Seusai
referendum yang dimenangi kubu pro-Brexit,
dengan 52% setuju Inggris keluar dari Uni Eropa, ketidakpastian semakin
meningkat. Investor dan pasar keuangan dunia panik menyikapi hasil referendum.
Harga
saham jatuh, baik di Eropa, Amerika maupun Asia. Ketidakpastian juga membuat
banyak investor mengalihkan investasi ke aset-aset yang lebih aman seperti
logam mulia. Ketidakpastian meningkat dipicu kekhawatiran masa depan ekonomi
Inggris dan Uni Eropa. Proses negosiasi keluarnya Inggris dan sekaligus
negosiasi ulang Perdagangan bebas Inggris-Uni Eropa menciptakan kekhawatiran
banyak pihak akan posisi strategis Inggris.
Hal ini
membuat banyak perusahaan multinasional, baik di sektor jasa keuangan maupun
sektor lainnya, mulai ancang-ancang angkat kaki dari Inggris. Terutama mereka
yang selama ini menjadikan London dan Inggris sebagai basis operasi untuk pasar
Uni Eropa. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa membuat posisi London tidak terlalu
istimewa serta menjadikan relokasi basis operasi ke Prancis, Belgia, Jerman,
dan negara-negara lain tak terhindarkan.
Basis
operasi di London ke depan utamanya hanya untuk pasar Inggris. Ekspor Inggris
ke Uni Eropa akan terkena bea masuk dan sejumlah persyaratan lain sebagaimana
Uni Eropa mengenakannya kepada barang/jasa dari negara-negara seperti China,
India, dan kawasan lain. Selain sisi ekonomi, Brexit juga memicu ketidakpastian sisi politik. Langkah Inggris
dikhawatirkan membuat tekanan referendum di banyak negara yang memiliki basis
gerakan politik-ultranasionalis.
Masa
depan Uni Eropa akhirnya menjadi tanda tanya bagi dunia. Selain itu sejumlah
media internasional sudah mulai mengangkat adanya segregasi kelas
pascareferendum di Inggris yang semakin mengkristal. Kelompok muda dan mereka
yang lebih terdidik dalam referendum cenderung memilih tetap di Uni Eropa,
sementara kelompok usia tua dan mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih
rendah cenderung pro-Brexit.
Ketegangan
antar kelompok mulai dirasakan di sejumlah tempat di Inggris terkait segregasi
ini. Hal ini sekaligus memicu kekhawatiran tenaga kerja asing, terutama dari
Eropa, Asia, dan Amerika Serikat yang selama ini harus diakui ikut
berkontribusi pada tingginya produktivitas Inggris.
Bagi
Indonesia, guncangan di pasar keuangan akibat keluarnya Inggris dari Uni Eropa
semakin menambah tekanan dari sisi eksternal seperti turunnya harga dan
permintaan komoditas dunia, melambatnya ekonomi China, ketidakpastian akibat
keputusan The Fed, dan stagnasi pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini semakin
menegaskan bahwa ekonomi nasional tidak bisa bergantung pada apa yang terjadi
di dunia.
Indonesia
mau tidak mau harus kembali fokus pada faktor-faktor internal-domestik yang
dapat mendorong perekonomian nasional. Kita memiliki beberapa faktor yang dapat
didorong untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional di saat ekonomi dunia
semakin tidak pasti. Faktor pertama, fiskal dan belanja pemerintah.
Namun
dengan kondisi risiko tidak tercapainya pendapatan negara dari sektor
perpajakan, ruang fiskal semakin terbatas untuk dapat mendongkrak pertumbuhan
ekonomi nasional. Semakin terbatasnya ruang fiskal juga ditunjukkan dengan
pemangkasan belanja kementerian/lembaga yang saat ini dibahas antara pemerintah- DPR untuk menekan defisit fiskal agar
tidak melebar.
Faktor
kedua, investasi. Investasi dapat menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi
nasional. BKPM mencatat selama tahun 2015 realisasi investasi tumbuh sebesar
17,8% dan mencapai Rp545,4 triliun. Realisasi 2015 melampaui target yang
dipatok sebesar Rp519,5 triliun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
kontribusi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 33,19%.
Faktor
ketiga, yang sangat penting adalah konsumsi rumah tangga. Data BPS menunjukkan
kontribusi konsumsi rumah tangga selama 2015 terhadap PDB masih cukup besar,
yaitu sebesar 55,91%. Besarnya kontribusi rumah tangga terhadap PDB membuat
sektor ini perlu menjadi fokus kebijakan, baik pemerintah maupun otoritas
moneter. Daya beli masyarakat selama ini menjadi penopang terbesar ekonomi
nasional.
Kebijakan
yang berorientasi menjaga dan mendorong daya beli masyarakat perlu menjadi
target sasaran pengambil kebijakan saat ini. Ketika daya beli masyarakat
terjaga, pertumbuhan ekonomi nasional juga akan terjaga. Begitu juga
sebaliknya, ketika daya beli masyarakat turun, konsekuensinya pertumbuhan
ekonomi nasional juga akan turun. Memang selama ini terjadi kesenjangan antara
tingkat konsumsi dengan produksi dalam negeri.
Tingkat
konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat produksi nasional. Dengan
demikian secara agregat selisihnya harus kita impor dari luar negeri.
Persoalannya dalam hal ini pilihan kebijakan seperti apa yang harus kita
tempuh? Apakah konsumsi harus kita turunkan ataukah produksi yang harus kita
tingkatkan? Menurut hemat saya, kebijakan yang lebih pas untuk saat ini adalah
memacu produksi nasional.
Kebijakan
yang lebih prokonsumsi akan menstimulasi produksi nasional karena dunia usaha
akan melihat ketersediaan pasar yang memadai untuk keberlangsungan investasi
mereka. Sementara kalau pilihan kebijakan menurunkan level konsumsi, hal itu
justru akan membuat dunia usaha nervous dan menyulitkan mereka menyusun
rencana pengembalian investasi atas ekspansi bisnis mereka.
Kebijakan
yang menurunkan daya beli masyarakat, konsumsi domestik, akan cenderung
direspons oleh dunia usaha dengan menurunkan tingkat produksi. Hal ini membuat
ekonomi masuk dalam siklus ekonomi melambat akibat turunnya output nasional.
Selain itu kebijakan menjaga daya beli masyarakat dengan kondisi tren positif
investasi nasional. Investasi nasional tentunya akan mendorong dari sisi
produksi nasional.
Ketika
tingkat konsumsi terjaga dan sisi produksi terpacu melalui investasi, hal ini
yang dapat menjaga ekonomi nasional dari terpaan badai ketidakpastian
perekonomian dunia. Hal-hal yang berpotensi dapat mengurangi daya beli
masyarakat harus dihindari. Misalnya kebijakan PLN untuk menghapus subsidi
listrik bagi pelanggan listrik golongan 900 VA perlu dikaji ulang karena hal
ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
Selain
itu keinginan untuk mengurangi subsidi solar juga perlu dikaji ulang. Pilihan
kebijakan memang tidak mudah antara penghematan jangka pendek dari sisi fiskal
dengan menjaga daya beli masyarakat yang nantinya akan berdampak pada
meningkatnya penerimaan negara dalam jangka menengah.
Namun,
menurut saya, ekonomi nasional akan terjaga ketika kebijakan bukan menurunkan
konsumsi, tetapi mendorong produksi dan investasi. Sejumlah kebijakan untuk
menstimulasi daya beli masyarakat sebenarnya telah ditempuh baik oleh
pemerintah, Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kebijakan
menurunkan suku bunga KUR, suku bunga kredit, dan pelonggaran LTV menjadi
beberapa bukti pilihan kebijakan yang pada akhirnya dapat mendorong sisi
konsumsi. Namun tentunya kebijakan-kebijakan ini perlu didukung kebijakan lain
agar konsumsi domestik terus terjaga dengan tetap terus melakukan deregulasi
dan meningkatkan kemudahan doing business di Tanah Air.
Saya
melihat, dengan pilihan bauran kebijakan ini, perekonomian nasional tetap
terjaga di saat ketidakpastian kapan dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa
akan berakhir.
oleh Firmanzah
disadur dari Koran Sindo, Senin, 27 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar