“China
adalah raksasa tidur, biarkan dia tertidur, sebab bila dia bangun, akan
mengejutkan dunia.”
Berdiri
di atas panggung berbentuk teater yang disediakan untuk undangan luar negeri di
Tiananmen, persis di depan foto Mao Zedong yang tergantung kokoh di tembok
raksasa di pinggir lapangan, saya bersama sejumlah jurnalis dari berbagai
negara Asia yang diundang Kementerian Luar Negeri China untuk menghadiri
perayaan ulang tahun Partai Komunis China pada awal 2000-an memandang dengan
takjub parade otot militer negara ini.
Rudal-rudal
jelajah, pesawat tempur, dan puluhan mesin pembunuh lainnya bergerak lambat
melintasi penonton yang berdecak kagum, tidak terkecuali saya. Puluhan ribu
warga Beijing yang berbaur dengan undangan berteriak seperti paduan suara: hidup
China. Staf Kementerian Luar Negeri China yang mendampingi kami sebagai
penerjemah dengan lancar memproklamirkan bahwa semua mesin militer yang
menakutkan itu buatan China.
Bagi
saya, kebenaran informasi itu tidaklah penting sebab apakah itu buatan China
atau Rusia, pesan yang ingin disampaikannya sama jelasnya: hati-hati dengan
kami. Di bawah cuaca pagi yang segar, saat itu kualitas udara Beijing masih
sangat bersih, saya bertanya-tanya apakah pernyataan Napoleon dua ratus tahun
silam yang lebih mirip ramalan yang dikutip di awal tulisan ini akan menjadi
kenyataan? Ya... Napolen benar belaka.
China
akan menguasai dunia, tapi bukan dalam pengertian militer, melainkan dalam
bidang ekonomi. Dua abad setelah Napoleon berkata seperti itu, China melangkah
ke panggung dunia sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua, menyalip
negara-negara maju lain. Pengamat yang paling optimistis sekalipun tidak pernah
membayangkan ini akan menjadi kenyataan.
Beberapa
tahun lalu sebuah survei global menemukan bahwa masyarakat Barat, terutama di
Eropa, mengkhawatirkan ekonomi China akan mendominasi dunia. Seorang akademisi
dari London School of Economic, bernama Martin Jacques, membuat
perkiraan mencengangkan bahwa China akan menguasai dunia, menjadi negara dengan
keperkasaan ekonomi nomor satu, mendahului Amerika dalam sepuluh tahun
mendatang atau paling telat lima belas tahun lagi.
Dalam
bukunya yang berjudul When China Rules The World, Jacques mengatakan, jika
waktu itu tiba, bahasa Mandarin akan menggantikan bahasa Inggris sebagai lingua
franca. Setidak-tidaknya menjadi bahasa kedua dalam pergaulan dunia. Mungkin
perkiraan Jaques terlalu berlebihan, mengingat pertumbuhan ekonomi China dalam
beberapa waktu terakhir ini yang merosot di bawah 10% per tahun.
Namun,
itu soal waktu belaka. Sejumlah fakta yang kita saksikan belakangan ini
berbicara jelas tentang arah dan pencapaian negara ini. Coba kita periksa
beberapa di antaranya. Industrial and Commercial Bank of China (ICBC)
adalah bank yang kumuh dan loyo kekurangan darah, khas perusahaan milik negara
komunis, sebelum go public pada 2006.
Saat
menjual sahamnya di bursa Hong Kong, bank ini meraup USD19 miliar yang
menepatkannya sebagai yang terbesar dalam sejarah penawaran saham. Dalam tiga
tahun terakhir ini, ICBC, yang salah satu cabangnya di luar negeri berkantor
megah di Jalan Sudirman Jakarta, menjadi bank nomor satu versi majalah Forbes
sebagai emiten terbesar dunia. Setahun setelah penjualan sahamnya, ICBC sudah
menancapkan kuku-kukunya di luar negeri.
Pada
2017, ICBC mencaplok 20% saham Standar Bank, bank terbesar di Afrika.
Pengambilalihan ini bukan tanpa alasan yang jelas. Pertimbangan di belakang
akuisisi ini sangat jelas: menguasai dunia. Pada awal-awal reformasi ekonomi
China, John dan Doris Naisbit mencatat bahwa badan-badan usaha negara adalah
kuburan bagi begitu banyak aset tak produktif.
Namun,
semua kebobrokan itu berubah setelah Beijing mengambil langkah cerdik dengan
membiarkan investor luar negeri mengelola aset-aset buruk itu. Gaya manajemen
juga berubah dari diktator dan kuno menjadi partisipatif dan modern. Jadi
tidaklah mengherankan bila saat ini China enterprise berada di mana-mana di
ujung-ujung dunia, mengambil alih perusahaan-perusahaan bagus.
Aksi
korporasi yang paling mutakhir seperti ditulis KORAN SINDO (9 Juni 2016),
pembelian mayoritas saham klub sepak bola Inter Milan oleh perusahaan ritel China
Suning Commerce, menyusul sebelumnya pembelian perusahaan market place berbasis di Singapura,
Lazada, oleh Alibaba.
KORAN
SINDO mencatat nilai akuisisi gabungan BUMN dan swasta China di luar negeri
tidak kurang dari USD109 miliar tahun ini. Nilai itu akan terus bertambah
seiringan akan banyaknya perusahaan China yang membeli saham-saham perusahaan
asing di luar negeri.
Ketika
negara-negara Barat mengalami kemerosotan ekonomi pada 2008, negara-negara
industri itu berpaling ke Beijing untuk meminta negara itu membeli surat-surat
utang mereka dan memberi pinjaman. Peran negara ini dalam perekonomian dunia
sudah sangat jelas.
Saat
dibawa berkeliling mengunjungi perusahaan-perusahaan negara, saya datang dengan
pemahaman bahwa BUMN ini pastilah kumuh dan tidak bersemangat, namun gambaran
saya itu sepenuhnya runtuh setelah melihat langsung kantor dan fasilitas
produksi mereka yang modern. Tapi, waktu itu saya tidak membayangkan lompatan
sehebat seperti saat ini. “Ah .. paling juga akan mengekor di belakang
Indonesia,” begitu pikiran saya waktu itu. Saya salah sepenuh-penuhnya.
Oleh Rahman Mangussara
Disadur dari Koran
Sindo, Selasa, 28 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar