MENYONGSONG
100 tahun kemerdekaan Indonesia, konsep nasionalisme ramai dikaji. Nasionalisme
dianggap sebagai roh yang menentukan kemajuan bangsa. Upaya mendudukkan kembali
nasionalisme pada posisi yang tepat menjadi kata kunci. Nasionalisme perlu
diredefinisi sesuai konteks kekinian agar tidak menjadi jargon belaka.
Kemerdekaan
Indonesia 70 tahun silam merupakan produk nasionalisme para pejuang
kemerdekaan. Mereka merefleksikannya dengan mengangkat senjata melawan
penjajah, juga berdiplomasi secara piawai di panggung internasional untuk
mendapatkan dukungan negara lain. Muara perjuangan mereka satu, yakni
kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme yang mengantarkan Indonesia pada
kemerdekaan tidaklah sama dengan nasionalisme yang muncul di Eropa.
Nasionalisme Indonesia merupakan kristalisasi keinginan bangsa Indonesia untuk
menjadi negara yang merdeka, dibungkus perasaan senasib sepenanggungan sebagai
bangsa tertindas.
Bung
Karno menyebut nasionalisme Indonesia sebagai nasionalisme Timur yang berbeda
dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme Barat merupakan produk masyarakat
peralihan, dari agraris ke industri. Sebagai negara industri baru, mereka
membutuhkan eksistensi dan logistik untuk mendukung kepentingan nasional. Oleh
sebab itu, penjajahan menjadi metode yang dipilih. Ratusan tahun Indonesia
dibelenggu penjajahan, menjadi sisi gelap nasionalisme dengan pemahaman yang
berbeda.
Pergeseran
makna
Penting
bagi bangsa Indonesia saat ini untuk duduk sejenak merenung, mengapa mantra
nasionalisme pada awal kemerdekaan begitu ampuh mengantarkan Indonesia kepada
tujuannya. Bahkan setelah kemerdekaan, nasionalisme kembali menjadi mantra
sakti yang menyatukan segenap perbedaan untuk bergerak bersama mengisi
pembangunan. Seperti kunci bertemu dengan gemboknya, nasionalisme Indonesia
pada masa kemerdekaan berada pada posisi tepat, bahkan menjadi antitesis
Nasionalisme Barat yang keliru. Pertama, nasionalisme Indonesia dibungkus perasaan
tertindas sebagai bangsa terjajah.
Suka
tidak suka, perasaan tersebut mampu mengeliminasi segenap perbedaan menjadi
kekuatan dahsyat untuk mengusir penjajah. Kedua, keinginan hidup bersama dalam
tatanan yang lebih teratur secara sosial dan politik merupakan modal dasar
diperjuangkannya bentuk negara merdeka dan berdaulat. Ketiga, nasionalisme
Indonesia bergelora begitu dahsyat karena memiliki musuh bersama, yakni kaum
penjajah.
Menjelang
usianya yang ke-71 tahun, konteks nasionalisme Indonesia mengalami pergeseran
makna. Pergeseran ini mensyaratkan bahwa metode yang dipilih tidak sama dengan
sebelumnya. Dari sisi politik, sistem pemerintahan belum mampu mewujudkan
cita-cita masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Parpol sebagai mesin
demokrasi masih terbelenggu oleh kepentingan oligarki. Tak mengherankan jika
produknya ialah pemimpin yang belum bisa memenuhi kebutuhan rakyat. Korupsi
menjadi agama baru yang semakin masif pemeluknya, dari birokrat hingga
parlemen, kelas teri hingga kelas kakap. Dari sisi sosial budaya, generasi muda
lebih piawai menyanyikan musik ngak-ngik-ngok (mengutip istilah Bung Karno)
ketimbang lagu nasional. Ruang publik juga bergeser dari taman kota ke mal yang
begitu menggoda syahwat konsumerisme.
Nasionalisme
Indonesia semakin sulit menemukan bentuk idealnya jika dikaitkan dengan tata
politik internasional saat ini. Pascaruntuhnya Uni Soviet pada dekade 1990-an,
dunia bergerak dari sistem bipolar menjadi multipolar. Negara-negara menjadi
interdependen satu sama lain, tidak bisa berdiri sendiri. Perubahan besar
kembali terjadi ketika fenomena globalisasi yang dicirikan dengan kemudahan di
bidang komunikasi dan informasi semakin menihilkan batas-batas negara.
Orientasi
dan tantangan
Merujuk
pada kondisi tersebut, nasionalisme Indonesia dituntut tidak hanya berorientasi
ke dalam, yakni penguatan identitas sebagai bangsa dan negara Indonesia saja
seperti halnya pada awal kemerdekaan, tapi juga berani melihat ke luar sebagai
bagian dari dunia internasional. Di sinilah titik rentan nasionalisme
Indonesia.
Peran
serta Indonesia dalam berbagai badan atau organisasi supranasional menuntut
Indonesia untuk tetap mampu mempertahankan kedaulatan dan identitas
nasionalnya. Kencangnya arus globalisasi juga berpotensi menghadirkan ancaman
terhadap nasionalisme Indonesia. Nilai-nilai budaya asing dengan mudah diadopsi
tanpa disaring generasi muda melalui televisi, radio, dan beraneka ragam gawai
yang semakin canggih. Akibatnya, perilaku mereka semakin jauh dari nilai-nilai
budaya ketimuran.
Mendudukkan
nasionalisme Indonesia kini seyogianya berkiblat pada empat konsensus bangsa,
yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, begitu pendapat
beberapa kalangan. Sayangnya, bangsa ini kerap mengalami amnesia sejarah.
Nasionalisme yang dibutuhkan Indonesia ialah nasionalisme yang mampu menjawab
permasalahan saat ini yang semakin kompleks.
Pertanyaan
paling mendasar untuk merumuskan nasionalisme Indonesia hari ini ialah, apakah
kita masih merasa sebagai satu bangsa? Penindasan terhadap golongan minoritas
(Syiah, Ahmadiyah), upaya memisahkan diri dari beberapa wilayah di Indonesia
(OPM, Gafatar), banyaknya aksi terorisme dan radikalisme, merupakan autokritik
terhadap semangat kebangsaan Indonesia kini. Apakah sistem politik, ekonomi,
dan sosial budaya saat ini tidak mampu membuat rakyat merasa bangga sebagai
bangsa dan negara Indonesia? Rasanya kurang relevan memperkukuh nasionalisme
hanya melalui wacana imagined community jika sebagian masyarakat masih
hidup dalam kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial.
Nasionalisme
merupakan konsep yang merujuk kepada bangsa, sebagai entitas sosial dan budaya.
Berbicara mengenai bangsa berarti berbicara mengenai segenap elemen, tanpa
kecuali. Nasionalisme Indonesia begitu kuat pada masa lalu karena konsepsi
bangsa lebih banyak merujuk pada beragam suku di tanah air yang menyatukan
tekad dan semangat melawah penjajahan. Konsepsi bangsa hari ini bersifat lebih
luas dan terfragmentasi.
Ada
dikotomi masyarakat timur dan non-timur merujuk pada ketimpangan pembangunan
ekonomi. Ada terminologi kaum kaya dan kaum miskin merujuk pada stratifikasi
sosial dan ekonomi di masyarakat. Ada istilah masyarakat urban, rural,
perbatasan, terluar, terpencil merujuk pada posisi geografis dan aksesibilitas
terhadap sumber daya. Muncul istilah gerakan parlementer dan nonparlementer,
penguasa dan masyarakat madani merujuk pada perbedaan pihak yang menjalankan
tata politik dan pemerintahan di Tanah Air.
Kompleksitas
kepentingan dan fragmentasi inilah yang menjadi tantangan saat ini. Penempatan
korupsi, terorisme, dan narkoba sebagai musuh bersama dapat menjadi engine
of unity segenap elemen bangsa yang berbeda. Nasionalisme Indonesia hari
ini juga selaiknya bersifat holistis, inward looking dan outward
looking.
Menyitir
perkataan Soekarno, nasionalisme dan internasionalisme adalah dua sisi berbeda
dari keping yang sama. Nasionalisme Indonesia harus mampu berkontribusi dalam
mewujudkan tata masyarakat yang sejahtera, bermartabat, dan berkeadilan.
Kontribusi ini memiliki peran ganda bagi penguatan nasionalisme Indonesia.
Pertama, kita terhindar dari Chauvinisme yang menganggap bangsa sendiri lebih
tinggi daripada bangsa lain. Kedua, peran serta di panggung internasional
menjadi sarana untuk menyosialisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
empat konsensus bangsa Indonesia.
Tulisan
ini tak hendak menghadirkan satu obat mujarab yang dapat menyembuhkan beragam
permasalahan kompleks terkait dengan nasionalisme Indonesia hari ini. Tulisan
ini juga hanya mengajak agar kita sadar begitu pentingnya memperkukuh
nasionalisme dalam mencapai tujuan nasional.
oleh
Boy Anugerah
disadur dari Media Indonesia, Kamis, 23 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar