Dalam
pembahasan asumsi makro dan pendapatan pada RAPBN-P 2016 di Panja DPR,
ditetapkan alokasi dana optimalisasi Rp58,36 triliun. Angka ini berasal dari
pembahasan awal dalam asumsi makro Rp49,9 triliun, ditambah realokasi belanja
pemerintah pusat Rp8,46 triliun. Dana optimalisasi digelontorkan untuk empat
alokasi: Rp22 triliun untuk 21 kementerian dan lembaga (K/L); Rp7,4 triliun
untuk dana alokasi khusus (DAK) fisik; Rp2,94 triliun untuk DAK umum; dan Rp16,6
triliun untuk mengurangi margin defisit RAPBN-P 2016. Asumsinya, dengan dana
ini, defisit diharapkan berkurang 0,13 persen, dari 2,48 persen terhadap PDB
menjadi 2,35 persen.
DPR
meyakini, dana optimalisasi merupakan instrumen kebijakan fiskal dalam anggaran
negara untuk mendorong pembangunan daerah. Dana ini dihasilkan dari perubahan
asumsi makro dan target sumber-sumber pendapatan negara serta efisiensi atau
realokasi belanja.
Masalah
Dalam
catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), sejak 2010
nomenklatur versi DPR ini cenderung selalu diselewengkan elite dan selalu
bermasalah. Saat itu, Badan Anggaran (Banggar) DPR memberikan alokasi pada
setiap komisi Rp100 miliar untuk dibahas dengan mitra kerja K/L masing-masing
karena tak ditemui nomenklatur dasar pengalokasiannya. Selanjutnya, pada 2011
dalam pembahasan APBN-P, dana optimalisasi dikonversi menjadi korupsi anggaran
dan pengadaan Al Quran dengan peningkatan dari Rp2,1 miliar menjadi Rp22,8
miliar.
Bahkan,
kasus Hambalang juga bermula dari tambahan dana optimalisasi tahun 2010-2012.
Tahun 2015, dalam persidangan di Tipikor Jakarta juga terungkap, mantan anggota
Komisi IX DPR menerima uang Rp9,750 miliar dari mantan Dirjen Pembinaan
Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2Ktrans) pada Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Jamaluddien Malik. Uang diberikan sebagai wujud realisasi komitmen
6,5 persen dari dana optimalisasi 2015 yang akan diterima Ditjen P2Ktrans.
Ada
beberapa catatan Fitra terkait dana optimalisasi. Pertama, secara landasan
hukum, tak ada satu pun nomenklatur dalam peraturan perundang-undangan yang
menyatakan secara jelas tujuan dan definisi dana optimalisasi. Merujuk UU No
17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD, tidak satu pun ada dan relevan menyebut dana optimalisasi. Dugaannya,
penafsiran dana optimalisasi muncul sebagai perluasan fungsi budgeting DPR.
Penafsiran terlalu di permukaan karena tidak berdasarkan aturan teknis
setingkat UU yang ada. Akibatnya, tidak dapat diukur hasil dan kinerja
realisasinya.
Kedua,
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2014 mencatat, 15 K/L
yang menerima tambahan belanja justru tak mengalokasikan dana pada program
kegiatan sesuai kriteria yang ditetapkan pada APBN-P 2014 yaitu Rp4,4 triliun.
Masalah kedua ini disebabkan K/L penerima dana optimalisasi tak berani
mengalokasikan sebab kriteria dan penilaian kinerja anggaran tak jelas.
Ketiga,
penetapan dana optimalisasi tak disertai perubahan atau perbaikan kembali dalam
daftar rencana kerja pemerintah (RKP). Penetapan alokasi dana optimalisasi tak
berdasar RKP, tetapi hanya berdasarkan pengajuan proposal. Hal ini membuka
ruang ambiguitas peningkatan kinerja pemerintah dan evaluasi kinerja
pemerintah. Hasil suntikan dana optimalisasi tak jelas akan masuk dalam
prestasi percepatan pembangunan yang mana dan dampaknya apa terhadap
kesejahteraan masyarakat. Karena tak
sesuai RKP dan prioritas pembangunan lima tahun, secara teknis aturan
pencairannya pun menemui kendala.
Keempat,
alokasi dana optimalisasi tak berdasarkan kriteria K/L penerima yang sesuai.
Kriteria tak transparan, bahkan pembahasannya biasanya selalu tertutup di
Banggar DPR. Dalam rapat tertutup itu, oknum DPR dan kementerian biasanya
bermain lobi dan menetapkan hanya berdasarkan proposal. Bahkan, tahun 2014 ada
temuan BPKP, penetapan tak melibatkan pemerintah sehingga K/L tak mengetahui
mendapatkan besaran tertentu dalam alokasi tambahan belanja dan tak siap
menjalankan program. Akibatnya, alokasi rawan untuk tak tepat sasaran dan
cenderung transaksional.
Kelima,
dana optimalisasi tak dapat mengoptimalkan APBN-P dalam penanganan defisit
negara. Secara prinsip, sesuai penjelasan Pasal 15 Ayat 3 UU No 17/2003
disebutkan, perubahan APBN dapat diusulkan DPR sepanjang tidak mengakibatkan
peningkatan defisit. Pada pelaksanaannya, tahun 2014, misalnya, akibat dana
optimalisasi justru terjadi peningkatan defisit dari Rp154,2 triliun pada RAPBN
2014 menjadi Rp175,35 triliun pada UU APBN 2014. Pada RAPBN-P 2016,
optimalisasi tak menambah defisit, tetapi hanya sedikit mengurangi margin
defisit sebesar 0,13 persen dan angkanya masih di atas Rp250 triliun.
Cermin
terkini
Kondisi
alokasi APBN-P 2016 terkini relevan dengan cermin masalah dana optimalisasi di
atas. Dana optimalisasi Rp58,36 triliun terlalu besar dibandingkan proporsi
pendapatan negara yang dipatok hanya meningkat Rp88 triliun, sejalan dengan
kondisi ekonomi dan penerimaan pajak. Dalam APBN-P 2016, dari sektor pendapatan
negara, khususnya pajak, pemerintah hanya menargetkan peningkatan Rp19,6
triliun. Hingga Juni 2016, realisasi pajak kurang dari 30 persen. Sementara
sektor Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ditetapkan secara ambisius
meningkat Rp68,4 triliun. Padahal, kecenderungannya PNBP yang masuk selalu
rendah akibat fluktuasi harga minyak sehingga PNBP dari sektor pajak rendah,
sedangkan dari BUMN tidak mengalami peningkatan karena dikonversi dalam bentuk
tambahan modal (PMN), dan kinerja kementerian dalam PNBP juga tidak
menggembirakan.
Contohnya,
Kementerian Perikanan dan Kelautan yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp10
triliun pada 2015 dengan harapan PNBP-nya akan meningkat justru tak masuk dalam
sepuluh besar K/L penyumbang PNBP.
Alih-alih
terjadi penghematan belanja pemerintah, dana optimalisasi justru
kontraproduktif. Presiden Jokowi pada awal Mei telah mengeluarkan peraturan
presiden terkait penghematan belanja K/L sebesar Rp50 triliun. Langkah ini
diapreasi banyak pihak meski ternyata yang dipotong adalah sektor prioritas. Di
antaranya, belanja fungsi, pendidikan sekolah menengah, Dikti, kesehatan, pertanian, dan perumahan
rakyat. Padahal, belanja fungsi ini sesuai prioritas Nawacita yang
diejawantahkan dalam RPJMN dan RKP 2016.
Pemotongan
Rp50 triliun anggaran sektor prioritas diganti dengan peningkatan Rp40 triliun
belanja K/L yang kurang prioritas. Belanja pemerintah pusat dalam APBN-P 2016
tercatat naik dari Rp743,5 triliun menjadi Rp784,1 triliun.
Seharusnya,
dana optimalisasi Rp58,36 triliun dapat lebih bermanfaat jika dialokasikan ke
sektor prioritas, seperti infrastruktur rakyat, pendidikan, kesehatan, atau
subsidi langsung kepada masyarakat agar terjadi optimalisasi APBN-P. Sayangnya,
dana tersebut justru dialokasikan untuk peningkatan belanja pada 20 kementerian
yang prioritasnya tak sesuai RKP. Hal ini mengonfirmasikan bahwa alokasi dana
optimalisasi hanya berdasarkan proposal. Contohnya, Kementerian Pertahanan
mendapat alokasi tambahan Rp6,6 triliun yang direncanakan digunakan untuk
membeli satelit. Kepolisian mendapat tambahan Rp5,6 triliun, padahal Presiden
melalui perpres penghematan dan pemerintah pada Nota Keuangan justru
mengusulkan anggaran polisi dipotong Rp1,5 triliun.
Di sisi
lain, transfer ke daerah juga naik Rp11,9 triliun untuk DAK fisik dan DAK umum.
Hal ini perlu diawasi karena DAK fisik ini rawan ditunggangi politisi dalam
pencairannya melalui calo. Realisasinya dalam bentuk fisik juga rawan untuk
ditransaksionalkan seperti kasus yang kini masih ditangani KPK, yakni terkait
pengurusan infrastruktur di Maluku dengan terdakwa anggota DPR, Damayanti.
Jika
DPR dan pemerintah peka dan sesuai prioritas, dana desa yang seharusnya
ditambah, khususnya untuk kebutuhan pendampingan desa dalam mengelola dana desa
yang belum optimal. Secara mandatori,
dana desa juga belum mencapai 10 persen dari total APBN. Selain itu, seandainya
dana optimalisasi digunakan untuk menutup defisit, APBN bebas dari
ketergantungan asing karena meski angka defisit turun Rp40,1 triliun,
pemerintah tetap harus menutupinya dengan utang luar negeri Rp273 triliun tahun
ini.
oleh Apung
Widadi
disadur dari Kompas, Rabu, 29 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar