Kolom René L Pattiradjawane di harian ini, Kamis (16/6), mengangkat persoalan Laut
Tiongkok Selatan dikaitkan dengan peta. Dari sudut pandang pemetaan tulisan
Rene menarik terkait persoalan: (i) sikap dan posisi Indonesia terhadap kasus
LTS, dan (ii) misteri peta.
Persoalan
pertama terkait dengan persoalan kedua. Artikel ini mengangkat persoalan kedua
yang menyimpan misteri dan silang sengkarut peta.
Misteri
"Sembilan Garis Putus"
Awal
misteri, tahun 1947 ada ketidakkonsistenan peta yang dikeluarkan oleh Republik
Rakyat Tiongkok (RRT). Ada nine dashed
line (NDL, sembilan garis putus-putus), ada pula 11-DL dan 10-DL. Analisis
kartografi menyimpulkan, NDL bukan bagian dari 10-DL atau 11-DL. Demikian pula
di era Pemerintahan RRT sejak 1949 yang menerbitkan
peta NDL. Tahun 2009, RRT resmi menyampaikan peta NDL ke PBB, tetapi pada 2013
mengeluarkan peta 10-DL. Apa maksud RRT mengubah-ubah dashed line di peta LTS?
Misteri
peta NDL terletak pada koordinat dan definisi garis hubung satu titik dengan
titik lainnya. Apakah garis geodesics atau loxodrome? Dalam ilmu
pemetaan, kedua garis itu beda arti. Misteri lainnya, peta NDL yang disampaikan
ke PBB ternyata mengandung banyak kesalahan.
Juga
soal peta 1947 berjudul Map of South China Sea Islands dan peta 1935
berjudul Map of Chinese Islands in the South China Sea. Peta 1935 yang
dipublikasikan oleh the RoC's Land and Water Maps Inspection Committee
itu mengindikasikan bahwa pulau-pulau di LTS yang tergambar di dalam peta NDL
adalah milik RRT. Sementara pada peta 1947 bisa diartikan lain.
Apa
aturan hukum di RRT pada waktu itu tentang tanah dan perairannya? Contoh, di
Indonesia tahun 1947 lebar laut wilayah setiap pulau didefinisikan tiga mil
laut (NM) dari garis pantai. Hal seperti ini juga dianut di Singapura dan
banyak negara di dunia.
Silang
sengkarut peta dan koordinat NDL terjadi ketika Rene mengekstraksi koordinat
NDL dari peta NDL. Cara itu tak semestinya dilakukan karena penelitian terhadap
peta NDL RRT menunjukkan bahwa peta tersebut banyak mengandung kesalahan
geodetik, geometrik, dan kartografik.
Tentang
Atlas Kawasan Penangkapan Ikan Spratly, benarkah setiap "dash" NDL
itu merupakan sumbu tengah dari setiap area TFG? Dalam hal ini penulis
menyinyalir bahwa penggambaran "blok-blok" di atlas tersebut ada
rekayasa oleh non-authorized person.
Makna
temuan Rene, menurut penulis, mungkin RRT tengah memainkan kekuatan peta, the
power of maps. Peta dijadikan alat kekuatan politik dan diplomasi. Peta
dijadikan alat untuk membuat dan mengacaukan persoalan. Indonesia hendaknya
berhati-hati dalam menghadapi RRT dengan the power of maps-nya.
Selain
peta RRT, masih ada peta-peta yang diterbitkan oleh Malaysia dan Vietnam, serta
oleh para analis geografi politik internasional yang menambah silang sengkarut
persoalan. Perlu dicatat bahwa cara-cara Malaysia dan Vietnam dalam membuat
proyeksi batas maritimnya tidak menghormati Indonesia sebagai negara kepulauan.
Peta
Malaysia 1979, begitu terbit langsung diprotes oleh banyak negara. Peta
tersebut mengindikasikan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) berimpit dengan
batas landas kontinen. Padahal, menurut UNCLOS, landas kontinen dan ZEE dua
rezim yang berbeda.
Peta
Vietnam lebih eksesif lagi. Vietnam membuat proyeksi batas terluar ZEE-nya
hingga di atas 200 mil laut, tanpa menghiraukan keberadaan garis pangkal
Kepulauan Indonesia. Akibatnya, ada satu titik yang hanya berjarak kurang 60
mil laut dari Pulau Natuna, tetapi lebih 240 mil laut dari Vietnam. Di bagian
timur, Vietnam malah memblok hak maksimal ZEE Indonesia pada jarak 160 mil laut
dari garis pangkal Indonesia.
Kemudian,
peta submisi landas kontinen di atas 200 mil laut di LTS yang diajukan Malaysia
dan Vietnam ke UN-CLCS tahun 2009. Submisi tersebut diprotes RRT karena berada
di wilayah sovereignty RRT. Protes RRT dilampiri peta NDL, tanpa merinci
koordinatnya. Dalam kasus ini Indonesia meminta klarifikasi RRT tentang
koordinat NDL.
Peta
NKRI dan peta WPP-RI
Peta
NKRI memuat garis batas terluar zona-zona maritim Indonesia sesuai UNCLOS.
Khusus di LTS, proyeksi batas terluar ZEE Indonesia ada yang tumpang tindih
dengan tetangga dan ada yang bisa maksimal. Atas dasar proyeksi tersebut,
Indonesia melakukan penegakan hukum hingga batas terluar. Di LTS, Indonesia
tidak pernah mengakui eksistensi peta NDL.
Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
Indonesia dilampiri peta dan daftar koordinat titik-titik terluar ZEE Indonesia
yang merujuk peta NKRI. Peta dan daftar koordinat itu jadi acuan penegakan
hukum di ZEE Indonesia.
Lalu,
akankah RRT mengklarifikasi koordinat NDL? Adakah pelajaran dari persoalan
silang sengkarut peta di LTS ini?
Dalam
pandangan penulis, setidaknya ada tiga hal strategis yang perlu perhatian.
Pertama, kepada otoritas negara di bidang polhukam agar memantapkan posisi RI
secara konsisten dalam menghadapi "permainan the power of maps" RRT.
Kedua,
kepada otoritas penegak hukum di laut, perlu memadukan berbagai kekuatan yang
ada dengan menggunakan satu pegangan peta, sesuai dengan kebijakan Satu Peta
Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Ketiga,
kepada otoritas pemetaan nasional, perlu melakukan kajian tentang peta-peta
terbitan RRT, serta kajian perkembangan hukum lautnya
oleh
Sobar Sutisna
disadur dari Kompas, Selasa, 5 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar