Hasil
referendum menunjukkan keinginan mayoritas masyarakat Inggris untuk keluar dari
Uni Eropa (EU). Inilah hasil akhir setelah berminggu-minggu dua belah pihak,
baik yang ingin tetap (remain) maupun meninggalkan (leave) EU,
menyampaikan argumennya dalam kampanye yang kerap bersifat emosional.
Kemenangan
tipis (51,9% versus 48,1%) dalam salah satu momen paling bersejarah di Inggris,
tampak memperlihatkan bahwa tema-tema kampanye pihak leave cukup dapat diterima oleh masyarakat Inggris, terutama mereka
yang berkarakter kelas menengah ke bawah. Sementara kampanye pihak remain tidak cukup meyakinkan meski
ditopang oleh pendapat ahli dan politisi berkaliber nasional maupun
internasional. Pihak remain dinilai
cukup kedodoran dalam menanggapi argumen dan opsi-opsi praktis dan populis dari
kubu leave.
Beberapa
Fantasi
Dengan
beberapa slogan seperti ”control”, ”preserving
democracy”, atau bahkan menyamakan hari kemenangan pilihan untuk leave
setara dengan ”independence day”, pihak leave memberikan sebuah
harapan baru dan alternatif kemungkinan yang tampak lebih cerah dan baik
ketimbang terus menerus menjadi ”budak Brussel”, demikian kerap mereka menyebut
nasib Inggris manakala tetap bergabung dalam EU.
Dalam
hari-hari kampanye slogan yang menyelubungi fantasi itu cukup berhasil
menghipnosis massa dan menarik pengikut. Dengan retorika yang kerap terasa
membakar patriotisme, EU mampu dicitrakan sebagai institusi korup yang
berisikan politisi asing yang tidak peduli dengan nasib rakyat Inggris
kebanyakan. Para juru kampanye leave
tidak segan membenturkan EU dengan demokrasi.
Bahwa
EU adalah institusi asing elitis yang sesungguhnya membuat aturan bagi seluruh
rakyat Inggris. Figur-figur artikulatif dari pihak leave, sebut saja Boris Johnson, Gisela Stuart, hingga sosok
kontroversial Nigel Farage, mampu menyudutkan EU sebagai biang dari berbagai
persoalan yang ada di masyarakat Inggris. Hingga semakin terkesankan bahwa
wacana leave terlihat bukan pepesan
kosong.
Selain
masalah kemandirian, beberapa fantasi lain yang disampaikan pihak leave di antaranya yang terpenting
adalah pemanfaatan dana sebesar 340 juta pounds per minggu yang diberikan
pemerintah ke EU sebagai konsekuensi keanggotaan. Para propaganda leave terus berupaya meyakinkan bahwa
dana sebesar itu milik rakyat dan dapat diambil alih untuk dimanfaatkan secara
langsung oleh rakyat Inggris, termasuk untuk memperbaiki kualitas layanan National Health Service (NHS) dan sarana
pendidikan.
Ide ini
cukup mengena bagi kebanyakan masyarakat, yang langsung membayangkan demikian
”ruginya” menjadi bagian EU. Pihak leave
juga cukup berhasil menyebarluaskan ide bahwa terobosan kerja sama ekonomi
dengan berbagai pihak dibelahan dunia lain, termasuk China, Brasil, dan
negara-negara potensial lain, dapat lebih terbuka dengan keluar dari pasar
tunggal EU.
EU
difantasikan sebagai penyebab dari terputusnya hubungan ekonomi yang produktif
Inggris dengan berbagai negara potensial itu. Tidak itu saja, pasar tunggal EU,
yang beranggotakan 28 negara, difantasikan sebagai sudah tidak menantang dan
menguntungkan lagi. Karena itu, kini saatnya membuka diri kepada dunia dan
meraih lebih banyak benefit darinya. Pihak leave
akhirnya menyinggung pula persoalan bahwa EU telah gagal total dalam membuat
Inggris lebih aman.
Difantasikan
bahwa negara-negara EU, termasuk Prancis dan Belgia, adalah sarang dari
kelompok-kelompok teroris yang akan mengancam Inggris. Juga persoalan imigran
yang semakin membanjiri Inggris, yang dirasa makin membebankan negara. Fantasi
bahwa imigran adalah pembawa masalah baru bagi Inggris, termasuk masalah sosial
dan keamanan cukup diterima oleh para pendukungnya.
Fantasi
yang Problematik
Fantasi?
Ya, karena pada dasarnya pihak leave tidak pernah mendasarkan tema dan
ide yang ditawarkan itu pada data-data yang konkret. Beberapa bahkan
berdasarkan data yang kurang akurat atau disembunyikan. Memang sesungguhnya dua
belah pihak, baik remain atau leave, tidak benar-benar memiliki
data konkret tentang apa yang akan terjadi berikutnya.
Kebanyakan
yang disampaikan selama kampanye adalah asumsi-asumsi yang kerap berlebihan,
namun juga bersifat menakut-nakuti (scaremongering). Namun, setidaknya
untuk pihak remain, dengan dukungan
banyak ahli dalam bidang ekonomi, termasuk badan-badan internasional seperti
IMF dan Bank Dunia, lebih punya sedikit kepastian bahwa ekonomi Inggris akan
mengalami kemunduran jika meninggalkan EU.
Kemunduran
ekonomi ini tentu saja akan berdampak pada kemampuan pemerintah menjaga
kualitas layanan publik, termasuk NHS. Hal ini mudah saja dipahami karena
dengan tidak bergabungnya lagi dalam pasar tunggal, berbagai macam hak dan
fasilitas dicabut. Akibat itu, barang-barang akan menjadi jauh lebih mahal dan
pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan-perusahaan yang berbasis di
negara-negara EU akan meningkat.
Selain
itu, efek lanjutnya adalah nilai tukar dolar kepada pounds akan segera menguat.
Kenyataannya kemenangan leave
langsung memicu lemahnya untuk pertama kali hampir tiga dekade terakhir.
Berbagai hal ini saja akan dapat memicu resesi ekonomi yang serius bagi
Inggris. Selain itu, beberapa kemudahan seperti akses mobilitas untuk tinggal
di salah satu negara EU, hingga kemudahan mencari pekerjaan, juga akan hilang.
Urusan
administrasi terkait imigrasi akan menjadi lebih berbelit. Liburan akan menjadi
semakin mahal. Harga-harga barang jatuhnya menjadi harga barang impor.
Proyek-proyek penelitian berskala besar di dunia pendidikan dan riset yang
didanai EU juga akan dievaluasi lagi. Bukan tidak mungkin, beberapa penelitian
penting berskala masa depan akan tidak lagi melibatkan para akademisi dan
peneliti Inggris.
Beberapa
kemudahan itulah sebenarnya harga dari keanggotaan yang berjumlah hingga
ratusan miliar per minggu itu. Apakah Inggris juga akan lebih aman di luar EU?
Hal yang pasti akses intelijen dan informasi seputar pengendalian keamanan yang
selama ini disebarluaskan di antara anggota EU akan tidak lagi dimiliki oleh
Inggris.
Dan,
mengingat bahwa kasus-kasus teroris banyak melibatkan warga negara sendiri
(dalam negeri), potensi ancaman keamanan tidak dapat dianggap berkurang dengan
keluarnya dari EU. Namun, seolah meremehkan berbagai hal yang bersifat
kemunduran tersebut, mayoritas masyarakat Inggris memang bersedia
mempertaruhkan nasibnya kepada fantasi, sebagaimana yang ditawarkan oleh kubu leave.
Meski
demikian, referendum yang membelah masyarakat dan pemerintah ini juga
memberikan pelajaran bahwa hampir separuh masyarakat Inggris sesungguhnya tidak
percaya pada fantasi yang digembar-gemborkan pihak leave. Hal mana terlihat dari perbedaan jumlah pro dan kontra yang
hanya sekitar 1,3 juta dari 46,5 juta warga yang berhak memilih. Namun, kedua,
memang EU selama ini diterima setengah hati oleh mayoritas masyarakat Inggris.
Hubungan
benci, tapi rindu ini berujung pada kesimpulan bahwa EU dirasakan kurang
bermanfaat lagi bagi Inggris dan pemerintah gagal membuktikan bahwa
keterlibatan Inggris di dalam EU tidak sekadar menjadi partisipan yang berperan
pinggiran tanpa daya. Selamat merayakan ”Hari Kemerdekaan” bagi (setengah)
rakyat Inggris.
oleh Firman Noor
disadur dari Koran
Sindo, Senin, 27 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar