Menurut
pemahaman umum umat Islam Indonesia, Idul Fitri dipahami sebagai "kembali
kepada kesucian." Umat Islam yang berpuasa selama Ramadhan dan merasa
diampuni dosa-dosanya, dinilai sebagai manusia yang memperoleh kembali status
kesucian, sesuai kondisi natural dirinya yang terlahirkan dalam keadaan suci.
Jika
pemahaman ini dibenarkan, umat Islam yang terlibat korupsi dan berbagai
kejahatan lainnya, memperoleh justifikasi teologis sebagai manusia yang
terlahirkan kembali kepada kesuciaan di hari raya Idul Fitri. Pemahaman ini
salah, dan melalui momentum hari raya ini, perlu direnungkan kembali makna Idul
Fitri yang benar.
Dalam The Foreign Vocabulary of the Qur'an
(1938), Arthur Jeffery, memasukkan 'id
ke dalam kosakata asing, yang berasal dari bahasa Suriah, 'ida, bermakna "hari raya" dan, lebih spesifik dalam
tradisi Kristen, sebagai "hari raya liturgi" (a liturgical festival).
Dalam
tradisi Kristen, istilah 'id al-rusul
dipakai untuk merujuk pada hari raya Santo Peter dan Paul; 'id jami' al-qiddisin untuk merujuk pada hari raya orang-orang suci
(santo); 'id al-fish untuk merujuk
pada hari raya Paskah; dan, yang lebih penting lagi, 'id al-milad untuk merayakan hari raya Natal, kelahiran Yesus.
Dalam
konteks inilah, istilah 'id sudah
biasa digunakan dalam tradisi hari raya agama monoteistik, seperti Kristen.
Konteks
tradisi monoteistik
Dari
sudut pandang sejarah, Islam hadir tidak dalam ruang hampa. Studi Islam di
Barat akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari
tradisi agama-agama monoteistik sebelumnya, yakni Yahudi dan Kristen.
Bahkan,
sarjana-sarjana besar, seperti John Wansbrough dan GR Hawting membuktikan bahwa
Islam hadir dalam konteks tradisi yang bukan politeistik, seperti pemahaman
tradisional Islam selama ini, tetapi justru monoteistik dan aktif berpolemik
secara teologis dengan agama- agama
monoteistik pra-Islam.
Puasa
yang dijalankan selama Ramadhan menjadi salah satu bukti bahwa Islam hadir
dalam iklim keagamaan yang monoteistik. Puasa bukan semata-mata tradisi baru
dalam Islam, tetapi sudah menjadi tradisi keagamaan monoteistik yang sudah
dilaksanakan kaum Yahudi dan Kristen.
Kewajiban
puasa di bulan Ramadhan pun sudah pernah diperintahkan kepada mereka yang
termasuk dalam kategori ahl al-kitab, terutama orang-orang Yahudi dan Kristen.
Setibanya
hijrah di Madinah, Nabi juga berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Saat itu,
Nabi menyaksikan orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa pada peristiwa Yom
Kippur yang jatuh pada hari ke-10 Tishri dalam kalender Yahudi, atau biasanya
dikenal sebagai "Ashura"
dalam tradisi Islam.
Ketika
Nabi bertanya tentang alasan berpuasa, orang-orang Yahudi menjawab bahwa "Ashura" adalah hari di mana Tuhan
menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa dan anak- anak Israel. Nabi pun berkata: "Kami memiliki hak yang lebih
besar kepada Musa daripada yang kamu miliki."
Riwayat
ini terekam dalam khazanah intelektual Islam, mulai dari kitab-kitab Hadits
yang kanonikal, seperti Sahih Bukhari dan Muslim, sampai kitab-kitab sejarah
yang otoritatif, seperti Tarikh al-Tabari.
Selain
puasa yang menjadi bukti dari sejarah Islam yang hadir dalam iklim yang
monoteistik, 'id juga merupakan nomenklatur keagamaan lain yang tak dapat
dipisahkan dengan tradisi agama monoteistik Kristen. Apalagi, Islam mengklaim
dirinya sebagai kontinuitas dari agama-agama monoteistik sebelumnya. Karena
itu, tak heran Nabi Muhammad dan pengikutnya, umat Islam, juga merayakan hari
raya keagamaan.
Konteks
festival keislaman
Dalam
konteks festival keislaman, umat Islam merayakan setidaknya dua hari raya
kanonikal: Idul Adha pada 10 Zulhijah dan Idul Fitri pada 1 Syawal. Makna 'id dalam dua festival keislaman ini
tidak merujuk pada makna "kembali", seperti Idul Fitri dimaknai
sebagai "kembali kepada kesuciaan" dan Idul Adha sebagai
"kembali kepada kurban."
Tentu
saja, pemahaman ini salah, karena makna 'id dalam konteks festival keislaman
ini sama-sama merujuk pada hari raya,
sebagaimana makna 'id dalam tradisi
hari raya agama Kristen. Karena itu, Idul Fitri lebih tepat dimaknai sebagai
"hari raya buka puasa" (festival
of fast-breaking) dan Idul Adha ('idal-adha)
sebagai "hari raya kurban."
Dalam
kitab hadits Sahih al-Bukhari, Nabi Muhammad melarang puasa pada dua hari raya
itu dan justru merekomendasikan kepada umat Islam untuk merayakan hari raya
Idul Adha dengan penyembelihan hewan kurban (festival of sacrifice) dan hari raya Idul Fitri dengan berbuka
puasa dan makan (festival of
fast-breaking).
Disebut
sebagai hari raya buka puasa, karena hari raya Idul Fitri adalah penanda dari
akhir puasa selama Ramadhan, sehingga kita diharamkan untuk puasa pada 1
Syawal. Dan, benar pula ketika Ali Mustafa Ya'qub (almarhum) menyebut Idul
Fitri dengan tepat sebagai "hari raya makan," karena makna al-fitr itu sendiri adalah makanan.
Bahkan,
sebelum shalat Idul Fitri ditunaikan, Nabi merekomendasikan umatnya untuk makan
terlebih dahulu. Sesudah shalat Idul Fitri pun, umat Islam saling berkunjung
untuk memaafkan satu sama lain, sambil menikmati momentum Idul Fitri sebagai
"festival makanan" di setiap rumah
oleh
Sukidi
disadur
dari Kompas, Selasa, 5 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar