MENANGGAPI
isu hangat soal Laut China Selatan (LCS) merupakan hal paling krusial saat ini
karena menyangkut kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di perairan dan
yurisdiksi Indonesia. Terlebih lagi, LCS memiliki potensi sumber daya alam yang
sangat besar dari berbagai macam sektor, seperti perikanan, minyak, dan gas
bumi. Karena itu, tak ayal Tiongkok yang mengklaim Laut Natuna sebagai daerah
tradisional tangkapan nelayan Tiongkok merupakan pelanggaran berat karena
mereka berupaya mengekspansi wilayah berdaulat NKRI. Traditional fishing
ground Tiongkok yang hanya berlandaskan sejarah dan artefak kuno tidak bisa
menjadi acuan dasar sebuah pengakuan wilayah yang berdaulat.
Wilayah
Natuna merupakan bagian integral dari wilayah NKRI dan negara lain tidak berhak
memasuki wilayah itu, apalagi mengeksplorasi hasil alamnya. Selain itu,
perairan yurisdiksi ZEEI yang tumpang-tindih dengan klaim 9 DL China, seluas
83.315,62 km2 atau seluas 6 kali pulau Bali yang terkooptasi oleh
klaim 9 DL China, harus dipertahankan, pasalnya di perairan tersebut telah
ditetapkan melalui perjanjian landas kontinen 2 negara antara
Indonesia-Malaysia dan Indonesia-Vietnam, yang sudah menjadi hukum positif
Indonesia, serta sebagai penguatan terhadap klaim unilateral ZEEI sepanjang 200
Nm. Silang sengkarut sengketa di LCS terus-menerus dilakukan pemecahan
masalahnya oleh pemerintah, praktisi hukum, akademisi, dan praktisi geodesi
serta diplomat Indonesia melalui berbagai forum nasional hingga internasional.
Pemerintah
juga telah menyatakan sikap tegas dalam memperjuangkan kedaulatan NKRI di Laut
China Selatan, dan menolak intimidasi, agresi, serta tindakan kekerasan yang
dilakukan kapal RRT, dan senantiasa berpedoman pada Trisakti dalam menjaga
keutuhan NKRI.
Dalam
upaya pemecahan polemik LCS tersebut, ada tiga perbedaan sudut pandang yang
sangat mendasar. Para diplomat berpandangan bahwa Indonesia dan RRT tidak ada overlapping
klaim di LCS dan senantiasa mengedepankan solusi damai, cukup bangga menjadi
mediator, dan honest peace broker dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Perspektif ini tiba-tiba berubah setelah Menlu Tiongkok pada 17 Juni 2016
menyatakan dengan tegas bahwa antara RI dan RRT ada overlapping claims.
Para
akademisi berpedoman pada pakem ilmu dan aturan hukum nasional maupun
internasional, termasuk UNCLOS pada 1982 yang juga tidak mengakui adanya klaim
9 dashed lines RRT karena tidak
berdasar hukum dan tidak sesuai dengan perhitungan klaim wilayah laut yang
diperhitungkan dari daratan (pulau, karang, dangkalan, surut terendah, dll)
sesuai dengan teori land dominated the seas.
Kedua,
perspektif di atas sudah benar, tapi pada umumnya hanya melihat persoalan dari
the yure dan das sein dari dasar-dasar hukum dan dasar-dasar teori yang menjadi
pedomannya, kurang melihat kenyataan-kenyataan di lapangan bahwa telah terjadi
tindak pidana dan pelanggaran hukum yang dilakukan kapal-kapal ikan Tiongkok
yang dikawal kapal coastguard-nya,
termasuk pernyataan tegas dari pejabat-pejabat militer Tiongkok tentang adanya overlapping claim antara RI dan RRT.
Para
penegak kedaulatan dan hukum di laut, di lain pihak, lebih melihat the facto
dan das sollen daripada kejadian-kejadian di lapangan dan praktik hukum
internasional, termasuk UNCLOS pada 1982 yang disimpangkan. Penguasaan wilayah
perairan yurisdiksi NKRI di Laut China sudah lama dilakukan RRT sejak mereka
menyatakan dengan tegas bahwa wilayah tersebut adalah wilayah teritorial mereka
yang telah didepositkan ke Sekjen PBB.
Fakta
di lapangan, sejak 2008 hingga Juni 2016, kapal PSDKP-KKP dan Kapal TNI-AL yang
menangkap kapal ikan Tiongkok di ZEEI LCS selalu dipaksa melepaskan kapal ikan
tersebut dengan cara intimidasi lewat radio komunikasi dan men-jamming radio komunikasi kapal. Hal ini
merupakan tindakan 'hostile intent'
atau niat bermusuhan. Di samping itu, tindakan membayang-bayangi, manuver
memotong haluan kapal pemeriksa, serta menubruk kapal ikan yang sedang
digandeng kapal pemeriksa, berdasarkan analisis ancaman (dalam ilmu militer),
merupakan tindakan bermusuhan hostile act
dari kapal coastguard Tiongkok.
Tindakan-tindakan
semacam ini bagi aparat penegak kedaulatan dan hukum dianggap pelanggaran berat
terhadap kedaulatan dan hak berdaulat NKRI. Sebagaimana perspektif militer,
'kenali lawan sebelum berperang' (seni berperang gaya Sun Tzu) yang selalu
menganalisis niat-niat dan tindakan-tindakan calon lawan, untuk mempersiapkan
strategi dan taktik untuk menghadapinya. Dari hasil skenario simulasi
tindakan-tindakan kapal-kapal Tiongkok tersebut diperoleh beberapa alternatif
cara bertindak yang dapat dilakukan aparat penegak kedaulatan dan hukum di
laut. Alternatif terbaik merupakan course of action atau tindakan yang
akan dilakukan aparat penegak kedaulatan dan hukum di laut.
Tindakan
berupa henrikhan atau penghentian, pemeriksaan, dan penahanan terhadap
kapal yang dicurigai melakukan tindakan pidana di laut sudah merupakan protap
(prosedur tetap) yang dipedomani setiap aparat penegak kedaulatan dan hukum di
laut. Termasuk tindakan paksa dengan menembakkan senjata juga bagian dari
'upaya paksa' yang dilakukan aparat bila kapal yang akan diperiksa melarikan
diri, melakukan tindakan-tindakan berbahaya seperti manuver yang akan
menabrakkan kapal ke kapal aparat, dan mengunci kemudi dengan tetap lari dengan
kecepatan tinggi sebagaimana sering dilakukan kapal-kapal pencuri ikan
Tiongkok.
Sebagai
tindak lanjut, diperlukan upaya dalam penguatan hukum kepemilikan wilayah RI di
Utara Natuna terhadap klaim unilateral ZEEI. Antara lain, perlu dilakukan
pendepositan peta NKRI yang dilengkapi dengan titik-titik koordinat ke UN
DOALOS dan Sekjen PBB, dan perlunya revisi UU No 5/1983 tentang ZEEI serta UU
No 1/1973 tentang Landasan Kontinen sesuai dengan UNCLOS 1982, dan penambahan
koordinat titik-titik zonasi perairan NKRI. Upaya hukum ini sesuai dengan
semangat Nawa Cita yang ingin membangun NKRI dari pinggiran (kawasan
perbatasan), khususnya pembangunan infrastruktur nonfisik berupa hukum laut
untuk memperkuat batas maritim NKRI.
Instruksi
Presiden Jokowi di atas KRI Imam Bonjol-388 di perairan Natuna pada 23 Juni
2016 menjadi semangat juang punggawa TNI-AL sebagai penegak kedaulatan dan
aparat penegak hukum lainnya dalam menjalankan tugas sebagai tulang punggung
negara di wilayah kemaritiman NKRI. Visi presiden yang serius dalam bidang kemaritiman
itu menjadi bukti bahwa Indonesia memang sudah teruji sebagai negara maritim.
Dari
gambar tersebut nampak "the facto" overlapping claims antara 9
dashed lines RRT dengan klaim
unilateral ZEEI dan landas kontinen Indonesia di Laut China Selatan. Wilayah
ZEEI yang terkooptasi oleh klaim 9 dashed
lines seluas 83.315,62 km2 atau seluas 6 kali pulau Bali dan
landas kontinen seluas 33.392,20 km2.
Dari
keterangan gambar di atas nampak bahwa penangkapan ikan yang sering dilakukan
oleh nelayan RRT selalu berada di wilayah "de facto" overlapping claims antara klaim unilateral
ZEEI dengan klaim 9 dashed lines
China. Hal ini menunjukkan bahwa RRT secara konsisten menjaga wilayah
teritorinya baik dengan pembuatan hukum maupun deposit ke Sekjen PBB. Di
lapangan senantiasa menjaganya dengan kapal nelayan (yang diduga para
militer/komponen pendukung China), yang dikawal oleh kapal Coast Guard
nya.
Tindakan-tindakan
tersebut merupakan bagian dari upaya state practice untuk menunjukkan
kepada dunia terhadap positive occupation
China terhadap penguasaan wilayah maritim di Laut China Selatan. Kegigihan 2
kapal pengawal (Coast Guard China)
terlihat dari olah gerak kapal tersebut (warna merah), yang terus menerus
mengejar KRI Imam Bonjol-388 yang menggandeng kapal ikan tangkapan Han Tan
Cou-19038 hingga menjelang masuk ke laut teritorial Indonesia. Tindakan
intimidasi lewat radio komunikasi (hostile intent) serta manuver
berbahaya (hostile act) juga dilakukan kapal Coast Guard kedua
(bawah) dengan memotong haluan KRI.
Sebagai
anak bangsa mari sama-sama menjaga kedaulatan dan hak berdaulat Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari ancaman apa pun karena laut merupakan masa depan rakyat
Indonesia. Jalesveva jayamahe!!!
oleh
Surya Wiranto
disadur
dari Media Indonesia, Selasa, 28 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar