Kapan
mudik? Mudik naik apa? Itulah pertanyaan klasik yang muncul jelang Lebaran awal
Juli. Pertanyaan tahunan yang dimunculkan sesama "mudiker" ini selalu
dikumandangkan lewat media sosial atau langsung diucapkan secara gethok tular. Mereka saling
berkomunikasi untuk agenda sakral bertajuk mudik bersama menuju kampung halaman
tercinta.
Ritual
mudik selalu diawali dan diakhiri dengan bersusah payah. Untuk mewujudkannya
pun harus diperjuangkan dengan berdarah-darah. Bahkan, nyawa pun rela menjadi
taruhannya. Meski menanggung risiko besar, irama ritual mudik selalu berputar
kencang untuk menyedot para pengembara dan perantau setia.
Kencangnya
perputaran itu dimaksudkan agar menyegarkan energi yang kerontang akibat
digilas mesin waktu kehidupan. Sebuah mesin raksasa yang menjadikan manusia
perantau sebagai roh industri kehidupan. Pada titik ini, industri kehidupan
diposisikan sebagai mesin kecil yang berputar riuh guna "memproduksi"
uang. Sebuah industri kehidupan yang mensyaratkan produksi massal dengan target
untung bergunung-gunung.
Kebutuhan
mudik
Dalam
konteks kebutuhan mudik, perayaan Idul Fitri menjadi magnet besar. Ia
dimitoskan mampu membangunkan adrenalin rasa kangen manusia perantau pada
orangtuanya, sanak saudara, sahabat, dan kerabat di lingkungan asalnya.
Harus
diakui, mudik senantiasa menyembulkan getaran romantisme tiada tara. Getaran
natural bersifat alamiah yang secara kodrati harus dipenuhi dengan derajat
kewajaran. Hal itu diekspresikan dalam wujud silaturahim bernuansa kehangatan.
Cirinya, lelaku saling bermaafan. Ritual klasik yang direpresentasikan lewat
prosesi menggenggam tangan merupakan obat penawar rindu. Ia hadir sebagai
medium mencari jejak sang fitri. Bersumber dari tanah leluhur ibu pertiwi.
Ritual mudik dalam konteks kebutuhan mudik mensyaratkan pertemuan fisik antara
sang pemudik dan orang udik. Transfer energi positif antara pemudik dan sang
udik, yang menjadi penjuru inti hidup dan kehidupannya, tidak dapat tergantikan
oleh apa pun.
Nafsu
keinginan
Semua
sepakat, fenomena mudik nan fitri sulit ditemukan di jagat perantauan.
Tetapi, ketika ritual mudik nan fitri diformat dalam konteks keinginan,
maka para "mudiker" otomatis masuk dalam perangkap "jebakan
batman". Mereka terjebak gaya
hidup budaya konsumtif yang tampil secara artifisial. Semuanya ditimbang lewat
takaran uang yang ada di genggamannya.
Dengan
demikian, ritual mudik semula mengusung gerbong silaturahim hakiki, sekarang
terkontaminasi nafsu keinginan. Dahsyatnya, mereka rela menjadi pemuja gurita
kapitalisme global berbentuk budaya konsumtif. Secara halus dan rapi, nafsu keinginan
tersebut dengan cerdas dikelola serta diejawantahkan sang gurita kapitalisme
global. Lewat rayuannya yang gurih, mereka mampu menelikung para
"mudiker" untuk memformat dirinya menjadi bangsa konsumen.
Bangsa yang patuh membeli apa pun yang diperintahkan sang gurita
kapitalisme global tersebut.
Salahkah
mereka? Atas nama hak asasi manusia, tentu pilihan mengedepankan nafsu
keinginan 1.000 persen tak salah. Sebab, secara psikologis, seseorang yang
pamit merantau untuk mengubah garis hidupnya dituntut mempertanggungjawabkan
niatan dan cita-citanya tersebut. Ketika para "mudiker" pulang ke
kampung halamannya, pada saat itulah mereka sedang melaporkan status sosialnya
sebagai perantau yang "berhasil". Karena sebagian besar "mudiker"
bekerja di rantau, wujud pembuktiannya dalam konteks nafsu keinginan adalah
laporan dalam bentuk pameran harta benda yang diperolehnya saat banting
tulang di perantauan.
Semua
itu dilakukan untuk menunjukkan jati dirinya sebagai manusia bergaya hidup
modern yang berhasil menguasai dunia. Demi melengkapi pertunjukan sebagai
perantau yang "berhasil", mereka senantiasa membeli apa pun yang
ditawarkan produsen jaringan kapitalisme global. Semua itu dilakukan demi
memuaskan nafsu keinginan untuk dilaporkan kepada orangtua dan sanak kerabat
mereka di udik.
Semua
itu dilakukan demi sebuah pengakuan diri. Sang "mudiker" terlihat
sangat puas ketika orangtua, sanak saudara, dan tetangga di udik memberikan
predikat pada dirinya sebagai orang yang sukses. Atas predikat dan pengakuan
tersebut, sang "mudiker" secara tidak langsung menjadi tolok ukur
kesuksesan seseorang. Di balik itu, dalam konteks mengejar nafsu keinginan
bergaya hidup modern, sang "mudiker" sekaligus berperan sebagai agen
kapitalisme global yang bersifat permisif, artifisial, dan konsumtif.
Hidup
sederhana
Perlahan
tetapi pasti, para "mudiker" agen kapitalisme global akan mengubah
desa menjadi kota. Kearifan lokal menghilang. Lokalitas keberagaman melayang.
Semuanya tampil seragam di bawah kuasa trendsetter. Yang diakui hebat harus
berbau modern. Bercita rasa kota. Sementara yang udik dianggap ndesa. Harus digempur dan didekonstruksi
oleh nafsu keinginan beraroma kota.
Haruskah
demikian? Yang jelas harus dihindari adalah upaya untuk mengarahkan seluruh
energi kemanusiaan demi memberhalakan materi. Momentum mudik sejatinya
mengingatkan akan ajaran nenek moyang. Mengisi hidup dan kehidupan ini
ibaratnya mampir ngombe. Durasi hidup
di jagat raya ini hanya sesaat. Untuk itu, agar diperoleh keseimbangan antara
kebutuhan material dan spiritual, kita harus senantiasa belajar menjalani hidup
dan kehidupan ini dengan penuh kesederhanaan. Berlaku bijaksana dalam
kondisi apa pun dan untuk siapa pun. Semua itu dilakukan dengan belajar
tanpa henti untuk menyelaraskan akal pikiran dan nalar perasaan.
oleh
Sumbo Tinarbuko
disadur dari Kompas, Kamis, 30 Juni 2016versi bahasa Inggris dapat dilihat di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar