Lembaga
independen internasional pengkaji bidang militer, Stockholm International
Peace Research Institute (SIPRI), pada 2015 melansir data yang menarik
untuk dicermati mengenai impor senjata di kawasan Asia Tenggara. Laporan
tersebut mengungkap, Indonesia merupakan importir alat utama sistem
persenjataan (alutsista) terbesar kedua di Asia Tenggara dengan nilai USD683
juta (sekitar Rp9,3 triliun). Jumlah tersebut hanya kalah dari Vietnam yang
mengimpor senjata senilai USD870 juta (sekitar Rp11,8 triliun).
Adapun
impor alutsista Indonesia terbanyak berasal dari China (648 unit), Inggris (505
unit), dan Amerika Serikat (462 unit). Lantas bagaimana memaknai data tersebut
seiring dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kemandirian pertahanan
dengan mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, khususnya dalam konteks
membangun kemandirian industri pertahanan nasional Indonesia dalam jangka
panjang?
Quo
Vadis Kemandirian Industri Pertahanan
Pada
dasarnya pengadaan alat pertahanan keamanan bermuara pada dua garis besar
kebijakan: impor atau produksi sendiri. Kedua pendekatan tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan. Sebab bagaimanapun penting untuk diketahui,
kemandirian industri pertahanan yang sepenuhnya merupakan hal yang sulit
dicapai.
Bahkan
oleh negara-negara maju sekalipun lantaran penyebaran bahan baku, teknologi,
dan efisiensi produksi di beberapa negara membuat sebagian pelaku industri
pertahanan harus saling mendukung. Kendati demikian, hal tersebut tidak
serta-merta menjadi pembenaran dalam jangka panjang untuk terus-menerus
mengimpor alutsista dari negara lain.
Setidaknya
ada dua pertimbangan mendasar mengapa kita harus mempersiapkan sedini mungkin
kemampuan dan dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan industri pertahanan
nasional kita yang kompetitif, sebagaimana pilihan kebijakan yang telah
diamanatkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan dan
regulasi lain bahwa Indonesia akan mengambil jalan kemandirian untuk membangun
industri pertahanannya.
Kemandirian
yang dimaksud negara memegang kendali dalam menentukan pembuatan, perawatan,
penggunaan, serta pengadaan alutsista. Pertama, Indonesia dapat belajar dari
pengalaman masa lalu ketika Amerika Serikat dan sekutunya pada 1999–2005
mengembargo Indonesia sehingga kita tidak boleh membeli alutsista dan suku
cadangnya dari mereka.
Tidak
sebatas itu, berbagai alutsista milik Indonesia yang sudah dibeli juga tidak
boleh digunakan. Yang lebih menyedihkan, Amerika Serikat dan Inggris juga tidak
menyediakan suku cadang untuk berbagai alutsista milik Indonesia. Kondisi tersebut
ketika itu secara langsung mempengaruhi kekuatan pertahanan Indonesia sehingga
pada akhirnya mempengaruhi banyak hal, terutama menurunnya efek deterrence
dalam menjaga kedaulatan Indonesia.
Ringkasnya
dari pengalaman masa lalu tersebut, kita dapat menarik pelajaran penting bahwa
kekuatan pertahanan yang tercipta dari impor senjata sesungguhnya merupakan
kekuatan semu. Kedua, keuntungan jika Indonesia memiliki industri pertahanan
yang maju dan mandiri adalah keuntungan ekonomi yang diharapkan akan memberikan
sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri karena uang negara tidak
banyak mengalir ke negara lain yang memiliki kemampuan memproduksi alutsista.
Selain
itu industri pertahanan yang sehat juga akan mendorong adanya kluster-kluster
yang dapat memberikan efek domino bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Jika
dilihat dari sisi APBN, jumlah anggaran pertahanan Indonesia beberapa tahun
belakangan ini sesungguhnya trennya selalu naik sejalan dengan proyeksi yang
pernah dibuat Jane’s Defence Budget bahwa anggaran pertahanan Indonesia
akan naik dua kali lipat dari sekitar Rp50 triliun pada 2010 menjadi sekitar
Rp100 triliun pada 2017.
Jumlah
tersebut dari sisi ideal jumlah anggaran pertahanan suatu negara sebesar 2%
produk domestik bruto (PDB) memang belum tercapai mengingat dari tahun 2013
hingga 2017 anggaran pertahanan masih sekitar 0,8% PDB. Namun hal tersebut
tidaklah berarti membuat kita harus pesimistis.
Justru
adanya keterbatasan anggaran saat ini mesti ditempatkan dalam skenario optimistis
ke depannya untuk pengembangan industri pertahanan. Beberapa lembaga riset
terkemuka di dunia seperti Standard Chartered Research, International
Monetary Fund (IMF), Citi Investment Research and Analysis, Lembaga
Kajian VOX (tentang Global Growth Generators), dan Jim O’Neill, ekonom
Goldman Sachs menunjukkan Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi baru dan
dinilai punya potensi untuk masuk ke 4 atau 5 besar kekuatan ekonomi dalam 20
tahun mendatang hingga 2050.
Membayangkan
Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di
dunia, tetapi dengan industri pertahanan yang minim tentu akan menjadi
kekurangan besar. Tidak hanya menyianyiakan kesempatan, tetapi juga akan
menguras uang negara untuk membeli alutsista dari negara lain. Karena itu,
dalam kaitan dengan industri pertahanan, potensi besar ini harus diantisipasi
sedini mungkin.
Peran
Pemerintah
Kondisi
industri pertahanan Indonesia masihlah jauh dari ideal. Masih banyak kekurangan
sehingga perlu pembenahan dan keberpihakan pemerintah. Sebagai perbandingan
dengan industri pertahanan negara lain, data yang dilansir SIPRI menunjukkan
industri pertahanan asal Indonesia belum ada yang masuk 100 besar perusahaan
bergengsi di dunia.
Di
kawasan Asia ada beberapa perusahaan yang masuk dalam daftar tersebut, yaitu Mitsubishi
Heavy Industries asal Jepang yang pada 2012 mencatat penjualan peralatan
pertahanan sebesar USD3,010 miliar dan mempekerjakan 31.111 karyawan. Kemudian
perusahaan asal Singapura, ST Engineering, yang dimiliki Tamasek Holding dengan
mempekerjakan 22.000 karyawan dan mencatat penjualan pada 2012 senilai USD1,890
miliar.
BAE
System Australia juga masuk dalam daftar tersebut dengan jumlah karyawan 5.500
orang dan mencatat penjualan pada 2012 senilai USD1,760 miliar. Berikutnya ada
perusahaan Samsung dari Korea Selatan dengan total penjualan USD1,557 miliar.
Di luar dominasi tersebut, ada perusahaan bernama Bharat Electronics
yang memproduksi berbagai alat elektronik untuk kebutuhan pertahanan milik
India yang pada 2012 mencatat penjualan sebesar USD960 juta.
Indonesia
sesungguhnya bisa belajar dari pengalaman negara lain yang sukses membangun
industri pertahanannya seperti India, Turki, China, Brasil, dan Korea Selatan.
Kunci sukses negara tersebut terletak pada dibangunnya relasi yang kuat antara
pemerintah dan industri pertahanannya.
Peran
pemerintah menduduki tiga kursi sekaligus dalam skema industri pertahanan yang
ideal, yaitu sebagai konsumen, sponsor, dan regulator atau disebut sebagai the
defense industrial triptych. Dengan demikian kita harus mendorong agar
pemerintah kita optimal memainkan ketiga perannya tersebut dan konsisten dengan
mendorong keberpihakan terhadap pembangunan kemandirian industri pertahanan
nasional sehingga suatu saat tentara Indonesia harus menggunakan peralatan
tempur yang berasal dari Indonesia.
Ini
agar kita lebih mandiri dan di pasar alutsista global kita dapat bersaing
dengan produk negara lain, minimal menguasai pasar regional. Sesungguhnya titik
terang kemajuan industri pertahanan kita khususnya kualitas produknya mulai
menjadi perhatian internasional.
Saat
ini beberapa produk buatan industri pertahanan kita terbukti mampu bersaing
dengan negara maju lainnya karena berhasil menjuarai kejuaraan tembak
internasional beberapa waktu lalu dengan menggunakan senjata buatan PT Pindad
(Persero) seperti senapan serbu SS-2 V-4 dan pistol G-2.
Itu
artinya persepsi dan kekhawatiran kita bahwa produk industri pertahanan kita
tidak memiliki daya saing dengan produk buatan luar negeri tidak sepenuhnya
benar. Memang patut disadari kerja membangun kemandirian industri pertahanan
nasional adalah kerja panjang dan melelahkan.
Tidak
ada satu pun industri yang pada awal pendiriannya langsung besar dan
berpengaruh, terlebih industri pertahanan. Dua industri pertahanan kelas dunia
seperti Thales dan BAE System juga mengalami pasang surut dalam mengembangkan
bisnisnya sebelum menjadi industri pertahanan yang berpengaruh di dunia.
Karena
itu mau tidak mau, untuk mengatasi ketertinggalan dari industri pertahanan
negara maju, ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan. Di antaranya,
pertama, kita harus cerdik menggandeng mitra strategis di luar negeri untuk
mengatasi ketertinggalan teknologi alutsista.
Selain
kebijakan normatif dengan mengirim sumber daya manusia kita sekolah ke luar
negeri, kita juga perlu mempertimbangkan langkah pragmatis jangka pendek,
misalnya dengan kerja sama dengan luar negeri seperti joint venture, joint
production, bahkan perlu juga dipertimbangkan BUMN industri pertahanan
membeli industri pertahanan di luar negeri yang sedang collapse atau
membeli sebagian saham industri tersebut. Kedua, strategi transfer teknologi
yang tepat.
Jangan
sampai upaya transfer teknologi justru menjadi penghambat pengadaan alutsista.
Kita dapat mencontoh kisah sukses banyak negara yang berhasil menyusun strategi
transfer teknologinya sejalan dengan kepentingan industri pertahanan mereka.
Ketiga, penyusunan kebijakan pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia haruslah
disusun sejalan dengan keberpihakan pembangunan kemandirian industri
pertahanan.
Dengan
konsistensi dan pendekatan tersebut, dalam jangka panjang kita akan semakin
optimistis bahwa kemandirian industri pertahanan kita akan tercapai dan
diharapkan sudah menjadi salah satu industri pertahanan yang terkemuka di
dunia.
oleh Silmy
Karim
disadur dari Koran Sindo, Selasa, 28 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar