Puasa
Ramadhan telah berakhir dan Idul Fitri kembali menyapa kita. Idul Fitri
bermakna hari kembali sucinya jiwa umat Muslim setelah bergulat dengan puasa
dan rangkaian ibadah sebulan penuh selama Ramadhan. Di negeri kita, perayaan
Idul Fitri memiliki kekhasan tersendiri, yakni sering diistilahkan dengan
"Lebaran" yang tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif,
tetapi juga telah menjadi kultur bangsa yang unik.
Tepatlah
di momen ini, kita perlu mengudarakan kembali refleksi terhadap makna tamaddun
yang berarti keperadaban. Sebuah model masyarakat yang hendak dicitakan oleh
Islam dan telah diteladankan oleh Nabi Muhammad.
Masyarakat
yang berperadaban berarti masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak dan martabat
serta mengelola pluralitas menjadi kekuatan yang positif. Cita-cita inilah
menjadi titik sentral misi kerasulan Nabi Muhammad lewat sabdanya,
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia menjadi lebih
mulia."
Budaya
keperadaban
Pejuang-pejuang
kebangsaan Indonesia sejak dahulu semuanya mempelajari dan mempraktikkan budaya
jujur, adil, arif-bijaksana, tertib, dan disiplin, moderat dan rendah hati.
Unsur-unsur budaya beradab tersebut dipraktikkan dengan pengalaman jatuh-bangun
untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab, bermartabat, dan
terhormat.
Transformasi
berkeadaban dan bermartabat itu dilakukan melalui interaksi yang santun dan
dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural. Di mulai dari pemahaman
perorangan, keluarga, dan masyarakat tentang perlunya cinta kasih antara
sesama, memupuk rasa keindahan, empati dalam penderitaan dan kegelisahan orang
lain, menghormati hukum dan keadilan, memiliki pandangan positif untuk hidup
bersama, mempunyai tanggung jawab dalam pengabdian, serta memiliki harapan yang
optimis dalam kehidupan.
Keadaban
ini jelas bergayut dengan kesadaran terhadap kemajemukan. Masyarakat majemuk
dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan
strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama. Di dalam masyarakat
majemuk, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya
rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk
berkelompok dengan kelompok tertentu.
Dari
sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah
lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan, seperti Sriwijaya,
Majapahit, dan kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-15.
Realitas sejarah mengesankan kepada generasi sekarang bahwa bobot dan kualitas
berkeadaban dan bermartabat itu lahir dari rahim masyarakat yang majemuk.
Moto
Bhinneka Tunggal Ika merupakan cantelan dalam berkehidupan bermasyarakat yang
beradab dan bermartabat. Moto ini adalah cita-cita adiluhung bangsa Indonesia
untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat.
Upaya
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera,
berkeadilan, dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat dapat duduk
sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk
itulah, diperlukan infrastruktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama.
Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat.
Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif,
keterbelakangan, dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan
budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya
dalam sistem kehidupan bersama.
Sikap
sadar kemajemukan berarti pula sikap sadar terhadap multikultural. Artinya,
sikap ini menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Konsep
tersebut mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai
kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian, serta
menghindari sejauh mungkin konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan
sistem sosial di dalamnya.
Konsep
multikultural tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman yang hanya
menggambarkan bahwa kita beragam secara agama, suku bangsa, atau kebudayaan
yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk. Yang terpenting, multikultural lebih
menekankan adanya saling menghargai dan rasa memiliki dalam kesederajatan serta
meningkatkan solidaritas yang menuntut kita untuk melupakan upaya-upaya
penguatan identitas. Kehidupan multikultural adalah landasan kesadaran akan
keberadaan diri tanpa merendahkan yang lain.
Bumi
kedamaian
Bangsa
Indonesia sendiri adalah bangsa yang hidup dalam suasana pluralitas dan
multikultural sehingga terbiasa dengan berbagai perbedaan, serta menerima
perbedaan tersebut dengan prinsip hidup berdampingan secara damai.
Jangan
sampai dalam mengarungi arus modernisasi dan derap perubahan sosial yang cepat,
kedamaian yang sudah berlangsung lama itu terganggu dengan munculnya
konflik-konflik sosial, radikalisme, atau terorisme dengan semangat buta
pembelaan etnik dan agama sehingga integritas keindonesiaan dan kerukunan,
terutama kerukunan umat beragama yang pernah dibanggakan bahkan diakui oleh
bangsa lain, menjadi luntur.
Kebinekaan
merupakan kekayaan. Keberadaan dan perbedaan agama jelas sebagai rahmat yang
harus disyukuri. Agama datang untuk kehidupan, demi membangun kehidupan yang
tenang, aman, dan damai. Namun, jika kehidupan ini dijadikan sebagai industri
kekerasan, tentu hidup manusia tidak akan aman.
Karena
itu, perlu dikembalikan menjadi industri kecintaan yang diharapkan tercipta
suatu kedamaian. Ada dua pilihan hidup di dunia ini. Untuk menjadikan rahmat
atau dihancurkan oleh globalisme. Supaya kita menjadi rahmat, kita harus saling
mengakui pluralitas. Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan, penciptaan dunia
ini dan perbedaan lidah dan bahasa kita, kita harus mengembalikan integrasi dan
kerja sama sesama kita.
Bumi
ini diciptakan untuk kita semua. Semua berhak hidup di bumi ini. Kita
harus berpacu untuk memuliakan manusia demi keberlangsungan hidup mereka.
Justru yang harus kita lawan adalah kezaliman dan kekerasan karena hanya akan
melawan kefitrian. Nah, momentum Idul Fitri kali ini dapat dijadikan sebagai
peneguhan kembali dari kita semua demi membangun hidup yang harmonis dan penuh
tenggang rasa dalam berbangsa dan bernegara
oleh
Said Aqil Siraj
disadur dari Kompas, Selasa, 5 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar