Polemik
pembatalan secara sepihak peraturan daerah (Perda) oleh pemerintah pusat (dalam
hal ini Kementerian Dalam Negeri) seakan menjadi ”bola liar” yang menimbulkan
perdebatan panjang di antara semua pemangku kepentingan (stakeholder).
Tak
kurang 3.143 perda menjadi objek dari kewenangan menteri dalam negeri
(mendagri) di dalam melakukan deregulasi terhadap berbagai perda dari berbagai
daerah di Indonesia. Tentunya apa yang dilakukan pemerintah perlu dikritisi
sebagai sebuah kebijakan (beleid) yang tidak memperhatikan dan
mengedepankan aspek legalkonstitusional (UUD 1945), serta rezim pengaturan dari
beberapa peraturan terkait, yakni UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah
Daerah (UU PEMDA).
Selain
itu, catatan penting dari kebijakan deregulasi Perda oleh pemerintah ialah
tidak ada kajian yang komprehensif yang terlebih dahulu dilakukan sebelum
kebijakan deregulasi tersebut dilaksanakan. Selain itu minimnya ruang
(komunikasi) atau setidak-tidaknya forum (koordinasi) bagi pemerintah daerah
sesaat sebelum kebijakan pembatalan (praderegulasi) ini diberlakukan.
Tentu
langkah pemerintah di dalam mengambil kebijakan deregulasi terhadap berbagai
perda yang ada akan sangat kontraproduktif terhadap semangat dan cita-cita
pemerintah yang diserukan di dalam mewujudkan tata kelola birokrasi yang
efektif dan efisien (good governance). Setidaknya polemik deregulasi
perda oleh pemerintah pada hakikatnya dapat dilihat dari dua arah yakni aspek
substantif dan aspek nonsubstantif.
Aspek
Substantif
Secara
substantif dalam perspektif yuridis normatif, polemik pembatalan perda secara
sepihak oleh mendagri dapat dilihat dengan mengacu pada tiga rezim hukum yang
saling terkait. Pertama, dengan melihat ketentuan secara konstitusional, yang
ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, yang mana secara rigid dan letterlecht, hanya memberikan ruang judicial review terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah UUD.
Artinya,
proses dan tahapan pembatalan perda tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh
pemerintah (eksekutif), kecuali melalui proses ajudikasi di Mahkamah Agung (judicial
review). Tentu jika mengacu pada landasan hukum yang tertinggi, sebagaimana
yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, jelaslah bahwa konstitusi tidak
memberikan ruang terhadap proses pembatalan peraturan daerah secara sepihak
tanpa melalui proses judicial review di MA.
Filosofi
mekanisme ini ialah untuk mengantisipasi agar kewenangan yudikatif (dalam
konteks judicial review) tidak boleh ”dicampuradukkan” dengan kewenangan
eksekutif (dalam konteks pengawasan administratif). Kedua, paralel dengan
ketentuan yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, hal tersebut juga dikuatkan di
dalam UU Nomor 12/2011, khususnya yang ada di dalam Pasal 9, yang menyatakan
bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Secara
prinsip perlulah dipahami ”original intent” munculnya Pasal 9 di dalam
UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Penulis yang juga merupakan
anggota pansus di dalam pembentukan UU PPP pada periode yang lalu turut
terlibat secara langsung (aktif dan partisipatif) di dalam proses pembahasan
dan perkembangan serta dinamika (internal) di dalam pembentukan UU PPP.
Sebenarnya
adapun nilai (value) historis-filosofis munculnya ketentuan di dalam
Pasal 9 ini disadari oleh pembentuk UU pada waktu itu bahwa tidaklah dapat
dibenarkan dalam konteks ketatanegaraan praktik pembatalan Perda secara sepihak
oleh pemerintah pusat (Mendagri). Selanjutnya juga para pembentuk UU
menginsyafi, praktik judicial review sebelumnya
terhadap Perda yang ada di MA; yang mana ruang lingkup yang diberikan kepada
pemerintah daerah yang bersangkutan (yang perdanya dibatalkan) ialah hanya
terhadap output ”pembatalan” yang dilakukan oleh Mendagri, bukan terhadap Perda
yang dibatalkan (secara substansi).
Artinya,
proses ajudikasi sebagaimana dimaksud menitikberatkan kepada aspek ”sah atau
tidaknya” pembatalan Perda tersebut yang dilakukan Mendagri. Karena itu,
pembentuk undang-undang pada saat itu menginisiasi munculnya ketentuan dalam
Pasal 9 dalam UU PPP agar membatasi dan tidak memberi kewenangan berlebihan
kepada eksekutif (executive heavy) dalam ranah pembatalan Perda.
Dalam
ketentuan pasal ini pun memberikan ruang yang lebih kepada semua pihak (stakeholder)
yang keberatan terhadap Perda yang diberlakukan dalam arti bahwa siapa pun yang
berkepentingan terhadap Perda yang akan dibatalkan memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk
menguji (judicial review) peraturan daerah tersebut ke Mahkamah Agung.
Secara
nyata, juga dapat dilihat bahwa ketentuan yang ada di dalam Pasal 9 UU PPP
merupakan turunan secara vertikal (derivasi langsung) dari Pasal 24A UUD 1945.
Dengan begitu, dalam ranah pembatalan Perda haruslah mengacu pada UU PPP.
Ketiga,
melihat pada ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Nomor 23/2014 tentang
Pemerintah Daerah, secara jelas dan nyata juga memberikan kewenangan kepada
menteri (Mendagri) untuk membatalkan Perda, yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
Tetapi,
tentu klausul ini secara filosofis harus dimaknai hanya dalam konteks tata
kelola pemerintahan (good governance), bukan dalam arti praktis-empirik
bagi Mendagri untuk secara serta-merta secara sepihak dan ”semau-mau”-nya
membatalkan peraturan daerah yang secara subjektif dimaknai tidak selaras
dengan tiga limitasi-batasan sebagaimana dimaksud atau di luar batasan
(limitasi) tersebut.
Tentu
hal ini, dalam konteks kenegaraan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance), akan menimbulkan preseden buruk. Ke depan (forward looking)
bukan tidak mungkin dapat saja preseden ini akan dijadikan justifikasi (dasar,
alasan dan/atau pembenaran) bagi rezim kekuasaan untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Disharmonisasi
Peraturan Perundang-undangan
Perlu
juga untuk disadari bahwa realitas yang terjadi masih ada disharmonisasi pada
level peraturan perundang-undangan. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat di
dalam dua rezim hukum peraturan perundang-undangan secara horizontal yang ada
pada UU PPP dan UU Pemda.
Dalam konteks
UU Pemda memang dapatlah dilihat bahwa terdapat kekeliruan dan missleading
norma (hukum) yang ada di dalam UU Nomor 23/2014 tentang Pemda, yang tentu akan
berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Seharusnya pembentuk UU secara
linier tunduk dan patuh pada ketentuan konstitusi yang menyatakan bahwa
pembatalan atau pencabutan Perda karena bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial
review oleh MA.
Secara
lebih lanjut juga patut dikritisi proses harmonisasi yang ada di badan
legislasi DPR RI pada saat pembahasan sebelum pengesahan UU Pemda. Sekiranya
proses harmonisasi tersebut berjalan secara maksimal, kecil kemungkinan terjadi
disharmonisasi antara UU PPP dan UU Pemda.
Seharusnya
jikalau proses harmonisasi tersebut berjalan secara optimal, ketentuan yang ada
pada Pasal 251 UU Pemda tidaklah perlu muncul, yang secara nyata tidak selaras
dan harmonis dengan ketentuan yang ada pada Pasal 24A UUD 1945 dan Pasal 9 UU
PPP.
Aspek
Nonsubstantif
Memang
perlu disadari oleh semua pihak (stakeholder)
di dalam memahami polemik ini tidak boleh terjebak pada opini (subjektif),
melainkan harus memandang realitas persoalan ini secara objektif, konstruktif,
dan proporsional. Namun, pada posisi yang subjektif dengan pandangan
(penilaian) yang objektif dapatlah dilihat bahwa munculnya polemik ini karena
gagalnya pemerintah (atau dalam hal ini Mendagri) di dalam menjalankan fungsi executive
review terhadap peraturan daerah yang dianggap atau berpotensi bermasalah
dan bertentangan, baik secara vertikal ataupun horizontal.
Secara
nonsubstantif, melihat persoalan ini memang perlu dilakukan secara cermat,
teliti, dan hati-hati. Terhadap dua arus pandangan (pro dan kontra) di dalam
menyikapi polemik ini, seharusnya memang dapat ditengahi dengan jalan dan cara
berpikir yang runtut, sistematis, dan terarah. Secara runtut melihat polemik
deregulasi ini, harus dicermati dengan mengacu serta mendasarkan pada ketentuan
(dasar hukum) yang lebih tinggi terlebih dahulu.
Asumsinya
apabila pihak yang melihat persoalan ini dengan mengacu pada ketentuan yang ada
di UU Pemda terlebih dahulu, langkah dan kebijakan deregulasi perda ini mungkin
dapatlah dibenarkan secara legal. Tetapi, apabila melihat persoalan ini dengan
mengacu pada landasan hukum (tertinggi) terlebih dahulu, baru setelahnya
merujuk pada aturan turunan terkait (systematic approachment) yakni UUD
1945, setelah itu UU PPP, barulah UU Pemda, dapatlah disimpulkan bahwa langkah
dan kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah (Mendagri) secara sepihak
terhadap 3.143 perda merupakan langkah yang tidak lazim dan tidaklah dapat
dibenarkan. Langkah yang terakhir inilah yang ideal dan konstitusional.
oleh
Ahmad Yani
disadur dari Koran Sindo, Kamis, 30 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar