UMAT
Islam sudah usai menjalani Ramadhan dan merayakan Idul Fitri, dua hal yang
secara kasat mata saling bersambung meskipun sebenarnya saling bergantung. Ramadhan
biasa diandaikan sebagai bulan untuk proses belajar, ketika Idul Fitri atau
Lebaran merupakan perayaan atas keberhasilan menjalani pembelajaran.
Meskipun
pasca-Idul Fitri sampai Ramadhan berikutnya diandaikan sebagai masa penerapan
dari hasil belajar, relatif tidak ada 'kehebohan' wacana belajar sebagaimana
saat Ramadan. Ilustrasi
tersebut tentu saja sebuah tafsir, pemaknaan atas sebuah ajaran yang diiringi
dengan pembacaan atas wacana umum di kalangan umat Islam.
Namun,
lebih jauh, alur atau dan daur yang mendasari deskripsi tersebut pada dasarnya
mewakili alur pikir bagaimana pendidikan atau belajar dimaknai dan dipraktikkan
secara umum, khususnya di Indonesia. Belajar, dalam alur ini terlihat sebagai
proses yang putus-putus, bukan berkesinambungan. Penggunaan kata tamat, lulus,
selesai, atau ijazah, merupakan contoh dari pemaknaan dan praktik berpikir
semacam ini, atau kalau ada yang tidak melanjutkan sekolah, muncul ungkapan
'berhenti' atau 'cuti'.
Yang
terlupakan; belajar adalah kata kerja aktif yang pada dasarnya tidak mengenal
batas waktu, kecuali jika ditempeli kata keterangan seperti 'tamat belajar'
atau 'selesai belajar'. Oleh karena itu, belajar bagaikan proses di sebuah
tempat khusus dalam masa tertentu. Ruang dan waktu dipenggal dan setiap
keratnya diberi nama.
Kita
kemudian mengenal istilah bagi ruang dan waktu untuk itu, yakni kelas, tempat
belajar, sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, dan seterusnya. Ironisnya,
ada ungkapan belajar tidak mengenal waktu dan tempat atau belajarlah sejak dari
ayunan sampai liang kubur.
Jawaban 'asal kena' mengenai hal ini biasanya ialah
bahwa keduanya berhubungan dengan pendidikan secara umum, yakni suatu retorika
yang berdasar pada pembedaan belajar formal dan informal atau belajar khusus
dan umum. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, bukankah itu contoh nyata lain
dari pengotak-ngotakan makna belajar?
Kita
dapat juga bertanya lebih lanjut. Jika tidak ada sekolah atau lembaga
pendidikan lain, apakah tidak terjadi proses yang disebut sebagai 'belajar'?
Bagaimana
dengan ungkapan 'alam terkembang jadi guru' atau Newton yang justru menemukan
teori gravitasinya ketika sedang berjalan-jalan dan kejatuhan buah apel?
Belajar
ialah bernarasi, kata sebagian kaum konstruktivis, learning is a narrative. Sederhananya narasi berarti cerita. Namun,
kata sifat narrative membuat kita
juga terpaksa menerima makna 'bercerita' atau 'bersifat cerita'. Bisa juga ini
menjadi 'menulis cerita', 'membangun cerita', atau 'mengarang cerita'. Meskipun
maknanya menjadi lebih sempit, ada juga istilah narrative learning, belajar menggunakan cara-cara berkisah, baik
verbal maupun tulisan.
Punya
kisah
Belajar
sebagai bernarasi tidak berbatas waktu maupun bersyarat ruang. Ungkapan populer
yang mirip ialah belajar seumur hidup. Belajar bisa terjadi di sekolah, di
rumah, di jalanan, di toilet, di mana pun, dan kapan pun. Belajar ialah proses
menenun yang dinamis, yakni pola dan motif boleh jadi berubah-ubah. Setiap
orang punya kisah belajar yang berbeda, yang melekat pada dirinya, yang tidak
bisa sepenuhnya diungkap atau dibandingkan.
Belajar
sebagai bernarasi ialah proses di sepanjang kisah hidup. Di dalamnya ada proses
menjadi, baik sebagai 'aku' ragawi maupun rohani. Belajar ialah proses
membentuk diri--tanpa batas, tanpa henti. Manusia belajar ialah 'aku' atau
subjek yang terus-menerus berproses menjadi diri sendiri (self) atau membentuk jati-diri (identity).
Dalam praktiknya, belajar sebagai bernarasi pertama-tama mengandaikan adanya
dialog kreatif, yakni 1) proses memaknai apa-apa yang diserap oleh indra; 2)
mendialogkannya dengan gagasan-gagasan atau kerangka (schemata) yang sudah ada
dalam memori; dan 3) proses menerima, menolak, menggabungkan memperbarui, atau
mencipta sesuatu yang baru. Oleh karena itu, selalu ada kemungkinan
transitivitas, yakni memaknai, menyimpulkan, mengkritik, membuat, dan proses
kepengarangan.
Kedua,
proses belajar bersifat alami atau manusiawi, sebuah pembedaan yang perlu
karena terlihat serupa dengan bagaimana sebuah komputer memproses informasi. Namun,
berbeda dari komputer yang merupakan mesin dan oleh karena itu bersifat
mekanis, belajar sebagai narasi bersifat unik, spontan, hidup, mengalir,
kreatif, tanpa akhir, dan berubah-ubah karakteristik yang manusiawi.
Pola
bernarasi
Belajar
seperti proses melukis tanpa adanya pola yang dirancang sebelumnya, bermula
dari satu titik dan berlanjut dari satu bagian ke bagian lain: bisa saja kaya
bentuk di satu bagian ketika bisa berubah monoton di bagian lain. Pendidikan
formal--sekolah dasar, sekolah, menengah, perguruan tinggi-- hanya bagian saja
dari narasi lukisan, sebagai bagian dari keseluruhan yang jauh lebih luas dan
rumit, keseluruhan yang kita sebut sebagai hidup.
Belajar
sebagai bernarasi memerlukan metakognisi, yakni proses individual belajar sendiri
dengan meninjau ulang, becermin diri, belajar dari kesalahan, mencerna ulang,
dan menghaluskan pemahaman. Manusia sebagai subjek belajar diandaikan memiliki
kehendak, bebas, dan sanggup menilai serta mewujudkan kehendaknya sendiri. Berbeda
dari pengandaian dasar kaum behavioris, pemahaman, sikap, dan perilaku bukan
dibentuk, melainkan membentuk.
Subjek
belajar bukan menulis cerita yang didiktekan, melainkan menulis ceritanya
sendiri. Pemamahan bukan hasil dari laku merekam gagasan melalui kegiatan
menghafal atau sejenisnya, meliankan bertumbuh dan memperkaya wujud terutama
karena tindakan belajar, mandiri, maupun kolektif.
Sikap
dan perilaku tumbuh bukan karena adanya doktrin, melainkan karena kemampuan
menilai baik-buruk, efektif-tidak efektif, atau bermanfaat-tidak bermanfaat. Gagasan
belajar sebagai bernarasi selanjutnya merupakan sebuah antitesis. Artinya,
gagasan ini menegasikan bangunan konseptual tentang belajar sebagai proses yang
terpenjara ruang dan waktu dan menggantinya dengan belajar sebagai proses di
setiap ruang dan waktu.
Konsep
ini juga bukan sekadar pelengkap atau bumbu dalam sebuah sistem pendidikan.
Tidak akan bermanfaat jika ia hanya dicantumkan begitu saja dalam sebuah
kurikulum, rencana pembelajaran, atau dokumen administratif lainnya. Sebagai
contoh, konsep pembelajar seumur hidup atau long-life
learners sudah lama muncul dalam wacana pendidikan di Indonesia. Namun, secara
analitis, mungkinkah itu terwujud?
Atau
secara kuantitatif, sudah adakah bukti yang menunjukkan keterwujudannya?
Belajar
sebagai bernarasi bukanlah sebuah gagasan administratif, meskipun bisa
diadministrasikan. Ini juga bukan rekayasa individu atau sosial, sebab rekayasa
mengandaikan niat behavioristik untuk membentuk atau melakukan fabrikasi.
Memfasilitasi
pembelajaran bagi orang tua dan guru, hakikinya bukanlah tindakan 'memaksa'. Sebaliknya,
fasilitasi belajar ialah tindakan untuk memungkinkan anak-anak atau murid mampu
bercerita atau membangun cerita hidup mereka sebagai manusia merdeka.
Wallahualam
bissawab.
oleh Khairil
Azhar
disadur
dari Media Indonesia, Senin, 11 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar