MUDIK
Lebaran sering kali hanya dianggap sebagai ritual tahunan yang menyertai setiap
perayaan hari raya Idul Fitri. Padahal jika dicermati peristiwa mudik Lebaran
di Indonesia bisa dibilang cukup fenomenal. Bagaimana tidak?
Pertama,
mudik Lebaran melibatkan pergerakan jutaan penduduk di seluruh wilayah
Indonesia, yang terjadi hampir serentak dengan pola yang searah. Utamanya
pergerakan dari kota-kota besar menuju daerah-daerah perdesaan dan kota-kota
kecil. Data Kementerian Perhubungan memperkirakan arus mudik tahun 2016
mencapai sekitar 30 juta orang.
Kedua,
animo masyarakat yang melakukan mudik tidak terpengaruh kondisi apa pun,
termasuk adanya perlambatan ekonomi. Bahkan mengabaikan tingginya biaya tiket
perjalanan dan rela terjebak kemacetan panjang hanya untuk dapat mudik. Ketiga,
sekalipun terjadi perkembangan era teknologi komunikasi, hasrat untuk
bersilaturahim secara langsung melalui mudik tetap tinggi. Padahal, silaturahim
tidak lagi hanya dapat dilakukan melalui telepon, e-mail bahkan dapat bertatap
muka langsung melalui video call.
Keempat,
kegiatan mudik juga disertai pergerakan ekonomi yang cukup besar. Pemerintah
mewajibkan para pelaku usaha memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada
karyawannya minimal sebesar satu kali gaji. Jumlah pekerja sektor formal
diperkirakan sekitar 47,5 juta orang. Jika diasumsikan rata-rata upah minimum
sekitar Rp2 juta per bulan, setidaknya terdapat lebih dari Rp90 triliun yang
juga terbawa oleh pergerakan para pemudik. Apalagi jika pemerintah tidak hanya
mengeluarkan gaji ke13 (THR) namun juga mencairkan gaji ke-14. Melalui efek
perputaran uang (velocity of money), tentu nilai riil perputaran uang
dapat mencapai dua kali lipat dari nilai tersebut.
Artinya
selama Idul Fitri terdapat perputaran uang tunai dan potensi transfer dana dari
kota ke desa yang hampir mencapai Rp200 triliun.
Keempat,
hal tersebut minimal cukup untuk merefleksikan bahwa tradisi mudik Lebaran
tidak hanya berdimensi religius, juga sangat kental dengan dimensi sosial,
budaya, juga pergerakan ekonomi masyarakat. Jika mampu dikapitalisasi dan
dioptimalkan, tradisi mudik ini dapat menjadi momentum untuk menggerakkan
ekonomi yang sangat besar. Adanya potensi peningkatan kemampuan belanja
masyarakat ini mestinya mampu mendongkrak permintaan dan memacu produksi.
Sayangnya,
tambahan amunisi belanja masyarakat dengan adanya THR selalu dihadang
melambungnya harga kebutuhan pokok dan kenaikan tarif transportasi untuk
pemenuhan kebutuhan mudik Lebaran. Akibatnya, momentum peningkatan permintaan
yang sedianya memacu produksi tertiadakan oleh tingginya inflasi. Padahal, jika
pemerintah mampu menstabilkan harga kebutuhan pokok, peningkatan daya beli
masyarakat tentu akan menjadi daya dorong dalam memacu produksi secara
nasional.
Artinya,
kapasitas produksi akan meningkat dan penciptaan lapangan kerja akan meluas
sehingga dalam jangka berikutnya akan semakin memompa daya beli masyarakat.
Di
samping menjadi momentum memacu produksi, tradisi mudik Lebaran juga dapat
sebagai instrumen pemerataan kue pembangunan, perbaikan infrastruktur dan
menggerus kesenjangan ekonomi antara kota dan desa. Seiring pergerakan pemudik,
pendapatan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang terkonsentrasi di
kota besar berpeluang tertransfer dan diredistribusi ke berbagai pelosok
daerah.
Setidaknya
terdapat empat kegiatan pemudik yang efektif menggerakkan potensi ekonomi
daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertama, melalui kegiatan
konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan selama pemudik berada di daerah. Mulai dari
pemenuhan kebutuhan makanan dan minuman dan kebutuhan jasa transportasi. Wisata
kuliner merupakan pengeluaran pemudik yang langsung tertransfer pada kegiatan
ekonomi yang ada di daerah. Apalagi jika pelaku ekonomi daerah mempunyai berbagai
kreativitas seperti industri makanan dan kerajinan yang dapat menjadi suvenir
untuk dapat dibawa pulang pemudik ke kota. Kegiatan ini berpotensi menggerakkan
potensi ekonomi daerah. Apalagi jika para pemudik juga dapat berperan sebagai
agen promosi produk lokal. Tentu akan semakin mengembangkan area pemasaran
produk daerah ke skala yang lebih luas.
Kedua,
kegiatan penyaluran zakat, infak dan sedekah pemudik. Kegiatan ini tidak hanya
sebatas menyalurkan zakat yang bersifat santunan kepada fakir miskin, tetapi
juga dapat diperluas dengan penggalangan dana dari para pemudik yang telah
sukses untuk memperbaiki berbagai infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan di
desa.
Banyak
daerah yang sukses mengembangkan potensi desa atas bantuan dan kreativitas
penduduk yang sukses di kota. Ketersediaan infrastruktur dasar akan efektif
mengembangkan nilai tambah berbagai potensi desa.
Ketiga,
mengoptimalkan kegiatan wisata. Banyak daerah yang memiliki objek destinasi
wisata yang menawan. Sayangnya, banyak pemerintah daerah yang kurang peduli dan
kreatif untuk memberdayakan potensi wisata tersebut. Jika pemerintah daerah
mampu mempersolek berbagai objek wisata daerah, itu dapat menyedot kunjungan
para pemudik.
Tentu
tidak hanya berdampak pada peningkatan restribusi dan pendapatan asli daerah
(PAD). Namun, keberadaan objek wisata juga menggerakkan berbagai macam kegiatan
ekonomi berbasis pariwisata yang memiliki memiliki multiplier effect bagi
kegiatan ekonomi daerah.
Keempat
kegiatan investasi di daerah, terutama mengembangkan industri perdesaan.
Tujuannya agar perputaran uang di daerah tidak hanya berlangsung temporer dan
menciptakan multiplier effect dalam jangka menengah panjang. Banyak
potensi dan peluang investasi yang prospektif terbuka lebar di daerah pedesaan.
Sektor pertanian salah satu sektor perdesaan yang memiliki daya tarik investasi
dengan pengembalian investasi yang cukup menggiurkan. Salah satunya melalui
peningkatan produktivitas dan nilai tambah lahan pertanian.
Lahan
pertanian seharusnya tidak hanya dikelola melalui usaha tani secara tradisonal,
tetapi juga ke pertanian modern. Misalnya dengan sistem pertanian organik untuk
memenuhi kebutuhan beras untuk kalangan menengah ke atas yang tumbuh pesat.
Begitu juga investasi untuk memperbaiki sistem logistik di sentrasentra
produksi bahan pangan yang mudah rusak seperti sayur mayur dan buah-buahan.
Tentu berita kelangkaan dan fluktuasi harga cabai tidak perlu lagi terjadi.
Apalagi jika dapat dikembangkan dengan investasi industri perdesaan yang
mengolah berbagai produk potensial di masing-masing desa tersebut. Maka slogan one
village one product yang memiliki daya saing dapat segera terwujud.
Pilihan
investasi juga dapat dilakukan di sektor peternakan. Jika ada investasi yang
memadai untuk mengembangkan industri peternakan modern dan dikelola secara
profesional, kebutuhan daging segar tidak perlu lagi harus tergantung impor.
Jika populasi sapi dapat ditingkatkan secara signifikan, target swasembada
daging sapi tentu baru bisa terwujud. Di tengah harga daging sapi lokal yang
jauh di atas harga daging sapi impor semestinya menjadi insentif ekonomi bagi
industri peternakan di Indonesia. Di samping itu, tentu juga harus didorong
masuknya investasi pada industri pakan ternak agar terdapat kompetisi yang
sehat. Juga menghilangkan berbagai kemungkinan terjadinya praktik kartel.
Pada
prinsipnya banyak potensi ekonomi daerah pedesaan yang dapat dikembangkan
menjadi usaha-usaha yang produktif dan prospektif. Salah satu caranya ialah
mendorong industrialisasi di perdesaan. Kuncinya dibutuhkan masuknya investasi
dan ditangani tenaga kerja profesional dengan keahlian dan wawasan yang luas.
Untuk itu perlu kolaborasi dengan putra-putra daerah yang telah berhasil
mengembangkan usaha di kota. Jika keterbatasan sumber daya manuasi di daerah
ini dibiarkan potensi besar daerah tentu selamanya akan terus terbengkalai.
Jika
industrialisasi pedesaan ini mampu terus dikembangkan, lambat laun kesenjangan
perekonomian desa dan kota segera dapat direduksi. Pada akhirnya arus
urbanisasi desa ke kota juga dapat dikurangi. Bahkan desa akan menjadi basis
pengembangan produksi untuk produk-produk dengan daya saing yang tinggi.
oleh
Enny Sri Hartati
disadur
dari Media Indonesia, Senin, 4 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar