BRITAIN Exit atau Brexit telah menjadi topik yang
menghiasi headline media-media besar di dunia. Betapa tidak, ini ialah
salah satu peristiwa bersejarah yang tidak hanya menentukan nasib Eropa, tetapi
juga dunia. Hasil referendum sementara ini menunjukkan bahwa pro-Brexit mengungguli yang kontra sebesar
52% berbanding 48% dengan komposisi yang terbelah.
Jika
Inggris dan Wales memilih pro-Brexit
dengan persentase 53,4% dan 52,5%, Skotlandia dan Irlandia Utara lebih memilih
untuk tetap di Uni Eropa dengan persentase 62% dan 55,8%. Memang tidak dominan,
tetapi tetap saja hal ini sangat mengejutkan banyak pihak. Sebelum referendum,
pasar sebenarnya sudah cukup yakin bahwa Brexit
ini tidak akan terjadi. Tengok saja data di London Stock Exchange dan
pergerakan British pound sterling jelang referendum, semuanya
menunjukkan kecenderungan positif. Artinya pasar tidak pernah menduga bahwa
referendum akan berujung pada kubu pro-Brexit
yang menang! Pasar pun gundah, beberapa indikator utama akhirnya memerah.
Secara
institusional, Uni Eropa seharusnya menjadi pernikahan Katolik di saat cerai
itu sesuatu yang hampir mustahil. Akan tetapi, apa lacur, nasi sudah menjadi
bubur. Memang secara procedural Brexit
perlu waktu. Setelah referendum, UK tetap harus melalui proses yang panjang
hingga benar-benar keluar dari Uni Eropa. Secara institusional,
setidak-tidaknya diperlukan waktu dua tahun untuk melalui serangkaian proses di
Uni Eropa. Tidak hanya itu, secara internal di UK, ada kemungkinan parlemen
akan memveto referendum ini meski kemungkinannya cukup kecil karena hal ini
merupakan bunuh diri politik bagi para anggota parlemen. Jadi, sudah terima
saja kenyataan. UK tidak akan menjadi bagian dari Uni Eropa.
Hal ini
tentu merupakan sebuah proses anti-mainstream dari proses regionalisme yang
tengah terjadi di dunia. Beberapa wilayah Asia Pasifik dewasa ini tengah dalam
usaha yang mengebu-gebu menuju integrasi kawasan, sama seperti Uni Eropa. Lihat
saja skema ASEAN plus, FTAAP, RCEP, dan TPP yang kesemuanya menjadikan Uni
Eropa sebagai padanan untuk maju. Regionalisme dibutuhkan karena memang proses
penyatuan kawasan tidak hanya memperkuat institusi, tetapi juga memperkuat
perekonomian para anggotanya.
Integrasi
kawasan dipandang sebagai upaya efisiensi penggunaan dan alokasi sumber daya
kawasan sehingga hal tersebut bisa memfasilitasi berjalannya sistem pasar
internasional dan isyarat harga, dengan tujuan menjamin alokasi sumber daya
yang efisien, kompetisi internasional, dan menghubungkan keuntungan bagi semua
pihak. Di Uni Eropa sendiri, mobilitas tenaga kerja di dalam kawasan, foreign
direct investment (FDI), dan arus modal-finansial akan semakin terus
memainkan peran penting dalam menopang struktur perekonomian mereka.
Lebih
lanjut, studi dari Hastiadi (2011) membuktikan bahwa penyatuan kawasan
menyeimbangkan pendapatan dan kesejahteraan negara-negara anggotanya. Mekanisme
distribusi pendapatan tersebut terjadi dalam dua cara. Pertama, penyatuan
kawasan meningkatkan standar pendapatan di suatu negara ketika tenaga kerja
sebagai faktor produksi relatif melimpah. Kedua, fragmentasi produk
menghasilkan produktivitas yang tinggi melalui prinsip skala ekonomi.
Perdagangan bebas juga dipicu FDI, yang keuntungannya akan mengalir kembali sebagaimana
kembalinya modal. Walaupun begitu, persebaran ini akan meningkatkan standar
pendapatan melalui naiknya gaji dan tersedianya lebih banyak lapangan
pekerjaan.
Dengan
begitu banyak keuntungan, kenapa harus ada Brexit?
Mayoritas beranggapan bahwa Uni Eropa terlalu banyak mengatur dan UK telah
membayar terlalu banyak untuk kenggotaan mereka tanpa dampak yang nyata untuk
kesejahteraan mereka. Sebuah pandangan yang menurut hemat saya terlalu myopic.
Menurut hitung-hitungan kami di Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UI, potensi kerugian dengan UK keluar dari uni Eropa jauh
lebih besar. Beberapa di antaranya trade diversion dan investment
diversion yang diprediksikan akan cukup signifikan. Hal ini tentunya akan
sangat mengganggu perekonomian mereka di masa mendatang. Untuk Uni Eropa
sendiri, hal ini tentu akan memantik sebuah fenomena yang disebut efek domino
terbalik (reverse domino effect).
Efek
domino pertama kali diperkenalkan Baldwin (2007) untuk menjelaskan fenomena
pembentukan integrasi kawasan secara sistemis. Di Eropa, bermula dari
berdirinya European Coal and Steel Company yang diprakarsai The Inner
Six (Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Luksemburg, dan Italia) hingga
menggelinding bak domino memacu negara-negara lain untuk bergabung secara
institusional di dalam skema Uni Eropa. Dari proses sebelumnya yang dipacu
pasar (market driven) hingga menjadi sesuatu yang ajek yang didorong
institusi (institusion driven).
Segenap
proses ini dinamakan Baldwin sebagai efek domino. Nah, lepasnya UK dari Uni
Eropa merupakan antitesis dari itu karena Brexit
akan memicu negara-negara anggota lain berlaku serupa. Tidak percaya? Coba saja
tengok berita, belum-belum kita sudah mendengar Prancis juga akan keluar (Frexit). Layaklah dinamakan sebagai efek
domino terbalik. Habislah Uni Eropa.
Bagaimana
nasib dunia ke depan? Yang jelas di tengah kondisi yang tengah gontai, Brexit ini alih-alih menolong, justru
membuatnya semakin lunglai, lemah tidak bertenaga. Bagaimana dengan Indonesia?
Untungnya kita tidak banyak bergantung pada UK dan Uni Eropa. Kita punya mainan
sendiri, ASEAN plus. Cukuplah UK dijadikan pelajaran, tetapi jangan sampai
skema integrasi yang sedang kita usahakan terganggu karena peristiwa ini.
Justru,
ini peluang bagi kawasan Asia untuk merengkuh dominasi di dunia, menjadi kutub
penyeimbang baru, di saat masa depan itu masih cerah. Sementara itu, dampak
jangka pendeknya untuk Indonesia dalam hal pergerakan rupiah terhadap euro dan
pound sterling. Rupiah diperkirakan memiliki kecenderungan yang menguat
terhadap kedua mata uang tersebut karena ada potensi pengalihan investasi
keluar Inggris menuju emerging markets, salah satunya Indonesia. Ke depan,
Indonesia, Asia, bisa saja menjadi semakin perkasa asalkan kita bisa memainkan
peran integrasi kawasan dengan baik.
Halo
Asia, halo ASEAN, halo Indonesia, selamat tinggal Uni Eropa.
oleh Fithra
Faisal Hastadi
disadur dari Media Indonesia, Sabtu, 25 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar