Bagaimana
sebaiknya Indonesia harus menanggapi proses hukum Laut Tiongkok Selatan yang kini tengah
berlangsung di Permanent Court of
Arbitration? Seperti kita ketahui
Filipina telah mengajukan permohonan arbitrase terhadap klaim Tiongkok di
Laut Tiongkok Selatan (LTS) pada Januari 2013. Ketentuan Pasal 287 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut (UNCLOS) memang memberikan ruang bagi Filipina untuk memilih salah
satu dari empat mekanisme hukum dalam penyelesaian sengketa maritim. Salah satu
dari mekanisme itu adalah melalui Permanent
Court of Arbitration (PCA).
Keseriusan
Filipina untuk menyelesaikan kasus ini tampak dari dokumen setebal 4.000
halaman yang disampaikan ke PCA. Dalam dokumen itu, Filipina telah menjelaskan
secara detail bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran terhadap batas maritim
Filipina. Tanggapan Tiongkok sudah bisa diduga. Negara itu menolak untuk
mengakui permohonan Filipina ke PCA.
Melalui
Position Paper, yang dipublikasikan
pada Desember 2014, terdapat setidaknya tiga argumen utama yang telah
dikemukakan Tiongkok. Pertama, Tiongkok menganggap permasalahan di LTS
menyangkut kepemilikan pulau, bukan terkait persinggungan batas wilayah laut (maritime delimitation). Karena itu,
Tiongkok memandang bahwa PCA tidak memiliki yurisdiksi dalam penyelesaian
sengketa kedaulatan di LTS.
Kedua,
Tiongkok menyebutkan terdapat kesepakatan di antara kedua negara untuk tidak
membawa masalah LTS kepada institusi dispute
settlement yang memiliki karakter wajib (compulsory). Dalam Position
Paper tahun 2014 poin Nomor 58 itu, Tiongkok lebih jauh menyebutkan bahwa
sengketa maritim di antara Tiongkok dan negara-negara tetangganya akan
diselesaikan melalui mekanisme negosiasi dan konsultasi langsung.
Ketiga,
Tiongkok berpandangan bahwa penyelesaian melalui proses hukum hanya dapat
dilakukan jika dilandasi oleh asas kesepakatan (the principle of consent) dari kedua pihak yang bersengketa.
Sebagaimana tercantum dalam Position
Paper tahun 2014 poin Nomor 76, Tiongkok menyatakan bahwa karena negara itu
tidak berpartisipasi dalam proses hukum yang tengah berlangsung, Tiongkok
memiliki landasan untuk tidak mengakui keputusan yang nantinya dibuat PCA.
Intinya Tiongkok berpandangan bahwa Filipina melalui PCA telah melakukan proses
hukum sepihak.
Saat
ini permohonan Filipina masih menunggu keputusan final yang diperkirakan akan
dibuat pada akhir bulan Juni atau awal Juli 2016. Meskipun belum memberikan
keputusan final, PCA pada bulan Oktober 2015 telah menyatakan beberapa hal
berikut.
Pertama,
PCA memiliki yurisdiksi hukum untuk memproses kasus yang diajukan
Filipina. Ketidakhadiran Tiongkok disebutkan tidak menghentikan proses
hukum yang tengah berjalan. Kedua, PCA menegaskan bahwa Filipina memiliki hak
untuk mengajukan kasus ini karena Filipina merupakan salah satu negara yang
menandatangani UNCLOS. Tindakan Filipina untuk mengajukan kasus ini tidak
melanggar norma hukum internasional apa pun.
Ketiga,
dokumen-dokumen tentang kesepakatan mekanisme regional yang telah dibuat
Tiongkok dan ASEAN untuk penanganan kasus LTS disebutkan tak memiliki sifat
yang wajib dan mengikat secara hukum, serta tak tercantum sebagai salah satu
mekanisme penyelesaian sengketa yang disarankan UNCLOS.
Diplomasi
baru?
Walau
keputusan PCA belum keluar, hampir bisa dipastikan bahwa kawasan LTS akan
semakin dinamis pada waktu yang akan datang. Sebagian besar dinamika itu akan
ditentukan oleh tanggapan yang akan diberikan Tiongkok terhadap keputusan PCA.
Ada tiga rangkaian tanggapan yang kemungkinan akan diberikan Tiongkok.
Pertama,
Tiongkok secara verbal akan tetap menolak keputusan PCA. Tanggapan ini hampir
bisa dipastikan mengingat dari sejak awal Tiongkok tidak mengakui proses hukum
PCA. Kedua, Tiongkok akan menunjukkan perilaku yang lebih asertif.
Tindakan-tindakan untuk menunjukkan adanya pendudukan efektif Tiongkok terhadap
kepulauan yang dipersengketakan dan berikut seluruh aktivitas maritimnya
di sekitar wilayah itu akan semakin meningkat.
Ketiga,
Tiongkok kemungkinan akan memberlakukan air
defense identification zone (ADIZ) di LTS. Hal ini, misalnya telah
diperlihatkan Tiongkok di Laut Tiongkok Timur untuk menyikapi sengketa Pulau
Diaoyu/Senkaku. Keempat, melakukan economic
statecraft, menggunakan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan-tujuan
non-ekonomi bagi negara-negara yang terlibat di sekitar LTS.
Di
tengah-tengah situasi ini, gagasan tentang kebutuhan diplomasi baru di LTS
tampaknya memang terasa sangat mendesak. Muatan diplomasi baru ini sebaiknya
mengandung beberapa elemen berikut.
Pertama,
tak terlalu terfokus pada kegiatan pembangunan norma (norms building), tetapi lebih pada pembangunan skenario (scenario building). Alasannya sangat sederhana. Indonesia bersama ASEAN telah
menghasilkan beberapa instrumen normatif untuk mengatasi sengketa LTS, seperti Declaration on the South China Sea
(1992), Declaration on Conduct of the
Parties in the South China Sea (2002),
Guidelines for the implementation of the
DOC (2011), dan ASEAN Six principles on
the South China Sea (2012).
Namun,
seluruh proses pembangunan norma ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa LTS.
Bahkan PCA menganggap bahwa seluruh inisitiaf pembangunan norma tidak dianggap
mengikat secara hukum.
Kedua,
diplomasi baru itu perlu memuat argumen bahwa LTS bukanlah laut eksklusif.
Aspek strategis LTS tak terbatas pada littoral
states di LTS itu. Terdapat kepentingan strategis dari extra-regional powers, yang tak dapat diabaikan, seperti Amerika
Serikat dan sekutunya terhadap kawasan ini. Sengketa LTS harus diterima memiliki
dimensi kompetisi global antara AS dengan Tiongkok. Dalam konteks kompetisi
strategis ini Indonesia harus bisa menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan
keamanannya dengan kedua negara tersebut.
Ketiga,
diplomasi baru itu sebaiknya memuat beberapa rancangan arsitektur regional
yang diproyeksikan kemungkinan terjadi, setidaknya dalam kurun waktu dua
dasawarsa ke depan. Bagaimana posisi Indonesia dalam berbagai proyeksi
arsitektur regional itu haruslah tampak dengan jelas dalam diplomasi baru itu. Indonesia harus ikut mengambil
inisiatif dan berperan aktif dalam menata arsitektur yang diinginkan.
Pertanyaan sederhana yang harus dijawab, misalnya adalah apakah ASEAN masih
memadai? Apakah tidak lebih baik memfokuskan pada kerangka regional lainnya
yang lebih besar?
oleh
Makmur Keliat
disadur dari Kompas, Kamis, 30 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar