Nahdlatul
Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan memiliki peran strategis
dalam kehidupan umat. NU didirikan paling tidak, dalam hemat saya, bertujuan
untuk kemaslahatan umat.
Kemaslahatan
yang dimaksud bukan hanya kemaslahatan akidah umat, tetapi lebih dalam dari itu
menyangkut aspek-aspek kesejahteraan hidup. NU dalam sejarahnya memiliki
komitmen untuk memandirikan sekaligus menyejahterakan kehidupan umat. Pelbagai
gerakan sebagai upaya untuk memandirikan ekonomi umat silih berganti dicoba.
Jika
kita tengok sejarah, kita akan menemukan istilah ecenomiche mobilisatie. Istilah ini sesungguhnya adalah istilah
yang hendak ingin menggambarkan bahwa NU adalah organisasi yang bukan hanya
mengarahkan umatnya untuk meraih kebahagiaan di akhirat kelak dan
mengesampingkan kesejahteraan di dunia, tetapi NU selalu berusaha untuk menyeimbangkan
proporsi keduanya. Persis sebagaimana yang ada dalam doa sapu jagat yang sangat
familier di kalangan warga NU: rabbana
atiina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah.
Mabadi Khairu Ummah
Pada
1938, NU mendirikan apa yang ketika itu disebut dengan importhandel dan
exporthandel, yang keduanya diperuntukkan guna mengurusi kegiatan ekspor impor
atau Perdagangan luar negeri. Hal ini diputuskan secara resmi di Muktamar
Menes, Banten.
Setahun
setelah keputusan tersebut, yakni pada tahun 1939 pada forum muktamar yang
digelar di Magelang, sebagai sebuah upaya untuk memberi landasan dalam
menjalankan ekonomi dan bisnis, NU merumuskan konsep mabadi khairu ummah yang
berisi tiga poin utama. Ketiga poin itu adalah: as-shidqu (kejujuran), alwafa
bil ahdi (menepati janji), dan at-taat-taawun (saling
tolong-menolong).
Tiga
prinsip tersebut adalah landasan yang harus dipegangi oleh warga NU dalam
segala hal, utamanya menyangkut kegiatan ekonomi dan bisnis. Dengan tiga
prinsip tersebut, turbulensi dan mekanisme berbisnis warga NU diharapkan bisa
berjalan dengan lancar, stabil, dan yang paling utama adalah berkah. Apa yang
disebut terakhir, yakni keberkahan, adalah tujuan paling paripurna yang
dicita-citakan konseptor mabadi khairu
ummah di atas.
Sebagai
bagian dari upaya mengembangkan dan menyempurnakan tiga pilar tersebut, pada
tahun 1940 KH Mahfud Shiddiq yang kala itu bertindak sebagai ketua HB NU
(istilah sekarang ketua umum PBNU) menambahkan dua prinsip penyempurna yang
terdiri atas: al-adalah (keadilan)
dan istiqomah (konsistensi).
Maka
jelas, pada tahun 1940 mabadi khairo ummah yang berisikan lima prinsip
kemandirian ekonomi yang harus diimplementasikan saat berbisnis diharapkan bisa
menjadi alas pijak bagi kemandirian ekonomi umat. Persoalannya hari ini adalah
fakta berbicara jumlah warga miskin di Indonesia masih sangat banyak.
Dan
jika kita menggunakan random sampling atau katakanlah survei dengan responden
acak, mayoritas yang warga yang tidak berdaya secara ekonomi—untuk mengganti
dan menghindari kata miskin— adalah warga NU. Ini adalah tantangan besar yang
harus kita jawab bersama. Terlebih masalah ekonomi merupakan salah satu bidang
penting yang diamanatkan oleh Muktamar 33 NU di Jombang 2015 lalu.
Kondisi
yang demikian memaksa kita untuk terus berbenah dan mencari solusi terbaik guna
mengangkat kemandirian ekonomi umat. Dalam hemat saya pada tataran paling
elementer, warga NU harus memiliki dua kecerdasan utama. Pertama kecerdasan
spiritual, kedua, kecerdasan ekonomi.
Dua
kecerdasan tersebut penting diungkap mengingat masih banyaknya kalangan yang
selalu menjadikan dua kecerdasan tersebut sebagai seolah-olah dua entitas yang
saling berlawan, berseberangan, atau bahkan bermusuhan satu sama lain hingga
tidak mungkin untuk dipadupadankan atau dikawinkan. Hal tersebut menurut hemat
saya tidak sepenuhnya benar.
Pandangan
seperti itu bisa dikatakan bukan saja keliru, tetapi juga salah. Pada
praktiknya memang benar, ekonomi kapitalisme yang ada hari ini cenderung
memisahkan aspek ekonomi dengan spiritualitas. Namun sejatinya hal itu di
kalangan warga NU bisa ditepis dengan argumen mabadi khairo ummah di atas. Lima
prinsip yang tertuang dalam mabadi khairo
ummah merupakan aspek spiritualitas yang bisa kita balurkan dalam setiap
praktik berbisnis dan menjalankan roda ekonomi sehari-hari.
Apalagi
jika kita cek literatur, termasuk salah satunya dari hadits asyaddunnas adzaban yaumal qiyamati
almakhfil albathil yang memiliki arti siksaan paling berat pada hari
kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan hidup
menganggur. Ini fakta bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri sangat tidak menyukai
orang yang cenderung tidak mandiri dan berpangku tangan dalam menjalani hidup
sehari-hari.
Salah
satu upaya dalam memandirikan ekonomi umat dewasa ini adalah dengan membuka
akses seluas-luasnya bagi umat untuk berbisnis dengan tanpa mengesampingkan
prinsip dasar berbisnisyangtertuangdi mabadi khairo ummah.Semua bisnis hari ini
sesungguhnya trennya adalah bisnis komunitas. Banyak kalangan menciptakan
komunitas baru dalam rangka membuka sindikasi jaringan berbisnis.
Misalnya
sebut saja menjamurkan bisnis online
semisal ojek online, antar jemput online, dan sebagainya. Semuanya, dalam
bahasa saya, sesungguhnya sedang menciptakan komunitas. Dari komunitas itu
pelanpelan dibangun trust
(kepercayaan/as-shidqu). Dan dari
trust itulah bisnis dan roda perekonomian dijalankan.
Di NU,
kita sesungguhnya sudah memiliki basis komunitas tanpa perlu membangun dan
menciptakan sebagaimana yang dilakukan aneka bisnis berbasis online lainnya. Modal besar berupa sudah
tersedianya komunitas tersebut harus dimanfaatkan untuk bisnis komunitas. Salah
satu implementasinya adalah dalam wujud Kartanu yang menyediakan beragam fitur
kemudahan beramal maupun berbisnis bagi warga NU.
Kartanu
ke depan memiliki empat fungsi utama. Pertama, sebagai tabungan masa depan.
Kedua, sebagai alat pembayaran (e-payment).
Ketiga, sebagai alat pembayaran asuransi. Keempat, Kartanu memiliki benefit
seperti tersedianya beragam discount
dan poin belanja di gerai-gerai yang telah bekerja sama.
Dalam
perjalanannya, Kartanu tersebut juga hadir dalam bentuk e-Kartanu yang
merupakan aplikasi mobile apps
(semacam aplikasi yang bisa diunduh di ponsel) yang bisa digunakan oleh warga
NU. Dalam e-Kartanu tersebut pelbagai fasilitas akan disediakan utamanya dalam
menunjang bisnis warga NU.
Sebut
saja misalnya kehadiran NUmart dan WarNU. Dua kanal tersebut bisa digunakan
sebagai lahan bisnis berdagang bagi warga NU. Ini yang dalam bahasa saya
disebut sebagai ”sudah terciptanya komunitas”.
Alakuli
hal, dengan adanya Kartanudane-Kartanuini, PBNU sangat berkomitmen untuk
mengawal kemandirian ekonomi umat sebagai sebuah khidmat untuk menuju
tercapainya tatanan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan berkah.
oleh A
Helmy Faishal Zaini
disadur dari Koran Sindo, Senin, 27 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar