Baru-baru
ini pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri telah membatalkan serentak sebanyak
3.143 peraturan daerah yang dinilai menghambat investasi dan alasan lainnya. Sebagai produk hukum tertinggi di
daerah dan menjadi landasan bagi jalannya roda pemerintahan di daerah,
pembatalan tersebut menimbulkan dampak cukup serius di daerah-daerah yang
terkena pembatalan.
Pemerintah
setempat harus menyiapkan instrumen untuk mengantisipasi dampak tersebut. Jika
tidak dilakukan antisipasi, sedikit banyak akan mempengaruhi kehidupan
sosial-ekonomi dan politik lokal. Karena itu, layak disikapi.
Dua
kemungkinan
Hal
utama yang menjadi perhatian dari pencabutan sebuah peraturan adalah dampak
yang terjadi terkait regulasi yang sudah berjalan. Apakah terjadi kekosongan
hukum atau tidak. Apakah terdapat hukum sejenis sebelumnya, apakah dengan mudah
dapat dibuat peraturan baru sejenis yang lebih sesuai.
Terdapat
dua kemungkinan terhadap keputusan pemerintah membatalkan peraturan daerah (Perda)
yang dinilai bermasalah tersebut. Pertama, keberatan. Kedua, mematuhi
keputusan. Kemungkinan mengabaikan dapat saja muncul, tetapi di daerah-daerah
yang mengabaikan keputusan pemerintah dapat terjadi keresahan sosial-politik.
Tentu ini akan dihindari pemerintah setempat.
Kemungkinan
pertama yang mengajukan keberatan adalah jika Perda yang dibatalkan di
tempatnya dirasa sudah kondusif dan berjalan efektif, bahkan jika tidak
dijalankan dapat menimbulkan efek negatif. Di daerah-daerah seperti ini harus
dipikirkan bukan saja proses mengajukan keberatan, tetapi bagaimana
mensosialisasikan bahwa selama proses pengajuan keberatan, Perda tersebut tidak
perlu dicabut langsung.
Perda,
sebagaimana kita tahu, proses pencabutan harus dilakukan oleh daerah
masing-masing. Tidak mungkin oleh pemerintah pula. Jika dianggap Perda tersebut
sudah dicabut, perlu dilakukan sosialisasi.
Jika
pemerintah pun menganggap bahwa pembatalan dilakukan sekaligus mencabut, maka
telah terjadi kekeliruan pandangan hukum di tingkat nasional. Perda yang
dibatalkan tidak otomatis tercabut jika daerah otonom tersebut belum
mencabutnya sendiri.
Keberlakuan
Perda tersebut memiliki dua kemungkinan. Jika daerah otonom mengajukan
keberatan, Perda tersebut tetap berlaku sampai keputusan final mengenai keberatan
telah ditetapkan.
Jika
tidak mengajukan keberatan, Perda tersebut tetap dapat diacu menunggu proses
pencabutan oleh daerah otonom yang bersangkutan. Seyogianya jika tidak
mengajukan keberatan, daerah otonom tersebut segera mencabutnya. Karena itu, rapat
memutuskan diajukan keberatan atau tidak oleh pemerintahan setempat, dapat
sekaligus diputuskan untuk menetapkan pencabutan atau tidak melakukan
pencabutan. Jika sudah dicabut, maka peraturan lama dapat diberlakukan kembali
dalam hal yang sama.
Kemungkinan
kedua adalah bagi yang tidak mengajukan keberatan, daerah otonom tersebut harus
mengetahui apakah terdapat Perda sebelumnya yang mengatur hal yang sama. Jika
ada, Perda lama tersebutlah yang berlaku setelah mereka menetapkan pencabutan Perda
yang dibatalkan tadi.
Jika
tidak ada Perda lama yang sama, daerah otonom tersebut haruslah menyiapkan
pengganti yang kurang lebih memperbaiki sesuai arahan pemerintah. Mungkin perlu
disiapkan terlebih dahulu peraturan kepala daerah yang lebih mudah dibuat dalam
rangka mengantisipasi kekosongan hukum. Kekosongan hukum akan dirasakan para
pemangku kepentingan dan dapat membingungkan berbagai pihak.
Bangun
sistem regulasi
Penyusunan
Perda dalam rangka pemerintahan daerah tidak terlepas dari sistem regulasi yang
diatur dalam UU pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah
menyiapkan begitu kompleks sistem regulasi daerah.
Sifat
antisipasi terhadap Perda yang dianggap bermasalah oleh pemerintah dapat
ditangkap dengan jelas oleh penyusun UU tersebut. Proses perumusan Perda dan
bahkan peraturan kepala daerah diatur tahap demi tahap, mulai dari perencanaan
sampai penegakan hukumnya, bahkan evaluasi, terhadap peraturan tersebut setelah
implementasi.
Pemerintah
daerah harus menunggu produk hukum dicek oleh pemerintah pusat untuk
bidang-bidang tertentu setelah register oleh pejabat berwenang. Di
tengah-tengah upaya Presiden Joko Widodo yang menginginkan kecepatan proses
investasi, ternyata masih muncul berbagai hambatan, sehingga berdampak pada
berbagai peraturan tentang investasi yang tidak kondusif harus dicabut, UU
pemerintahan daerah yang baru menambah kompleksitas penetapan perumusan Perda.
Memang
tujuannya adalah untuk memastikan suatu Perda tidak bertentangan dengan
peraturan di atasnya, dan hal-hal lain yang dianggap penting. Namun, ini bukan
membuat lebih lambat. Sangat beralasan kemudian bila Kementerian Dalam Negeri
membuate-Perda. Namun, tetap saja e-Perda melalui proses pengecekan
antarkementerian/lembaga (K/L) negara yang dianggap terkait terhadap sebuah
produk Perda.
Dalam
hal ini diperlukan terobosan proses manajemen perumusan Perda dalam satu sistem
satu atap di tingkat nasional untuk Perda provinsi, dan di tingkat provinsi
untuk Perda kabupaten/ kota. Bahkan di tiap kabupaten untuk produk hukum desa
jika diperlukan. Daerah tidak perlu menunggu lama pekerjaan Kementerian Dalam
Negeri menghubungi K/L terkait karena terdapat manajemen satu atap.
Sudah saatnya
Kementerian Dalam Negeri membuka diri dengan mengajak berbagai K/L untuk
persoalan perumusan Perda ini. Di tingkat provinsi, dengan demikian K/L perlu
mengirimkan orang atau lembaganya menjadi bagian dari sistem ini sehingga perlu
instansi vertikal. Dapat pula dibantu oleh sektor di provinsi tersebut. Jika
ini dibuat, niscaya perumusan Perda lebih cepat lagi tidak sekadar e-Perda.
oleh
Irfan Ridwan Maksum
disadur dari Kompas, Rabu, 29 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar