tapi juga kawan-kawan di timnya yang
selama ini mendukungnya. Bisa jadi celah yang terbuka ada di sana.
Di
tengah pertarungan politik, kadang yang memprihatinkan justru bukan para
politisinya, tapi lovers dan haters-nya yang acapkali kehilangan
rasionalitas mereka.
Pemimpin
yang berdiri di atas singgasana puja-puji akan kehilangan kontrol yang sehat
dari publik sebagai pemilik demokrasi.
Sebaliknya,
lawan politik yang semata-mata hanya ingin menjatuhkan dengan menghalalkan
segala cara adalah racun yang mematikan bagi akal sehat kita.
Sementara,
mereka yang berada di luar pertikaian, kerap membenci politik karena kebenaran
obyektif tidak pernah menjadi tujuan para politisi. Para politisi hanya sibuk
mencari kebenaran versi mereka demi kemenangan mereka semata.
Di luar
para politisi yang tengah bertarung, masyarakat Jakarta punya hati nurani untuk
melihat kebenaran sedang berdiri di mana.
oleh Heru Margianto
disadur dari Kompas,
Rabu, 22 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar