Editors Picks

Jumat, 29 Juli 2016

Kembali ke Kesucian Diri dan Negeri



IBARAT embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul Fitri kali ini melahirkan situasi 'kesucian' yang riskan. Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, tetapi relung kehidupan negara tempat mereka bertahan ialah ruang yang cemar.

Menjelang penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran bumi dari onggokan sampah kebiadaban terorisme, perampasan, dan intoleransi atas nama agama, korupsi penegak hukum dan wakil rakyat, konsumerisme di tengah kelesuan perekonomian, hingga kematian belasan pemudik akibat kelalaian pelayanan publik.

Saat gema takbir berkumandang, kehidupan seperti roller coaster yang berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar fitrah yang meneguhkan sikap hidup yang positif dan kegelapan bumi yang menebar bayangan hidup yang negatif. Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja.

Kita tidak cukup menjadi suci secara pribadi, tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai untuk menyucikan kehidupan negeri. Seperti kata Aristoteles, "Manusia baik belum tentu menjadi warga negara yang baik. Manusia baik hanya bisa menjadi warga negara yang baik bilamana negaranya juga baik sebab di dalam negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang buruk."

Di satu sisi, kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif sebab pemikiran negatif tak akan membawa kebaikan. Psikolog David D Burn mengingatkan, depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah. Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya hidup dilumpuhkan oleh jeratan 4D, yaitu defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan deprived (rasa tercerabut)--yang dihayati sebagai kebenaran dan kenyataan sejati.

Ada pembelajaran
Lebaran menghadirkan optimisme yang lebar, bahwa setiap krisis mengandung peluang pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab mengatakan, "Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan, dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada pemilik Arasy, akan memetik manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri."

Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis, bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan dengan pengorbanan. Dalam gunungan sampah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini diperlukan persenyawaan jutaan titik embun untuk menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis kekotoran yang melumuri jiwa kenegaraan.

Usaha penyucian harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad, dalam jalan pertobatan hal negatif bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan 'kebohongan'. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula. Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara.

Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme dan politik pencitraan yang mengabaikan esensi dan substansi. Dalam meloloskan berbagai undang-undang dan keputusan yang mengabaikan nalar publik, otoritas terkait acap kali menutupi kebohongannya dengan dalih 'sudah sesuai prosedur'.

Persoalan tidak diatasi dengan kerja nyata, tetapi ditutupi dengan manipulasi pencitraan. Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan negeri ini menjadi negeri kebohongan. Korupsi setiap pemerintahan, kata Montesquieu, selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan.

Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali ketika aturan bisa dikorup demi pragmatika politik. Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk memperkuat etika sosial. Gairah keagamaan tidak berhenti pada narsisme simbolisnya, tetapi pada penguatan misi profetiknya dalam memperjuangkan kemaslahatan hidup bersama.

Fitrah negeri
Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, kepulangan kita ke fitrah kesejatian manusia diharapkan bias memijarkan semangat kembali ke fitrah bernegara. Dalam krisis jati diri dan disorientasi politik, pilihan terbaik memang kembali ke akar. Meminjam ungkapan Amartya Sen, "Join the past to build a new!" Kenanglah akar ketulusan dan kelurusan niat para pendiri bangsa!

Dalam mengambil keputusan yang sulit, para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) terlebih dahulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan doa agar keputusan yang diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati yang murni dengan penuh keikhlasan.

Kenanglah akar rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan, "Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik."

Kenanglah akar kesungguhan para pendiri bangsa dalam mencapai yang terbaik! Menanggapi Soepomo, yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang sempurna di masa perang, Soekarno mengingatkan, "Saya peringatkan tentang lamanya perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali lebih lama, dan jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan pada kesempurnaan."

Dengan akar semangat ketulusan, tanggung jawab, dan kesungguhan itulah negara ini didirikan dengan visi yang jelas, seperti tecermin dalam pembukaan konstitusi. Menurut penjelasan UUD 1945, ada empat pokok pikiran yang terkandung di dalamnya.

Pertama, negara hendak melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut pengertian ini, negara hendak melindungi dan meliputi bangsa seluruhnya, mengatasi segala paham perseorangan dan golongan.

Dalam visi negara ini, tidak sepatutnya negara abai terhadap batas-batas wilayah negara sebagai titik genting kedaulatan negara-bangsa. Dalam konsepsi kerajaan, titik tumpu otoritas negara memang terletak pada pusat negara. Namun, dalam konsepsi negara-bangsa, pertaruhannya justru terletak pada kemampuan negara dalam melindungi wilayah perbatasan. Seturut dengan itu, tidak sepatutnya juga negara membiarkan suatu golongan atau perorangan menganiaya dan menyengsarakan yang lain atas nama diktator mayoritas atau tirani minoritas (pemodal-penguasa).

Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam visi negara ini, berlaku prinsip 'berat sama dipikul, ringan sama dijinjing'. Tidak sepantasnya, pejabat negara cuma mau mendapat untung dengan membiarkan rakyat terus buntung. Di manakah letak rasa keadilan saat wakil rakyat lebih memikirkan kenaikan gaji dan tunjangan serta fasilitas dan gedung baru nan mewah, ketimbang menyelamatkan perekonomian rakyat dari korupsi dan penyerobotan pihak asing?

Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan, dan permusyawaratan. Dalam visi negara ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka 'musyawarah-mufakat'. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte golongan mayoritas atau kekuatan modal perseorangan, tetapi dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas dan deliberatif setiap warga negara tanpa pandang bulu. Di manakah letak kedaulatan rakyat ketika para pejabat terpilih lebih menghormati pemilik modal ketimbang memperhatikan amanat penderitaan rakyat?

Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam visi negara ini, pemerintah dan penyelenggara negara wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Di manakah letak budi pekerti kemanusiaan dan moral yang luhur dalam suatu kecenderungan para pejabat negara yang lebih mementingkan simbolisme dan perayaan keagamaan ketimbang menjunjung tinggi etika publik, lebih menonjolkan gairah peribadatan tanpa semangat pengorbanan?

Kembali ke fitrah
Pokok-pokok pikiran Pembukaan itu menjadi sumber kebatinan dari UUD dalam mewujudkan cita hukum. Ketika semangat pokok-pokok pikiran itu tak terpantulkan dalam kehidupan bernegara, hukum dan perundang-undangan kehilangan elan vitalnya.

Berbilang undang-undang dihasilkan, tetapi kehidupan warga makin tak terlindungi, kesenjangan sosial melebar, daulat rakyat melemah, dan moral pejabat negara bobrok. Pelbagai krisis yang timbul di sepanjang ekstravaganza pesta demokrasi saat ini pada hakikatnya merupakan letupan permukaan dari krisis kebatinan karena pengabaian olah jiwa dan moral publik.

Politik berkembang secara teknik, tetapi mundur secara etik. Politik dan etik terpisah seperti minyak dengan air. Semoga dengan kembali ke fitrah manusia dan fitrah bernegara, kita bisa menemukan kembali tenaga batin yang dapat mengantarkan bangsa meraih kemenangan!

oleh Yudi Latif
disadur dari Media Indonesia, Senin, 11 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar