Jika
kita mendengar nama Kiai Sadrach, yang terbayang dalam benak kita adalah
seorang ulama Islam dengan peci atau sorban, berbaju lengan panjang dan
bersarung, sementara di bahunya tersampir sebuah kain atau sajadah yang
terlipat rapi.
Pokoknya
tipikal ulama NU yang banyak kita temui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kita
tidak membayangkan seorang kiai sebagai ulama Jawa Barat karena di Jawa Barat
ulama dipanggil “Ajengan”, juga tidak di Lombok karena di sana ulama disebut
“Tuan Guru”, dan memang benar Kiai Sadrach adalah seorang ulama yang dilahirkan
di daerah Karesidenan Jepara (sumber lain ada yang mengatakan dia lahir di
Karesidenan Demak) dan meninggal di Purworejo, 14 November 1924 dalam usia 89
tahun.
Tetapi,
Kiai Sadrach bukan ulama Islam, melainkan ulama Kristen. Dia adalah penginjil
besar di masanya, tetapi nama kelahirannya adalah Radin, dan saat dia berguru
di pesantren daerah Jombang namanya bertambah menjadi Radin Abas. Tetapi,
setelah belajar di Jombang ia hijrah ke Semarang dan bertemu seorang penginjil
Belanda yang bernama Hoezoo dan kemudian Radin Abas pun ikut kelas Katekisasi
yang diajar oleh Hoezoo tersebut sampai akhirnya pada usia 26 tahun ia dibaptis
dan mendapat nama baptisan Sadrach.
Sejak
itu dia tidak menggunakan nama Radin lagi, melainkan menggunakan nama Sadrach.
Dari sudut pandang Islam, dia bisa dinamakan murtadin (orang yang meninggalkan
Islam).
Karangjasa,
yang terletak 25 km dari Purworejo, adalah desa pertama tempat Sadrach
mendirikan sebuah jemaat Kristen Jawa setempat. Awalnya Sadrach menggunakan
rumahnya sendiri sebagai tempat berkumpulnya jemaat, tetapi pada 1871
didirikanlah gedung gereja pertama di Desa Karangjasa sehingga jemaat tidak
perlu lagi mengadakan perjalanan ke Purworejo setiap hari Minggu untuk melakukan
kebaktian.
Bukan
hanya itu, pusat kekristenan Jawa bahkan berpindah dan berkembang dari
Tuksanga, Purworejo ke Karangjasa. Ini membuktikan bahwa Sadrach merupakan
seorang Kiai Kristen Jawa yang sangat berpengaruh. Hanya dalam waktu 2-3 tahun
Kiai Sadrach berhasil membaptis 2.500 orang. Jauh lebih banyak daripada zending
Belanda yang sudah berdakwah lebih dari 100 tahun (pada waktu itu) di tanah
Jawa. Hal ini ditandai pula dengan penambahan nama “baru”-nya menjadi Radin
Abas Sadrach Surapranata.
Pesatnya
ekspansi jemaat Sadrach membuat pemerintah setempat (Karesidenan Bagelen) dan
kalangan gereja (Indische Kerk) curiga dan merasa terancam (sehingga
Kiai Sadrach pernah ditangkap dan dipenjarakan oleh Pemerintah Belanda, tetapi
dilepas kembali karena tidak ada bukti-bukti makar), namun di sisi lain juga
ingin mengatur dan mengawasi jemaat tersebut dengan berbagai alas an baik
politis maupun alasan misi (mencegah aliran sesat), dan juga karena ingin
mengumpulkan “petobat” dengan cepat dan mudah. Tetapi, upaya penguasa
(pemerintah) maupun gereja pada waktu itu gagal karena umat tetap lebih memilih
sebagai pengikut Kiai Sadrach daripada bergabung dengan Indische Kerk.
Yang
menarik untuk dipelajari dari sudut ilmu dakwah adalah bagaimana caranya Kiai Sadrach
bisa mengkristenkan begitu banyak orang di tengah-tengah masyarakat yang
mayoritas muslim. Jawabannya adalah bahwa Kiai Sadrach adalah mantan muslim dan
tidak menanggalkan atribut-atribut muslimnya ketika ia menyebarkan Injil. Kiai
Sadrach berbusana layaknya ulama Islam yang lain, bahkan waktu itu pun dia
sudah berjenggot seperti jenggot ISIS zaman sekarang. Bukan itu saja, ia
mempunyai pertemuan-pertemuan jemaat yang dalam tradisi Islam disebut “majelis
taklim”.
Seperti
juga majelis taklim, majelisnya Kiai Sadrach juga duduk di lantai seperti orang
selamatan. Gereja yang didirikannya di Karangjasa bahkan berarsitektur Islam
dengan ornamen senjata “cakra” milik tokoh wayang Kresna di puncaknya. Senjata
cakra ini, yang bentuknya bulat, lebih mirip bulan sabit daripada tanda salib.
Di
samping itu, Kiai Sadrach juga tampaknya memang seorang yang sangat cerdas yang
mampu menaklukkan siapa pun dalam berdebat yang bisa sampai berhari-hari.
Tetapi, di balik itu semua, yang paling utama yang mendasari keberhasilan Kiai
Sadrach adalah banyaknya persamaan antara dua agama, Islam dan Kristen, karena
dua-duanya berasal dari satu rumpun agama samawi (termasuk agama Yahudi juga).
Yang kedua, agama Islam di Pulau Jawa sudah berakulturasi dengan kepercayaan
lokal yang merupakan campuran antara tradisi animisme, dinamisme, Hindu, dan
Buddha yang sudah lebih dahulu ada di tanah Jawa, menjadi apa yang dikenal
sebagai mistisisme.
Salah
satu contohnya senjata cakra milik Kresna itu tadi. Semua ini kemudian secara
alamiah dan naluriah dimanfaatkan oleh Kiai Sadrach dan terasa pas betul dengan
alam pikiran orang Jawa pada waktu itu sehingga Kiai Sadrach cepat mendapat
pengikut. Berbeda dengan misionaris-misionaris Belanda yang selalu saja
menggunakan pendekatan Barat, yang tidak berakar di kalangan masyarakat Jawa.
Teknik
yang sama (pendekatan sosial-budaya) digunakan juga oleh para Wali Songo
sehingga Islam menyebar luas dengan cepat dan bisa menembus sampai pusat
Kerajaan Mataram di pedalaman Jawa, dan melahirkan Kerajaan Mataram yang Islam,
menggantikan Kerajaan Mataram lama yang Hindu. Sayangnya, pendekatan berbasis
sosial-budaya ini justru ditinggalkan oleh pendakwah-pendakwah masa kini yang
puritan dan radikal.
Dampaknya
nanti memang sebagian akan menjadi puritan juga, bahkan mungkin radikal, tetapi
yang terbanyak justru akan meninggalkan Islam itu sendiri dan menjadi murtadin,
bukan ke agama lain, melainkan ke budaya-budaya pop, termasuk K-Pop, Pop Corn,
dan Pop Porn.
oleh
Sarlito Wirawan Sarwono
disadur dari Koran Sindo, Minggu, 26 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar