Editors Picks

Jumat, 29 Juli 2016

Brexit, Waktu dan Manusia



Ada seekor kucing duduk tenang persis di depan pintu 10 Downing Sreet, rumah jabatan Perdana Menteri Inggris. Waktu London menunjukkan pukul 06.57 pagi, Kamis, 23 Juni 2016. Karena saya melihatnya melalui siaran CNN di New York, dari segi waktu saya masih tertinggal di belakang: pukul 01.59 dini hari.

Kucing tersebut hanya sesaat berada di situ. Tanpa ada yang mengusik, ia berlalu begitu saja. Dalam konteks ingatan, pemandangan ini membawa saya kepada salah satu adegan sinetron Si Doel Anak Betawi yang ditayangkan pertengahan 1990-an. Ketika Benyamin, ayah Si Doel, menerima sepucuk surat yang menyebutkan bahwa Doel diterima kerja di sebuah tambang minyak di sebuah pulau yang jauh dari Tanah Betawi, ia marah besar. Surat dan amplopnya diremas-remas dan di lempar ke depan pintu. Seekor kucing, yang menyangka itu makanan, berusaha mengunyahnya.

'Kucing 10 Downing Street' di atas tentu tak berasal dari Betawi. Dia tanpa sengaja ketika kamerawan CNN menyorot pintu rumah kediaman resmi PM Inggris itu. Sudah pasti, kehadiran sang kucing tidak relevan dalam drama keluarnya Inggris (Brexit) dari komunitas Uni Eropa (UE) yang sedang dipertontonkan CNN itu.

Saya tidak mencatat berapa persen kejatuhan nilai poundsterling, mata uang Inggris, ketika kucing tersebut beranjak pergi pukul 06.57 pagi waktu London atau pukul 01.59 dini hari waktu New York. Yang tercatat, pukul 00.21 waktu New York Jumat itu, poundsterling telah jatuh 13,22 persen terhadap dollar AS.

Ini adalah akibat rakyat Inggris, dalam referendum bersejarah, memilih negara itu keluar dari keanggotaannya dalam UE. Sampai dengan pukul 23.08, seperti yang saya lihat di layar CNN, mereka yang memilih Leave (keluar dari UE) telah mencapai 51,20 persen di dalam referendum itu. Karena-seperti akan disinggung di bawah-ekspektasi "rasional" dalam konteks ekonomi adalahRemain (tetap menjadi anggota UE), nilai poundsterling segera terjungkal ketika batas garis "rasional" itu ditabrak.

Drama manusia
Ketika arah atau pilihan Leave semakin jelas, pemimpin United Kingdom Independence Party (UKIP) Nigel Farage melalui wawancara CNN, pukul 23.40 waktu New York, memperkenalkan frasa baru atas drama ini: beyond dare to dream. Pada mulanya, saya hanya mencatat saja kemunculan frasa ini. Esok harinya, Financial Times (yang terbit pada 23 Juni, yaitu hari referendum berlangsung) yang saya baca dalam penerbangan New York-Amsterdam, frasa beyond dare to dream ini lebih bisa saya pahami. Harian ini memuat hasil polling tentang adanya teori persekongkolan (conspiracy theory).

Di situ disebutkan bahwa 46 persen Brexiters (kalangan yang menginginkan Inggris keluar dari UE) percaya bahwa perhitungan suara referendum itu akan dicurangi. Bahkan, hasil wawancara eksperimental Prof Karen Douglas dari Kent University atas 400 sampel menghasilkan data menarik: sebagian besar percaya bahwa bukan saja akan adanya kecurangan perhitungan hasil referendum itu, melainkan juga percaya bahwa M15, lembaga intelijen Inggris yang terkenal itu, ikut terlibat memenangkan Remainders (kalangan yang mendukung Inggris tetap di dalam UE). Jadi, ketika referendum itu ternyata memenangkan "the Leave", rasa lega pendukungnya bersifat "mengejutkan". Inilah makna frasa beyond dare to dream di atas.

Dan bagi penentang Remainders, kemenangan ini dianggap mewakili rakyat. Politisi UKIP, Ray Finch, yang diwawancarai CNN pukul 01.50 waktu New York, Kamis itu, menyebut referendum itu telah menyebabkan people more involve. Yang dimaksud people di sini adalah kalangan kelas bawah kelompok kurang terpelajar (less educated groups). Mereka, di dalam kerangka UE, merasa tidak berdaya. Sebab, seluruh kebijakan dan orientasi ekonomi Inggris ditentukan kaum elite. "They want more protection," ujar komentator politik Inggris dalam percakapan CNN pukul 00.52, waktu New York, Kamis itu. Jadi, jika ingin disimpulkan apa yang ditekankan Ray Fich, gerakan "the Leave" adalah perlawanan rakyat atas dominasi elite sepanjang Inggris menjadi anggota UE. "Rakyat"? Sampai di sini saya tiba-tiba berhadapan dengan kerancuan konseptual.

Karena ingin merokok, saya keluar hotel pukul 00.00 waktu New York. Ketika asap saya kepulkan, seorang gelandangan kulit putih meminta rokok itu. Ketika saya menampik, ia menjauh beberapa langkah, lalu membungkuk. Puntung rokok yang tergeletak di tepi jalan raya diambil. Tanpa saya tahu prosesnya, puntung itu sudah menyala. Dan, dekat tong sampah, ia menghisapnya dalam-dalam. Ini mendorong saya memberikan sebatang rokok yang diterima dengan tangan kiri.

Akan tetapi, tiba-tiba saya dikejutkan dengan seorang gelandangan kulit hitam yang ikut menghampiri. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia menuntut hak yang sama, seperti sejawat kulit putihnya. Sambil menatap matanya yang kemerahan, rokok saya sodorkan. Sambil menerima "racun" itu, juga dengan tangan kiri, ia berlalu dengan begitu saja.

Saya memang berusaha menarik garis dramatis tentang apa yang dimaksudkan "rakyat" oleh politisi UKIP di atas dengan para gelandangan New York yang menghampiri saya hampir-walau berbeda benua-pada waktu yang sama itu. Perasaan subyektif dan aneh ini kian saya rasakan pukul 03.55 waktu New York, yakni ketika CNN menampilkan tulisan "PM Cameron resigns after Brexit vote", saya kembali turun ke jalan. Kali ini, saya melihat seorang gelandangan kulit hitam yang menyeret kursi roda. Celana jinsnya robek, hingga ia lebih tampak mengenakan rok. Setelah berdiam tanpa suara selama 10 menit, ia menyeberangi jalan kota New York yang kian sepi itu. Dari seberang jalan, saya melihat ia membuka-buka tong-tong sampah di depan sebuah restoran Thailand.

Jadi, beberapa menit setelah Cameron memutuskan mundur dari jabatannya di London, seorang jelata di New York menyeberang jalan untuk mengais-ngais sampah, mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkannya.

Kelas lokal versus kelas global
Walau pernah dikecam The Economist, karena tidak memihak mekanisme ekonomi pasar dalam kebijakan kelistrikannya beberapa tahun lalu, PM Cameron adalah lambang "Kelas Global" dalam drama Brexit ini. Para pemimpin UE masygul dan "marah" dengan hasil referendum ini.

Seperti dicatat Financial Time (FT) Weekend sehari setelah itu, Jumat dan Sabtu, 24-25 Juni, mereka menyatakan tak akan ada perundingan ulang tentang keanggotaan Inggris dalam UE. Bahkan, mereka menuntut Inggris segera melakukan langkah perundingan tentang hengkangnya dan mencabut ayat 50 perjanjian UE, yaitu ketetapan batas waktu dua tahun bagi pengunduran diri sebuah negara dalam keanggotaan komunitas itu. Akan tetapi, ini penting, kemarahan itu tidak tertuju kepada Cameron. "EU officials said that their warning was not aimed at Mr Cameron but at his successor."

Di sini jelas PM Cameron, bersama dengan pendukung the Remain, adalah sekutu "Kelas Global". Dan kepentingan mereka segera bertumbangan hari itu juga ketika Brexit menjadi pilihan rakyat Inggris. FT Weekend mencatat: nilai poundsterling tenggelam ke tingkat 30 tahun sebelumnya, Indeks FTSE 100 anjlok 8,7 persen pada pembukaan walau mereda menjadi 4,3 persen. Saham perbankan juga anjlok, dengan Llyods menukik 21 persen, Royal Bank of Scotland jatuh 18 persen, dan Deutsche Bank tumbang sebesar14 persen. Dan indeks the Euro Stoxx bank jatuh 17 persen "back to levels last seen at the debt of eurozone crisis in August 2012", tulis FT Weekend.

Bersamaan dengan itu, saham-saham Amerika Serikat ikut terjungkal lebih dari 2 persen ketika aktor-aktor Wall Street "join a global flight to safety", tambah FT Weekend.

Akan tetapi, apa makna "kemenangan" "Kelas Lokal" dalam drama Brexit ini? Ketika diwawancara CNN pukul 04.21, Kamis waktu New York itu, Wali Kota London Sadiq Khan berkata: "Jika rakyat Inggris ingin memperoleh akses kepada 500 juta penduduk Eropa, mereka harus melihat Paris dan Berlin." Kita bisa menafsirkan bahwa Sadiq menginginkan rakyat Inggris lebih membuka cakrawala pandangan. Namun, tekanan Sadiq sebenarnya adalah nasib ekonomi Inggris. Ke mana mereka harus berdagang jika melupakan atau menghindar berinteraksi dengan 500 juta penduduk Eropa daratan?

Walhasil, "kemenangan" "Kelas Lokal" dalam drama Brexit ini pada esensinya adalah perlawanan atas waktu dan arus kemajuan manusia. Ketika politisi UKIP Ray Fich di atas menyatakan "people more involve", maka yang dimaksud adalah rakyat kelas bawah Inggris yang kian kalah bersaing, bukan saja dalam formasi pertarungan ekonomi lingkup UE, melainkan juga dengan kaum pendatang. Maka, bersamaan dengan semangat anti globalisme, kian terasa pula semangat anti pendatang. Brexit, tampaknya, menandai kekalahan rakyat Inggris atas waktu dan kemajuan manusia.

oleh Fachry Ali
disadur dari Kompas, Senin, 11 Juli 2016
versi Bahasa Inggris dapat dibaca di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar