Semarak
perayaan hari raya Idul Fitri kembali terulang. Hampir seluruh masyarakat
menyambut dengan antusias dan sukacita. Ritual tahunan yang tak lepas dari
Lebaran tentu tradisi mudik.
Fenomena
mudik di Indonesia dapat dipahami karena pembangunan ekonomi terpusat di kota
besar, terutama di Pulau Jawa. Akibatnya terjadi arus migrasi besar-besaran
penduduk dari daerah yang potensi ekonominya masih belum tergarap dan
berkembang. Daya tarik kota besar yang menjanjikan berbagai fasilitas dan
insentif ekonomi besar menjadi magnet bagi tenaga kerja yang memiliki tingkat
pendidikan, keterampilan, dan keahlian. Apalagi tenaga kerja berusia muda
hampir tidak ada lagi yang mau berada di daerah atau di desa.
Menarik
menilik antusiasme tradisi mudik yang masih berlangsung dan seolah tak lekang
oleh dinamika zaman. Percepatan perkembangan telekomunikasi tidak mampu
menggerus minat pemudik. Padahal, seiring perkembangan teknologi, silaturahim
tidak lagi hanya melalui telepon, surat elektronik, bahkan melalui hubungan
video. Namun, keinginan bertemu melalui tatap muka langsung dengan sanak
keluarga mampu menghalau tantangan mudik. Biaya yang tidak sedikit dan
kemacetan yang luar biasa mengalahkan harapan untuk mendapatkan romantisisme
kampung halaman.
Dari
fenomena itu, minimal bisa disimpulkan, dalam pilihan migrasi ada trade off
antara pertimbangan ekonomi dan kuatnya aspek sosial budaya. Hampir dapat
disimpulkan, jika ada alternatif pilihan dari aspek ekonomi, bisa jadi pilihan
migrasi juga menjadi pilihan terakhir bagi banyak orang. Di sisi lain, besarnya
arus migrasi tenaga kerja berpendidikan dan terampil juga membuat ketimpangan
pembangunan justru semakin melebar.
Harapan
proses transformasi struktural perekonomian daerah atau desa juga semakin
menjauh. Daerah yang notabene memiliki sumber daya berlimpah justru ditinggalkan
tenaga kerja produktif. Akibatnya, banyak potensi sumber daya yang semestinya
dapat dikembangkan dibiarkan menganggur dan terbengkalai. Tingginya konversi
lahan pertanian disebabkan tidak ada insentif ekonomi dalam usaha pertanian. Di
samping itu, juga karena produktivitas yang rendah, belum tersentuh teknologi
baru dan benih berkualitas. Teknologi pascapanen juga terbatas. Padahal, desa
memiliki potensi sumber daya yang luar biasa, tidak hanya sektor pertanian
pangan, tetapi juga holtikultura, peternakan, perikanan/kelautan.
Jika
industri pedesaan berkembang di sentra produksi pangan dan hortikultura, maka
banyak variasi industri makanan dan minuman yang menjadi andalan daerah.
Jaminan permintaan ini menjadi insentif ekonomi bagi petani, sekaligus jaminan
stabilitas harga, terutama ketika panen raya. Apalagi, jika ada investasi untuk
membuat sistem logistik yang memadai, berbagai produk sayur mayur dan
buah-buahan tidak mudah rusak. Dengan ketersediaan sayur mayur dan buah-buahan
segar, semestinya kebutuhan restoran dan hotel berbintang pun dapat dipenuhi
oleh buah lokal dan dapat mengurangi ketergantungan pada pasokan impor.
Demikian
juga jika peternakan berkembang, tidak hanya karut-marut impor daging sapi yang
dapat diatasi. Ketergantungan pada impor susu dan impor kulit untuk industri
alas kaki pun dapat dipenuhi. Apalagi jika komitmen hilirisasi industri
berbasis perkebunan sawit, karet, kakao, dan lainnya juga konkret. Pemerintah
cukup menyediakan berbagai infrastruktur dasar dan memberikan kemudahan
investasi di daerah. Tiap-tiap daerah tidak hanya mendapatkan nilai tambah,
tetapi juga mampu mengekspor berbagai produk industri manufaktur yang memiliki
daya saing tinggi. Perluasan penciptaan lapangan kerja terjadi, impor
berkurang, dan terjadi perluasan pangsa pasar negara tujuan ekspor.
Momentum
mudik Lebaran mestinya dapat menjadi jembatan mengurai kesenjangan pembangunan
desa-kota. Dengan catatan, jika migran atau kelompok urban yang telah berhasil
di kota besar memiliki kesadaran dan dapat menangkap berbagai prospek bisnis
tersebut. Hal ini dapat dimulai melalui cara berinvestasi di kampung halaman
melalui usaha produktif dengan menggerakkan industri pedesaan.
Jika
upaya ini secara intensif dimulai, tidak tertutup kemungkinan akan menarik pemodal
besar untuk berinvestasi lebih masif di sektor pertanian dan pedesaan. Selain
itu, juga memberikan kesadaran, investasi di sektor ini akan jauh berkelanjutan
dibandingkan dengan hanya fokus berinvestasi di sektor properti.
Hal
tersebut dapat terjadi jika mudik tidak hanya dimaknai sebagai romantisisme
belaka, tetapi sekaligus dijadikan upaya mewujudkan kecintaan terhadap kampung
halaman yang lebih konkret. Salah satunya melalui upaya mengembangkan potensi
ekonomi di daerah masing-masing. Minimal dimulai dari langkah kecil dengan
membeli produksi lokal sebagai bentuk dukungan terhadap pemberdayaan ekonomi
daerah. Harapannya, pemerataan pembangunan mampu menyejahterakan masyarakat di
seluruh negeri. Selamat mudik.
oleh
Enny Sri Hartati
disadur dari Kompas, Senin, 4 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar