Editors Picks

Selasa, 26 Juli 2016

Isu THR dan Perburuhan



IDUL Fitri akan segera tiba dan dirayakan berbagai kalangan, termasuk kaum buruh. Perayaan Idul Fitri merupakan momen yang sangat penting, sebagai sarana silaturahim, termasuk tradisi mudik sebagai bagian yang tak terpisahkan. Yang pasti, dengan tingginya pengeluaran akibat harga naik dan banyaknya keperluan, tunjangan hari raya akan sangat membantu buruh untuk merayakan hari kemenangan ini. Ibaratnya, ini merupakan kado dari perusahaan kepada buruh yang harus dibayarkan setiap satu tahun sekali.

Tunjangan hari raya (THR) yang ditunggu-tunggu buruh pun setiap tahun selalu saja menyisakan permasalahan, seperti masih adanya perusahaan yang telat membayarkannya dan bahkan ada perusahaan yang tidak membayarkan THR. Dapat dikatakan masalah THR merupakan persoalan abadi tanpa ada penyelesaian.

Data Kementerian Ketenagakerjaan 2015, tepatnya 10 Juli (data sementara), yang merupakan H-7, tercatat bahwa laporan pengaduan THR kurang lebih ada 150 baik melalui e-mail, telepon, maupun yang datang langsung ke posko pengaduan THR. Permasalahan yang terjadi di 2015 juga terjadi setahun sebelumnya. Pertanyaannya, apakah pelaksanaan THR tahun ini juga akan mengalami permasalahan seperti sebelumnya? Permasalahan 2015 seharusnya menjadi cermin untuk mengatasi masalah THR di 2016. Jika itu diabaikan, kemungkinan tingkat pelanggaran terhadap pembayaran THR akan meningkat.

Jika permasalahan di atas dilihat, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan, di antaranya mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan untuk menggantikan Permenaker No PER 04/MEN/1994 serta membentuk posko pengaduan THR.

Harus diwaspadai
Perubahan peraturan ini merupakan angin segar bagi buruh karena di dalam peraturan sebelumnya, yaitu PER 04/MEN/1994 Pasal 2 Ayat 1, disebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus-menerus. Hal ini tentunya jauh berbeda jika dibandingkan dengan Permen Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016 Pasal 2 Ayat 1 menyebutkan 'pengusaha wajib memberikan THR keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus-menerus atau lebih.' Permen Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016 merupakan amanah dari Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan No 78 Tahun 2015. Untuk mendukung terbitnya permen tersebut, diperlukan pengawasan yang intensif sehingga buruh mendapatkan THR sesuai dengan haknya.

Pembayaran THR dengan masa tenggat dibayarkan tujuh hari sebelum pelaksanaan hari raya.

Namun, penulis melihat peraturan baru tersebut akan menguntungkan buruh karena perlindungan akan lebih terjamin, tapi justru di sisi tidak menguntungkan perusahaan. Perusahaan harus membayar buruh yang hanya bekerja dalam kurun waktu satu bulan secara terus-menerus. Hal inilah yang perlu dicermati jangan sampai adanya peraturan baru tentang THR tersebut justru menyuburkan pelanggaran pembayaran THR yang dilakukan perusahaan. Bisa saja perusahaan berdalih seperti tidak adanya dana dan kontribusi buruh yang belum sesuai dengan target perusahaan.

Dalam menghadapi permasalahan ini, seyogianya perusahaan harus memiliki kesadaran bahwa selamanya THR merupakan hak buruh, baik buruh tetap, kontrak, maupun outsourcing. Jika THR ini tidak mampu dibayar perusahaan, hubungan industrial bisa terganggu. Dalam beberapa kasus bahkan permasalahan THR hingga pada tahap persidangan di pengadilan hubungan industrial.

Di sisi lain, jika dikaji lebih dalam, pemberian THR ini justru menguntungkan perusahaan karena pemberian THR akan meningkatkan trust antara buruh dan perusahaan. Akibatnya produktivitas akan meningkat karena buruh merasa memiliki perusahaan.

Kerekatan sosial antara buruh dan perusahaan menjadi modal sosial bagi perusahaan untuk meningkatkan keuntungan. Oleh sebab itu, sangat naif jika masih ada pengusaha yang menolak memberikan THR. Padahal, pemberian THR hanya 1 tahun sekali. Jika dilihat secara sosial maupun ekonomi, pemberian THR kepada buruh akan meningkatkan citra/brand sebuah perusahaan.

Peningkatan citra/brand perusahaan tersebut terjadi karena adanya pembentukan opini yang terjadi di masyarakat bahwa perusahaan yang memberikan THR merupakan perusahaan yang bertanggung jawab terhadap buruh.

Apalagi saat ini di tengah arus informasi yang cepat melalui media sosial, bila ada perusahaan yang tidak membayar THR akan cepat tersebar di masyarakat. Hal ini tentunya akan merugikan perusahaan itu sendiri karena akan mendapatkan opini negatif dari masyarakat sebagai perusahaan yang melanggar peraturan.

Jaminan sosial
Di sisi lain perusahaan juga harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah terhadap kemungkinan organisasi massa yang meminta jatah THR. Hal tersebut tentunya akan berakibat terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar THR bagi buruh. Di sisi lain, itu juga membuat para investor berpikir ulang untuk berinvestasi karena faktor jaminan keamanan merupakan salah satu pertimbangan investor.

THR bisa dikatakan sebagai jaminan sosial dan bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap buruh. Jika memang ditemukan permasalahan dalam pembayaran THR, langkah elegan yang dilakukan ialah dengan berdialog, antara buruh dan pengusaha. Dalam dialog tersebut diharapkan timbul saling pemahaman dan pengertian yang sama di antara kedua belah pihak. Apalagi, kedua belah pihak merupakan mitra, bahkan memiliki hubungan simbiosis mutualisme.

Adanya pemahaman akan hak buruh dan hak perusahaan akan meningkatkan produktivitas. Bahkan jika perusahaan tersebut berada dalam masa sulit, buruh pun akan mengerti akan kondisi perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi jika ada trust di antara buruh dan perusahaan. Akhir dari tulisan ini semoga permasalahan THR akan berkurang, bahkan hilang sehingga akan menjaga kondusivitas nasional.

oleh Triyono
disadur dari Media Indonesia, Jum’at 24 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar