Banyak
yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan menggelikan
Banyak
yang terus pamer keberanian dengan kebodohan mengharukan
Petikan
sajak Mustofa Bisri: "Negeri ha ha hi hi"
Di
zaman serba terbuka, kita terus disuguhi parodi tunanilai di luar batas
kepatutan. Figur-figur cacat moral melenggang ke pentas politik dan mengisi
jabatan publik. Penegak hukum berulang kali tertangkap sedang memperdagangkan
keadilan. Para "Yang Mulia"
menukar sumpah jabatan demi fulus. Banyak aparat negara
menggadaikan kehormatan dan berbalik menjadi kacung kejahatan.
Kita
mengidap krisis martabat ketika wabah berkuasa dan rakus bersimbiosis
dengan anasir jahat dan merusak. Nilai-nilai keluhuran dan kebajikan
memunggungi kewibawaan dan amanat. Hasrat mendominasi keyakinan berbalut
fanatisme dipakai untuk menebar kebencian, mengintimidasi, dan mengoyak
persatuan. Membelah publik dalam dua kutub diametral: pemuja dan pembenci
(lovers and haters).
Sebab-musabab
krisis moral dan keadaban ini dapat dilacak dari absennya pembelajaran bangsa
dalam waktu yang lama. Filosofi dan
praktik pendidikan ringkih dan kedodoran membentuk watak bangsa sehingga
menelurkan mentalitas lembek, pragmatis, gaduh, dan suka menerabas. Kegagalan
membumikan pesan mulia agama membuat cahaya keilahian dan perwujudan cinta
kasih memudar. Akibatnya, realitas kehidupan keseharian bermasyarakat dilumuri
kebencian, syak wasangka, kemarahan, keputusasaan, sifat-sifat destruktif dan
kebejatan (Gary Zukaf, 1990: The Seat of the Soul).
Kita
juga rentan dan kerap dilanda isu pribumi dan nonpribumi secara dangkal.
Pahlawan nasional Laksamana Muda John Lie (1911-1998) memberi definisi lugas:
"Pribumi adalah orang-orang yang jelas-jelas membela kepentingan negara
dan bangsa, sedangkan nonpribumi adalah mereka yang korupsi, pungli, memeras,
dan melakukan subversi."
Pendidikan
dan kebudayaan semestinya jadi akar tunjang peradaban, syarat mutlak
berkembang-biaknya kemajuan dan keluhuran akal-budi. Pendidikan yang
membebaskan, meneguhkan nalar. Mengembangkan sikap skeptis, menyuburkan
ekspresi dan imajinasi. Memuliakan proses "menjadi manusia" (human being), bersumbu-alas penguasaan
basis sains, sosial, dan budaya. Ini bukan sekadar soal kurikulum, akreditasi,
sertifikasi, dan "tetek-bengek" lainnya.
Pendidikan
dan riset berkualitas memanen kreasi dan inovasi berlimpah. Sejumlah
negara, seperti Israel, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Korsel, gigih menyemai
benih keunggulan untuk memenangi masa depan melalui penemuan dan
pendaftaran ribuan hak paten dari bisnis rintisan sampai pendakuan advance
technology. Sementara kita
semakin terjerembap menjadi bangsa konsumen.
Revolusi
mental
Sejarah
modern memberi pertanda jelas bagaimana bangsa-bangsa melakukan
transformasi fundamental guna meraih kejayaan. Barat mengawali dengan
renaisans, Jepang lewat Restorasi Meiji, Tiongkok mencetuskan Revolusi
Kebudayaan berlanjut sosialisme pasar, Korsel membangkitkan spirit Sungai Han
dengan target mengungguli Jepang yang pernah menjajahnya. Pendeknya, semua
bermula dari upaya mendarah-dagingkan kekuatan otak-watak, akal-budi unggul
demi memuliakan martabat bangsa. Presiden
Korsel, Park Chung-hee, tahun 1962 melecut semangat rakyatnya setelah negeri
itu luluh lantak dilanda perang saudara. "Meskipun kita tidak bisa
mencapainya pada masa hidup kita, mari bekerja keras demi anak cucu kita agar
mereka bisa hidup makmur seperti orang-orang di bagian dunia lain."
Pelajaran
pentingnya, kemajuan tak diperoleh dan dicapai dalam waktu singkat. Harus ada
"titik berangkat" yang menjadi konsensus dan tekad bulat bersama.
Presiden Jokowi telah menggulirkan Revolusi Mental sedari awal
pemerintahannya. Sayangnya, kerangka operasi dan determinasi untuk memandu
diseminasi paradigma dan mindset ini
belum kompatibel menggerakkan perubahan. Ia
membutuhkan pembuktian otentik dan perubahan signifikan terlebih dulu di
lingkup birokrasi pemerintah.
Salah
satu petunjuk terdeteksi dari tidak optimalnya peluncuran 12 paket
deregulasi ekonomi untuk menstimulus pergerakan dan pertumbuhan. Hambatannya
tetap berkutat pada lemahnya koordinasi antar-kementerian dan lembaga di pusat,
serta antara pusat dan daerah. Juga tumpang tindih regulasi yang cenderung awet
menjadi penghalang realisasi program. Problem klasik ini menunggu pemecahan
radikal dan ketersediaan sejumlah pemimpin mumpuni untuk mengurai kebuntuan.
Tugas
sejarah
Saat
maju sebagai kandidat presiden AS tahun 1959, John F Kennedy berpidato
mencanangkan tapal batas Pencapaian Baru (New Frontier) untuk menyambut tantangan masa depan yang disebutnya "belum dikenal dan dipetakan".
Ia mengajak rakyat Amerika, generasi baby boomers yang tidak
mengalami perang dan kesulitan
ekonomi, melanjutkan warisan tugas presiden
sebelumnya, yakni Kebebasan Baru (New Freedom) Woodrow Wilson dan
Pengaturan Baru (New Deal) Franklin D Roosevelt.
Tiga
puluh tahun sebelum pidato Kennedy, Bung Karno menyeru kaum terpelajar
Nusantara agar bersatu memandu rakyat
meraih kemerdekaan, mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme. "Di
seberang jembatan emas kemerdekaan itu, baru kita leluasa menyusun masyarakat
Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi." (Indonesia
Menggugat, 18 Agustus 1930).
Ia
berulang kali mewanti-wanti agar
mewaspadai bahaya "penjajahan berbaju baru" yang berkolaborasi dengan
elite, menghancurkan daulat rakyat dan peri-kehidupan bangsa.
"Perjuanganku lebih mudah karena
mengusir penjajah, akan tetapi perjuanganmu kelak akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri." Tugas
sejarah generasi penerus telah
dipetakan oleh para pendiri republik, yaitu memastikan pertumbuhan kecerdasan
rakyat dan meletakkan pijakan kokoh untuk menjamin berlangsungnya redistribusi
kesejahteraan secara merata. Keduanya mensyaratkan penumbuhan dan penguatan
kapasitas nasional berkelanjutan. Inilah sokoguru, resep generik bangsa pemburu
kemajuan.
Penguatan
kapasitas nasional memerlukan penciptaan level playing field yang adil di semua jenjang pendidikan dan
lapangan usaha. Pendidikan berkualitas dan pembangunan karakter
kewirausahaan mesti disadari sebagai investasi modal manusia sehingga
terhadapnya pertimbangan cost
consciousness menjadi kurang relevan. Biaya pendidikan tinggi mahal dan
minimnya riset tentu membatasi kemampuan bangsa keluar dari ketertinggalan.
Redistribusi
kesejahteraan hanya akan bertumbuh kuat, besar, dan menyebar di atas landasan
kesempatan berusaha yang memungkinkan sebanyak mungkin pelaku ekonomi bergiat.
Fakta menunjukkan, semua negara maju dan stabil politiknya mempunyai karakter
serupa: bagian terbesar penduduknya produktif, cerdas, dan setara. Ketimpangan, kemiskinan, dan
pengangguran akan terus menghantui jika
negara gagal membangun basis pemerataan "titik api" sumber-sumber pertumbuhan, mengabaikan pemihakan
terstruktur terhadap pelaku usaha mayoritas dan paling membutuhkan kesempatan.
Pragmatisme dalam menyiasati kelesuan
ekonomi, mustahil menggulirkan gerak langgeng kemajuan.
Konjungtur
ekonomi dunia di masa depan dihinggapi ketidakpastian, apalagi pasca Brexit (keluarnya Inggris dari Uni
Eropa). Mengingat skala ekonomi dan integrasi kita ke dalam ekonomi global
(mengutip Joseph Stiglitz, 1998) ibarat perahu kecil yang mengarungi samudra
bergelombang besar, pertahanan terbaik adalah memupuk dan menguatkan struktur
kemandirian agar tidak terus menderita diempas badai krisis.
Pada
era rezim-rezim sebelumnya, aneka kebijakan dan pilihan strategi pembangunan semakin
memundurkan tapal batas kedaulatan dan kemandirian bangsa. Defisit luar biasa neraca sosial-ekonomi berupa kemerosotan
karakter bangsa, ketidakadilan, dan kerusakan
sumber daya alam, lebih dari cukup sebagai pembelajaran berharga bagi pemegang
otoritas untuk meneguhkan visi besar
dan mengeksekusi kebijakan substansial.
oleh
Suwidi Tono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar