Pada 23
Juni 2016, Inggris Raya (the United Kingdom/UK) akhirnya memutuskan
untuk keluar dari Uni Eropa (European Union/EU) melalui mekanisme
referendum. Pada referendum kali ini ada dua opsi yang tersedia yaitu tetap
bertahan sebagai anggota EU (remain) atau keluar dari keanggotaan EU (leave).
Sebagaimana sudah diprediksi sebelumnya, referendum ini akan berlangsung sangat
ketat, selisihnya tidak akan lebih dari 5%.
Faktanya,
hasil akhir menunjukkan bahwa kubu leave
memenangi peperangan ini dengan perolehan sekitar 52% suara. Banyak pihak
menyebut bahwa referendum ini pemungutan suara paling penting bagi UK sejauh
ini, jauh lebih penting dibandingkan pemilu biasa (general election).
Dampak
bagi Dunia
Pertanyaan
mendasar dari Brexit (British Exit) bagi kita, orang Indonesia,
adalah: kenapa kita harus peduli dengan isu ini? Apa dampak isu ini bagi negeri
kita? Setidaknya ada dua alasan utama mengapa isu Brexit menjadi penting
bagi kita dan juga menjadi perhatian dunia.
Pertama,
UK salah satu negara terpenting dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.
Revolusi industri yang merupakan salah satu titik tolak peradaban modern dunia
lahir dari rahim UK. Pada saat itu para inventor UK mampu menciptakan mesin modern
untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia.
Revolusi
ini kemudian mendongkrak produktivitas manusia berkali-kali lipat, sekaligus
membawa UK sebagai negeri pertama yang mengalami industrialisasi meski akhirnya
dibalap oleh negara lain seperti AS, Jerman, dan Jepang. Pada saat ini, UK
tercatat sebagai negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia, anggota
NATO, G-7, dan tentu G-20. Selain itu, ibu kota mereka, London, juga pusat
keuangan dunia.
Jadi,
tidak diragukan lagi peran UK sangatlah penting dalam percaturan
politik-ekonomi dunia. Kedua, Brexit
diyakini akan memiliki efek domino yang sangat besar. Kemenangan kubu leave
di UK dikhawatirkan akan menginspirasi gerakan serupa (Euroskeptik) di belahan
Eropa lain seperti Prancis, Belanda, Italia, dan Swedia. Kemungkinan
negara-negara lain untuk meninggalkan EU memiliki bibit yang cukup kuat.
Jika
melihat fenomena yang terjadi di UK, berbagai fenomena serupa juga dapat kita
temukan di negara-negara Eropa lain. Permasalahan dan keluhan terkait imigrasi
(termasuk berbagai macam masalah turunannya) dan kedaulatan bangsa tidak hanya
terjadi di UK, tetapi juga di negara-negara Eropa lain.
Belum
lagi permasalahan ekonomi seperti deflasi, rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan
pengangguran juga menjadi isu mendasar di negara-negara Eropa, khususnya Eropa
Selatan seperti Italia, Yunani, dan Spanyol. Sebagai gambaran, Le Pen (salah
satu kandidat Presiden Prancis) juga mendorong Prancis untuk keluar dari EU
meski hingga saat ini dia masih kesulitan mendapatkan suara mayoritas.
Di
belahan negara lain, Geert Wilders - pemimpin
gerakan Euroskeptik Belanda saat ini-mendapatkan dukungan mayoritas untuk
mengadakan referendum seperti UK. Jika negara-negara lain juga akhirnya
memiliki kehendak yang sama dengan UK untuk keluar dari EU, masa depan EU akan
buram dan suram. EU bisa hanya tinggal sejarah.
Paradoks
Globalisasi
Keluarnya
UK dari EU merupakan sebuah paradoks globalisasi. Pasca Perang Dunia II
globalisasi merupakan fenomena yang lazim terjadi di berbagai negara. Hubungan
satu negara dengan negara lain tidak sebatas hubungan dua negara (bilateral),
tetapi juga dengan banyak negara (multilateral). Kerja sama satu negara dengan
berbagai negara lain menjadi lumrah dan tak terhindarkan, dunia menjadi terasa
datar (flat) dan tanpa batas (borderless).
Dalam
sektor ekonomi, hubungan multilateral ini diprakarsai oleh berdirinya Grup Bank
Dunia (Word Bank, IMF, ADB, dan sebagainya). Kemudian, hubungan dan perjanjian
dagang antarnegara atau yang sering dikenal dengan istilah FreeTrade
Agreement (FTA) menjamur di mana-mana. FTA tidak hanya dilakukan melalui
hubungan bilateral, tetapi juga melibatkan banyak negara di dalamnya seperti
ACFTA, ASEAN+3, NAFTA, dan yang paling anyar adalah Trans Pacific
Partnership (TPP).
Apa
yang dilakukan negara-negara Eropa dengan membentuk EU sudah jauh lebih
kompleks dari FTA. EU merupakan sebuah proyek regionalisme yang tidak hanya
menjamin hilangnya berbagai hambatan Perdagangan (trade barriers)
antaranggotanya, baik berupa hambatan tarif atau nontarif, tetapi juga menjamin
ada arus bebas modal dan tenaga kerja.
EU juga
sebuah region yang menerapkan mata uang tunggal (single currency area)
yaitu euro yang dapat digunakan lintas negara. Lebih jauh lagi, EU juga telah
menjelma menjadi sebuah organisasi yang berperan sebagai supranegara (super-state).
EU memiliki berbagai institusi dan simbol pendukung layaknya sebuah negara
seperti bendera, “ibu kota” (Brussel), presiden, parlemen, hingga bank sentral
(European Central Bank/ECB).
Berbagai
institusi ini mampu memaksa negara anggotanya untuk menerapkan keputusan yang
mereka keluarkan. Begitu kuatnya peran Brussel dalam mengintervensi urusan
rumah tangga para anggotanya, kemudian dijadikan salah satu bahan kampanye kubu
leave untuk meninggalkan EU. Kubu leave mengatakan bahwa konsep EU telah
menggadaikan independensi UK sebagai negara berdaulat.
Kubu leave
juga berpendapat bahwa EU sudah berjalan terlalu jauh. Fenomena hancurnya
ekonomi negara-negara Eropa selatan juga tidak terlepas dari karut-marutnya
tata kelola yang dilakukan oleh Brussel. Berbasis itu, kubu leave menyebut EU merupakan sebuah
negara gagal (a failed state) yang berbahaya bagi kedaulatan dan masa
depan UK.
Keseimbangan
Baru
Fenomena
ekonomi antara negara maju dan berkembang memang cenderung bertolak belakang.
Saat ini salah satu ancaman paling serius bagi negara maju adalah masalah
resesi berkepanjangan dan deflasi. Di sisi lain, negara-negara berkembang
justru sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dan tantangan inflasi.
Jika
negara-negara maju sedang menghadapi tantangan masyarakat yang menua (aging
population), negara-negara berkembang justru sedang dikaruniai bonus
demografi di mana jumlah penduduk produktif jauh lebih besar dibanding penduduk
tua dan tidak produktif.
Jika
negara-negara berkembang sedang gencar-gencarnya meliberalisasi perekonomian
mereka dengan membuka selebar-lebarnya pintu untuk para investor asing untuk
melakukan aktivitas ekonomi di negara mereka, di sisi lain isu proteksionisme
justru kian populer di negara-negara maju.
Keluarnya
UK dari EU menjadi sangat menarik jika kita lihat dalam kacamata ini. Brexit mungkin saja menjadi momentum
bergesernya bandul keseimbangan politik dan ekonomi dunia. Brexit memunculkan tanda tanya besar bagi kita semua bagaimana
nasib, pola, dan bentuk kerja sama bilateral dan multilateral ke depan.
Kita
sudah semestinya memikir ulang bagaimana mendesain bentuk kerja sama
antarnegara agar dapat memberikan manfaat bagi dua belah pihak (mutualisme),
bukan hanya menguntungkan satu pihak (komensalisme), apalagi merugikan pihak
lain (parasitisme).
oleh
Dzulfian Syahrian
disadur
dari Koran Sindo, Selasa, 28 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar