Seperti
diduga sebelumnya, hasil final referendum ”in
and out” Inggris dari Uni Eropa telah putus. Referendum yang digelar pada
23 Juni 2016 menghasilkan 51,89% memilih keluar dari Uni Eropa dibandingkan
48,11% suara yang ingin bertahan.
Sebanyak
46,5 juta pemilih diperkirakan telah memanfaatkan hak suaranya dalam referendum
paling menentukan sejarah Inggris dan Eropa tersebut. Kelompok Eurosceptic di
Inggris yang selama ini menjadi proponen Brexit
(Britain exit) menyebut keputusan
historis itu sebagai independence day.
Saking ketatnya, hasil referendum yang berlangsung ”too close to call” menggambarkan betapa sentimen Eropa telah
membuat Inggris terpolarisasi sedemikian tajam.
Inggris
yang menjadi anggota Uni Eropa sejak 1973 kini memilih jalannya sendiri,
meninggalkan 27 anggota lainnya dalam keadaan disarray (histeris dan kalut). Secara politis, keputusan Brexit mengingkari ikatan historis ”the
United States of Europe ”(USE) yang digagas PM Inggris Winston Churchill pada
1946. Ketika itu Churchill mengejutkan dunia dengan pidatonya di Zurich, Swiss
yang menyerukan pembentukan blok USE.
Visi
Churchill tentang satu Eropa memperoleh gaungnya pada setiap kota di Eropa yang
hancur akibat Perang Dunia II. Pandangan itu pula yang mengilhami munculnya ide
the European Movement dan menuntun proses menuju pembentukan Council
of Europe maupun European Convention and Court of Human Rights.
Boris
Johnson, mantan wali Kota London dan merupakan kritikus anti-Eropa paling
tajam, selalu menyatakan dalam argumentasinya bahwa pandangan Churchill itu
tidak sepenuhnya pro-European.
Johnson merujuk pada tulisan Churchil pada 1930 yang menyatakan bahwa Inggris
bersama dengan Eropa, tetapi tidak menjadi bagian benua tersebut.
Seperti
ditulis Churchill, we are interested but not associated. Dengan
argumentasi ini, Boris Johnson mengklaim bahwa Winston Churchill pada dasarnya
seorang Eurosceptic sekaligus Europhiles (pemuja kultur Eropa). Denis
Macshane, penulis Brexit : How Britain Will Leave Europe, menyatakan
bahwa sejak lama orang Inggris memang diajarkan untuk tidak menyukai Eropa
(2015).
Warga
Inggris merasa ditransfer ke dalam otoritas Uni Eropa yang corak kekuasaan
maupun belief systemnya tidak pernah ramah terhadap London. Inggris tidak
menyukai Prancis yang dianggap selalu bersikap obstructionist terhadap mereka serta Jerman yang terlampau dominan.
Politisi Inggris selalu menggambarkan komunitas Eropa ibarat ”German racket”.
Istilah
ini merupakan sindiran terhadap besarnya otoritas Brussel (markas besar Uni
Eropa) yang dianggap lebih mencerminkan dominasi penguasaan Jerman dan Prancis
di Eropa. Lebih parah lagi, selama ratusan tahun kaum Protestan Inggris selalu
meyakini bahwa kekuatan-kekuatan Katolik Eropa dan Vatikan dibentuk untuk
melemahkan atau menghancurkan mereka.
Selain
itu, dalam soal finance, London
menilai keuntungan yang diperoleh dari Uni Eropa tidak sebanding dengan
kontribusi yang mereka berikan. Inggris termasuk di antara 10 negara anggota
Uni Eropa yang memasok lebih banyak dana ke dalam anggaran Uni Eropa dengan return keuntungan lebih kecil.
Kontribusi
Inggris kepada Uni Eropa misalnya pada tahun anggaran 2014/ 2015 sebesar 8,8
miliar pounds dengan besaran money back
hanya separuhnya senilai 4,6 miliar pounds. Anggota Uni Eropa yang menjadi beneficiary terbesar dari gelontoran
dana big members itu adalah Polandia,
Hongaria, dan Yunani.
PM
Inggris David Cameron yang kini telah memutuskan mundur setelah kekalahan dalam
referendum Brexit sebenarnya sangat
paham dengan psikologi Inggris terhadap Eropa. Dengan pemahaman itu, Cameron
terlihat amat confident menjanjikan
referendum sebelum memenangkan pemilu 2015 serta meyakini bahwa Inggris akan
memperoleh privilege yang selama ini menjadi
ganjalan psikologis hubungan London dan Brussel.
Pada
awal 2016 Cameron berhasil mendesak para pemimpin Uni Eropa untuk mengubah dan
menyetujui term and condition keanggotaan Inggris yang diperbarui.
Seandainya suara pro-Eropa memenangkan pertarungannya dengan Brexit dalam referendum ini, Inggris
akan memperoleh ”special status” di
antara 28 anggota Uni Eropa.
Salah
satu keistimewaan yang diberikan adalah kebebasan untuk mengatur masalah
domestiknya sendiri serta keleluasaan menyusun kebijakan terkait dengan migrant
welfare payment bagi para pendatang baru di Inggris. Brexit memang telah membuyarkan semua kalkulasi tersebut. Psikologi
sentimen Inggris terhadap Uni Eropa ternyata tidak berubah. Selama ini
eksistensi Inggris dalam Uni Eropa lebih menyerupai hubungan yang bersifat bitter dan dysfunctional.
Masalahnya,
kerumitan psikologis Inggris itu akan diuji dengan sejumlah konsekuensi dengan
dampak yang harus diamati beberapa tahun ke depan. Realitas pahit pertama
adalah krisis pemerintahan pasca pengunduran diri David Cameron sebagai PM
Inggris dan pemimpin Partai Konservatif. Siapa pun penggantinya, kemungkinan
masih akan dipengaruhi oleh psikologi anti-Europe
yang lebih kompleks.
Jika
Downing Street 10 tidak mengelola baik psikologi itu, hubungan London dengan
ibu kota negara Uni Eropa lainnya akan rusak. Realitas kedua, financial
market akan menjadi lebih sensitif terhadap kerentanan 19 negara pemangku
Euro-zone. Investor global akan selalu mempertanyakan apakah pemerintahan
mereka punya political will dan dukungan publik untuk memperkuat
arsitektur European monetary union.
Negara
Euro-zone itu akan terus berada dalam tekanan di bawah scrutiny pasar
yang sangat intensif akibat kekhawatiran efek Brexit serupa. Dampak ketiga yang tak kalah menariknya adalah
menguatnya gerakan politik ”antiestablishment”, terutama politisi
ekstrem kanan di Eropa maupun AS seperti Marine Le Pen dari France National
Front di Prancis atau bahkan Donald Trump di AS.
Mereka
semua boleh saja merasa terilhami dari kemenangan Brexit. Selebihnya, kita kembalikan ke Uni Eropa sendiri tentang
bagaimana mereka bersikap. Keseimbangan apa yang mereka perlukan untuk mengisi
kekosongan yang ditinggalkan Inggris serta pelajaran yang mesti dapat dipetik
dari sentimen psikologi anggota Uni Eropa yang ternyata menyimpan sikap anti
yang demokratis.
oleh Muhammad Takdir
disadur dari Koran
Sindo, Senin, 27 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar