Adakah
saat yang paling dirindukan para pengembara selain menemukan momen kepulangan?
Fakta keterlemparan manusia dari "langit suci" dan kebertualangan
dari asal tumpah darah membuat sukmanya senantiasa resah-gelisah, merindukan
luang berpulang ke rahim Ilahi dan kampung halaman.
Kesibukan
mengejar kebutuhan dan kesenangan duniawi bisa membuat orang lupa diri sebagai
perantau. Al-Ghazali mengibaratkan "materi" itu laksana kuda
tunggangan bagi jiwa dalam pengembaraan jati dirinya. Sang jiwa harus memenuhi
kebutuhan tunggangannya agar bisa mencapai tujuan. Namun, jika terlalu banyak
menyita masa untuk memberi makan dan mengaguminya, sang jiwa mengantuk, tercecer
di perjalanan, tak mencapai tujuan kepulangan.
Jeda
puasa diharapkan bisa membuat sang jiwa siuman kembali. Buah dari kekhusyukan
ibadah dan amal saleh adalah membersihkan kembali cermin hati, alat pemancar
roh Ilahi. Hati yang bersih bisa memantulkan kembali cahaya Tuhan dan tumpuan
manusia mengaca diri. Dengan mengaca diri, manusia bisa mengenali siapa
dirinya; dari mana berasal dan ke mana berpulang.
Demikianlah,
sepanjang tahun para perantau bergelut mengejar nikmat, berkah langit yang
turun bak air hujan. Lewat penyadaran puasa, kedatangan Idul Fitri menjemput
mereka kembali ke kelampauan asal spiritual dan sosial, seperti akar yang
meneruskan air hujan ke sungai, lantas mengalirkannya hingga ufuk terjauh.
Seperti
burung yang riang pulang ke sarang, kita rayakan kepulangan ke rahim fitri
dengan sukacita. Kepulangan ini terasa lebih syahdu dengan senandung gema
kebesaran Tuhan serta bingkisan bagi handai tolan. Setelah setahun menyerap
hujan berkah langit, saatnya pengembara merembeskan air kebahagiaan bagi warga
bumi agar akar rumput di segala pelosok negeri bangkit kembali dari
kekeringannya.
Kebahagiaan
terasa sempurna ketika kesuburan bumi terjaga berkat kerelaan berbagi. Al Quran
melukiskan nafkah yang dibagikan ibarat sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, dan setiap bulir berbuah seratus biji (QS. 2: 261). Semakin banyak
memberi, semakin banyak menerima, sehingga kesuburan dan kesejahteraan negeri
bertambah.
Menurut
Deepak Chopra, tubuh dan mental manusia senantiasa menjalin relasi saling memberi
dan menerima dengan semesta. Mencipta, mencintai, dan menumbuhkan menjamin
keberlangsungan relasi ini. Semakin banyak kita memberi makin terlibat dalam
sirkulasi energi semesta; pada gilirannya semakin banyak kita peroleh dalam
bentuk cinta, materi, dan ketenteraman.
Maka,
jika kita memberi, berilah dengan senang hati. Jika hendak diberkati,
berkatilah sesama dengan mengirimkan percikan pemikiran positif. Jika kita tak
punya uang, berikanlah pelayanan. Kita tidak pernah kekurangan dalam apa yang
dapat diberikan.
Semangat
saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh ini terasa kian penting
saat kehidupan negeri dilanda banyak cobaan. Menjelang Idul Fitri, berbagai
tanda kelesuan perekonomian, dekadensi politik dan kesusilaan membuat langit kejiwaan
bangsa ini diselimuti mendung pesimisme.
Menghadapi
kemungkinan musim paceklik berkepanjangan, yang kita perlukan bukanlah
pesimisme atau optimisme yang buta. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk
menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk
melihat situasi secara lebih akurat. Meski demikian, kita tak perlu hanyut
dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membuat kita terpenjara dalam
ketidakberdayaan.
Lebaran
harus menghadirkan optimisme mata terbuka bahwa tiap krisis mengandung peluang
pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab mengatakan, "Betapa banyak
jalan keluar yang datang setelah kepahitan, dan betapa banyak kegembiraan
datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada Pemilik Arasy, akan memetik
manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri."
Optimisme
yang produktif haruslah berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi
dan komitmen hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat
kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini,
serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan
dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, dengan mentalitas
kepemimpinan yang lebar dan lebur.
Optimisme
hendaklah bersifat realistis bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan
sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan dengan pengorbanan. Dalam gundukan
sampah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, diperlukan persenyawaan jutaan
titik embun untuk bisa menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis
kekotoran yang melumuri jiwa kenegaraan.
Dengan
Idul Fitri, manusia mestinya bertobat (kembali) ke jalan fitrah (kemurnian asal
kita sebagai manusia dan bangsa). Dengan hati suci yang bertaut dengan
gelombang pertobatan kolektif, kita hadapi hadangan krisis dengan menguatkan
integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.
oleh
Yudi Latif
disadur dari Kompas, Selasa, 5 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar