Kebijakan
ekonomi idealnya fokus pada menjaga kesinambungan pembangunan, bukan mengejar
target-target pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla memulai masa baktinya dengan target pertumbuhan ekonomi 7 persen pada
2017, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Pembangunan infrastruktur besar-besaran dijadikan tulang punggung yang menopang
target tersebut.
Satu
setengah tahun setelah Kabinet Kerja dibentuk, mulai terlihat peningkatan
momentum pembangunan infrastruktur. Namun, Badan Pusat Statistik mencatat
perekonomian hanya tumbuh 4,9 persen pada kuartal pertama 2016, seiring dengan
masih lemahnya daya beli dan pertumbuhan investasi swasta. Ini bahkan lebih
rendah daripada asumsi 5,3 persen yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2016.
Pertumbuhan
yang wajar
Melesetnya
kinerja ekonomi ini menimbulkan rasa kecewa di berbagai level pemerintahan.
Para penentu kebijakan lantas dituntut berpikir lebih keras lagi dan memberikan
ide-ide "gebrakan" untuk mendongkrak perekonomian.
Reaksi
seperti ini cukup beralasan. Setiap tahun, jumlah orang Indonesia yang masuk
angkatan kerja bisa mencapai 2-3 juta orang. Lemahnya pertumbuhan ekonomi mempengaruhi
penciptaan lapangan kerja di sektor formal (usaha-usaha berizin yang memiliki
pekerja tetap). Dan, akhirnya berpotensi menyundul tingkat pengangguran.
Meski
demikian, ada baiknya juga kita memahami kondisi perekonomian dunia yang sedang
lemah, serta risikonya bila kebijakan dalam negeri dipaksakan mengejar target-target
jangka pendek. Ada beberapa hal yang perlu diingat untuk menjangkau ekspektasi
kita terhadap kinerja ekonomi Indonesia.
Pertama,
Indonesia masih menghadapi penyusutan ekspor komoditas mentah. Dari
Januari-April 2016, ekspor komoditas, seperti batubara, minyak sawit, dan karet
menyusut sebesar 15-30 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk keseluruhan
tahun ini, jumlah devisa yang hilang dari komoditas tersebut bisa mencapai 7
miliar dollar AS, atau setara dengan Rp 95 triliun. Ini merupakan kehilangan
pendapatan yang menjalar bagaikan virus kepada sektor-sektor penopangnya,
seperti industri penyedia alat berat, jasa angkutan, dan perbankan.
Kedua,
walaupun alokasi APBN untuk subsidi energi sudah dialihkan ke infrastruktur
sejak 2014, belanja pemerintah belum menunjukkan kenaikan yang berarti. Ini
akibat merosotnya penerimaan sumber daya alam serta pajak Perdagangan. Bahkan,
tahun lalu, belanja pemerintah (di luar beban bunga utang) tidak mengalami
kenaikan sama sekali dibandingkan 2014. Baru tahun ini mulai ada peningkatan,
yakni per Mei sekitar Rp 67 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Itu pun
dibiayai dari tambahan utang, sehingga perlu hati-hati agar tidak menembus
batasan defisit APBN.
Ketiga,
banyak sektor yang masih kelebihan kapasitas produksi. Jangan lupa bahwa
Indonesia menerima puncak arus penanaman modal asing pada 2011-2013. Pada
periode tersebut dibangun pabrik-pabrik baru yang menaikkan kapasitas berbagai
industri, mulai dari makanan dan minuman, besi, hingga otomotif, dan mesin-mesin.
Kemudian,
memasuki 2014, ekspor turun, rupiah melemah, dan pertumbuhan penjualan di
berbagai sektor mulai merosot. Omzet perusahaan-perusahaan Tbk (terbuka)
melemah dari sebelumnya tumbuh rata-rata 10-15 persen per tahun, sekarang
menjadi 0-5 persen. Akibatnya, apabila dulu kapasitas 30 persen bisa terpakai
penuh dalam 2-3 tahun, sekarang bisa butuh dua kali lebih lama.
Ada
baiknya kita bertanya kembali, pertumbuhan ekonomi macam apa yang ideal bagi
Indonesia? Dengan melemahnya perekonomian Tiongkok, era puncak kejayaan ekspor
komoditas mentah bagi Indonesia sepertinya sudah lewat. Pertumbuhan ekonomi
domestik tidak bisa lagi mengandalkan konsumsi rumah tangga, tetapi harus
bertumpu pada ekspor manufaktur atau jasa. Inilah alasan pentingnya pembangunan
infrastruktur.
Namun,
jangan lupa bahwa investasi infrastruktur beranjak dari level yang relatif
rendah, yakni sekitar Rp 200 triliun pada 2015. Ini sangat kecil dibandingkan
konsumsi rumah tangga yang hampir mencapai Rp 6.500 triliun atau 55 persen dari
besarnya perekonomian nasional. Jadi, bila investasi infrastruktur naik 50
persen pun, dampak langsungnya masih lebih kecil dibandingkan bila konsumsi
naik hanya 5 persen. Jadi, bila memang saat ini kita sedang fokus membangun
infrastruktur, pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,9 persen sebenarnya masih
sangat wajar.
Kebijakan-kebijakan
instan yang diarahkan mendongkrak pertumbuhan ekonomi jangka pendek, seperti
intervensi-intervensi pada industri tertentu, harus dipikirkan betul dampaknya.
Penurunan suku bunga dan pelonggaran moneter pun belum tentu bisa diandalkan
sebagai obat mujarab. Pertumbuhan kredit tidak akan melejit bila memang
kebutuhannya masih belum pulih betul dan industri-industri tertentu masih
mengalami kontraksi. Bila yang didorong menerima kredit adalah sektor-sektor
nonproduktif atau spekulatif, kita harus waspada terhadap bahaya bubble
dan kredit macet di kemudian hari.
Sabar
dan konsisten
Secara
konseptual, faktor-faktor utama yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan adalah pengetahuan dan daya saing. Karena itu, fokus kebijakan
harus tetap pada masalah-masalah struktural, seperti pembangunan infrastruktur
dan sumber daya manusia, serta pembenahan regulasi yang menghambat persaingan
usaha. Banyak inisiatif selama 1,5 tahun ini yang sudah tepat sasaran; tetapi
memang harus sabar karena manfaatnya baru akan terasa tiga, lima, atau bahkan
10 tahun kemudian.
Terkait
risiko turunnya pertumbuhan lapangan kerja dalam jangka pendek, di sinilah
diperlukan tambahan bantalan sosial, selain juga ide-ide "gebrakan"
bila memang ada. Kalau pertumbuhan lapangan kerja di sektor formal tidak cukup
menampung tenaga kerja, pertumbuhan sektor informal harus difasilitasi dan
bahkan dibantu dalam meningkatkan produktivitasnya, misalnya dengan menggalakkan
penggunaan teknologi informasi. (Sektor informal di sini berkonotasi positif,
merujuk pada sektor transportasi perkotaan dan Perdagangan eceran).
Di
tengah kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu, sepertinya tak ada jalan
pintas menuju kemakmuran. Yang ada hanya jalan panjang yang harus dilalui agar
pembangunan bisa berkelanjutan, tidak sebentar-sebentar krisis. Kita sudah
berada di jalur yang benar, hanya harus sabar dan konsisten.
oleh
Helmi Arman
disadur dari Kompas, Rabu, 29 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar