Editors Picks

Rabu, 27 Juli 2016

Diplomasi Baru Laut Tiongkok Selatan



Bagaimana sebaiknya Indonesia harus menanggapi proses hukum Laut Tiongkok Selatan yang kini tengah berlangsung di Permanent Court of Arbitration? Seperti kita ketahui Filipina telah mengajukan permohonan arbitrase terhadap klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan (LTS) pada Januari 2013. Ketentuan Pasal 287 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memang memberikan ruang bagi Filipina untuk memilih salah satu dari empat mekanisme hukum dalam penyelesaian sengketa maritim. Salah satu dari mekanisme itu adalah melalui Permanent Court of Arbitration (PCA).

Proses hukum sepihak?
Keseriusan Filipina untuk menyelesaikan kasus ini tampak dari dokumen setebal 4.000 halaman yang disampaikan ke PCA. Dalam dokumen itu, Filipina telah menjelaskan secara detail bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran terhadap batas maritim Filipina. Tanggapan Tiongkok sudah bisa diduga. Negara itu menolak untuk mengakui permohonan Filipina ke PCA.

Melalui Position Paper, yang dipublikasikan pada Desember 2014, terdapat setidaknya tiga argumen utama yang telah dikemukakan Tiongkok. Pertama, Tiongkok menganggap permasalahan di LTS menyangkut kepemilikan pulau, bukan terkait persinggungan batas wilayah laut (maritime delimitation). Karena itu, Tiongkok memandang bahwa PCA tidak memiliki yurisdiksi dalam penyelesaian sengketa kedaulatan di LTS.

Kedua, Tiongkok menyebutkan terdapat kesepakatan di antara kedua negara untuk tidak membawa masalah LTS kepada institusi dispute settlement yang memiliki karakter wajib (compulsory). Dalam Position Paper tahun 2014 poin Nomor 58 itu, Tiongkok lebih jauh menyebutkan bahwa sengketa maritim di antara Tiongkok dan negara-negara tetangganya akan diselesaikan melalui mekanisme negosiasi dan konsultasi langsung.

Ketiga, Tiongkok berpandangan bahwa penyelesaian melalui proses hukum hanya dapat dilakukan jika dilandasi oleh asas kesepakatan (the principle of consent) dari kedua pihak yang bersengketa. Sebagaimana tercantum dalam Position Paper tahun 2014 poin Nomor 76, Tiongkok menyatakan bahwa karena negara itu tidak berpartisipasi dalam proses hukum yang tengah berlangsung, Tiongkok memiliki landasan untuk tidak mengakui keputusan yang nantinya dibuat PCA. Intinya Tiongkok berpandangan bahwa Filipina melalui PCA telah melakukan proses hukum sepihak.

Saat ini permohonan Filipina masih menunggu keputusan final yang diperkirakan akan dibuat pada akhir bulan Juni atau awal Juli 2016. Meskipun belum memberikan keputusan final, PCA pada bulan Oktober 2015 telah menyatakan beberapa hal berikut.

Pertama, PCA memiliki yurisdiksi hukum untuk memproses kasus yang diajukan Filipina. Ketidakhadiran Tiongkok disebutkan tidak menghentikan proses hukum yang tengah berjalan. Kedua, PCA menegaskan bahwa Filipina memiliki hak untuk mengajukan kasus ini karena Filipina merupakan salah satu negara yang menandatangani UNCLOS. Tindakan Filipina untuk mengajukan kasus ini tidak melanggar norma hukum internasional apa pun.

Ketiga, dokumen-dokumen tentang kesepakatan mekanisme regional yang telah dibuat Tiongkok dan ASEAN untuk penanganan kasus LTS disebutkan tak memiliki sifat yang wajib dan mengikat secara hukum, serta tak tercantum sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang disarankan UNCLOS.

Diplomasi baru?
Walau keputusan PCA belum keluar, hampir bisa dipastikan bahwa kawasan LTS akan semakin dinamis pada waktu yang akan datang. Sebagian besar dinamika itu akan ditentukan oleh tanggapan yang akan diberikan Tiongkok terhadap keputusan PCA. Ada tiga rangkaian tanggapan yang kemungkinan akan diberikan Tiongkok.

Pertama, Tiongkok secara verbal akan tetap menolak keputusan PCA. Tanggapan ini hampir bisa dipastikan mengingat dari sejak awal Tiongkok tidak mengakui proses hukum PCA. Kedua, Tiongkok akan menunjukkan perilaku yang lebih asertif. Tindakan-tindakan untuk menunjukkan adanya pendudukan efektif Tiongkok terhadap kepulauan yang dipersengketakan dan berikut seluruh aktivitas maritimnya di sekitar wilayah itu akan semakin meningkat.

Ketiga, Tiongkok kemungkinan akan memberlakukan air defense identification zone (ADIZ) di LTS. Hal ini, misalnya telah diperlihatkan Tiongkok di Laut Tiongkok Timur untuk menyikapi sengketa Pulau Diaoyu/Senkaku. Keempat, melakukan economic statecraft, menggunakan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan-tujuan non-ekonomi bagi negara-negara yang terlibat di sekitar LTS.

Di tengah-tengah situasi ini, gagasan tentang kebutuhan diplomasi baru di LTS tampaknya memang terasa sangat mendesak. Muatan diplomasi baru ini sebaiknya mengandung beberapa elemen berikut.

Pertama, tak terlalu terfokus pada kegiatan pembangunan norma (norms building), tetapi lebih pada pembangunan skenario (scenario building). Alasannya sangat sederhana. Indonesia bersama ASEAN telah menghasilkan beberapa instrumen normatif untuk mengatasi sengketa LTS, seperti Declaration on the South China Sea (1992), Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (2002), Guidelines for the implementation of the DOC (2011), dan ASEAN Six principles on the South China Sea (2012).

Namun, seluruh proses pembangunan norma ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa LTS. Bahkan PCA menganggap bahwa seluruh inisitiaf pembangunan norma tidak dianggap mengikat secara hukum.

Kedua, diplomasi baru itu perlu memuat argumen bahwa LTS bukanlah laut eksklusif. Aspek strategis LTS tak terbatas pada littoral states di LTS itu. Terdapat kepentingan strategis dari extra-regional powers, yang tak dapat diabaikan, seperti Amerika Serikat dan sekutunya terhadap kawasan ini. Sengketa LTS harus diterima memiliki dimensi kompetisi global antara AS dengan Tiongkok. Dalam konteks kompetisi strategis ini Indonesia harus bisa menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keamanannya dengan kedua negara tersebut.  

Ketiga, diplomasi baru itu sebaiknya memuat beberapa rancangan arsitektur regional yang diproyeksikan kemungkinan terjadi, setidaknya dalam kurun waktu dua dasawarsa ke depan. Bagaimana posisi Indonesia dalam berbagai proyeksi arsitektur regional itu haruslah tampak dengan jelas dalam diplomasi baru itu. Indonesia harus ikut mengambil inisiatif dan berperan aktif dalam menata arsitektur yang diinginkan. Pertanyaan sederhana yang harus dijawab, misalnya adalah apakah ASEAN masih memadai? Apakah tidak lebih baik memfokuskan pada kerangka regional lainnya yang lebih besar?

oleh Makmur Keliat
disadur dari Kompas, Kamis, 30 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar