IDUL
Fitri akan segera tiba dan dirayakan berbagai kalangan, termasuk kaum buruh.
Perayaan Idul Fitri merupakan momen yang sangat penting, sebagai sarana
silaturahim, termasuk tradisi mudik sebagai bagian yang tak terpisahkan. Yang
pasti, dengan tingginya pengeluaran akibat harga naik dan banyaknya keperluan,
tunjangan hari raya akan sangat membantu buruh untuk merayakan hari kemenangan
ini. Ibaratnya, ini merupakan kado dari perusahaan kepada buruh yang harus
dibayarkan setiap satu tahun sekali.
Tunjangan
hari raya (THR) yang ditunggu-tunggu buruh pun setiap tahun selalu saja menyisakan
permasalahan, seperti masih adanya perusahaan yang telat membayarkannya dan
bahkan ada perusahaan yang tidak membayarkan THR. Dapat dikatakan masalah THR
merupakan persoalan abadi tanpa ada penyelesaian.
Data
Kementerian Ketenagakerjaan 2015, tepatnya 10 Juli (data sementara), yang
merupakan H-7, tercatat bahwa laporan pengaduan THR kurang lebih ada 150 baik
melalui e-mail, telepon, maupun yang datang langsung ke posko pengaduan THR.
Permasalahan yang terjadi di 2015 juga terjadi setahun sebelumnya.
Pertanyaannya, apakah pelaksanaan THR tahun ini juga akan mengalami
permasalahan seperti sebelumnya? Permasalahan 2015 seharusnya menjadi cermin
untuk mengatasi masalah THR di 2016. Jika itu diabaikan, kemungkinan tingkat
pelanggaran terhadap pembayaran THR akan meningkat.
Jika
permasalahan di atas dilihat, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan, di
antaranya mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan No 6 Tahun
2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
untuk menggantikan Permenaker No PER 04/MEN/1994 serta membentuk posko
pengaduan THR.
Harus
diwaspadai
Perubahan
peraturan ini merupakan angin segar bagi buruh karena di dalam peraturan
sebelumnya, yaitu PER 04/MEN/1994 Pasal 2 Ayat 1, disebutkan bahwa pengusaha
wajib memberikan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara
terus-menerus. Hal ini tentunya jauh berbeda jika dibandingkan dengan Permen
Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016 Pasal 2 Ayat 1 menyebutkan 'pengusaha wajib
memberikan THR keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1
(satu) bulan secara terus-menerus atau lebih.' Permen Ketenagakerjaan No 6
Tahun 2016 merupakan amanah dari Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan No 78
Tahun 2015. Untuk mendukung terbitnya permen tersebut, diperlukan pengawasan
yang intensif sehingga buruh mendapatkan THR sesuai dengan haknya.
Pembayaran
THR dengan masa tenggat dibayarkan tujuh hari sebelum pelaksanaan hari raya.
Namun,
penulis melihat peraturan baru tersebut akan menguntungkan buruh karena
perlindungan akan lebih terjamin, tapi justru di sisi tidak menguntungkan
perusahaan. Perusahaan harus membayar buruh yang hanya bekerja dalam kurun
waktu satu bulan secara terus-menerus. Hal inilah yang perlu dicermati jangan
sampai adanya peraturan baru tentang THR tersebut justru menyuburkan
pelanggaran pembayaran THR yang dilakukan perusahaan. Bisa saja perusahaan
berdalih seperti tidak adanya dana dan kontribusi buruh yang belum sesuai
dengan target perusahaan.
Dalam
menghadapi permasalahan ini, seyogianya perusahaan harus memiliki kesadaran
bahwa selamanya THR merupakan hak buruh, baik buruh tetap, kontrak, maupun outsourcing.
Jika THR ini tidak mampu dibayar perusahaan, hubungan industrial bisa
terganggu. Dalam beberapa kasus bahkan permasalahan THR hingga pada tahap
persidangan di pengadilan hubungan industrial.
Di sisi
lain, jika dikaji lebih dalam, pemberian THR ini justru menguntungkan
perusahaan karena pemberian THR akan meningkatkan trust antara buruh dan
perusahaan. Akibatnya produktivitas akan meningkat karena buruh merasa memiliki
perusahaan.
Kerekatan
sosial antara buruh dan perusahaan menjadi modal sosial bagi perusahaan untuk
meningkatkan keuntungan. Oleh sebab itu, sangat naif jika masih ada pengusaha
yang menolak memberikan THR. Padahal, pemberian THR hanya 1 tahun sekali. Jika
dilihat secara sosial maupun ekonomi, pemberian THR kepada buruh akan
meningkatkan citra/brand sebuah
perusahaan.
Peningkatan
citra/brand perusahaan tersebut
terjadi karena adanya pembentukan opini yang terjadi di masyarakat bahwa
perusahaan yang memberikan THR merupakan perusahaan yang bertanggung jawab
terhadap buruh.
Apalagi
saat ini di tengah arus informasi yang cepat melalui media sosial, bila ada
perusahaan yang tidak membayar THR akan cepat tersebar di masyarakat. Hal ini
tentunya akan merugikan perusahaan itu sendiri karena akan mendapatkan opini
negatif dari masyarakat sebagai perusahaan yang melanggar peraturan.
Jaminan
sosial
Di sisi
lain perusahaan juga harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah terhadap
kemungkinan organisasi massa yang meminta jatah THR. Hal tersebut tentunya akan
berakibat terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar THR bagi buruh. Di sisi
lain, itu juga membuat para investor berpikir ulang untuk berinvestasi karena
faktor jaminan keamanan merupakan salah satu pertimbangan investor.
THR
bisa dikatakan sebagai jaminan sosial dan bentuk tanggung jawab perusahaan
terhadap buruh. Jika memang ditemukan permasalahan dalam pembayaran THR,
langkah elegan yang dilakukan ialah dengan berdialog, antara buruh dan
pengusaha. Dalam dialog tersebut diharapkan timbul saling pemahaman dan
pengertian yang sama di antara kedua belah pihak. Apalagi, kedua belah pihak
merupakan mitra, bahkan memiliki hubungan simbiosis mutualisme.
Adanya
pemahaman akan hak buruh dan hak perusahaan akan meningkatkan produktivitas.
Bahkan jika perusahaan tersebut berada dalam masa sulit, buruh pun akan
mengerti akan kondisi perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi jika ada trust di
antara buruh dan perusahaan. Akhir dari tulisan ini semoga permasalahan THR
akan berkurang, bahkan hilang sehingga akan menjaga kondusivitas nasional.
oleh
Triyono
disadur dari Media Indonesia, Jum’at 24 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar